Senin, 08 Juni 2015

Mendidik Anak di Era Digital (Kiat Menangkal Efek Buruk Teknologi terhadap Anak)

Kategori Bacaan     : Non Fiksi
Judul Buku          : Mendidik Anak di Era Digital (Kiat Menangkal Efek Buruk Teknologi terhadap Anak)
Halaman                    : 256
Penulis                       : Yee-Jin Shin
Penerbit                     : Noura Books




Alasan saya memilih buku ini untuk di resume bulan Mei 2015 ini setelah salah satu teman membagi link kajian AQL di Youtube berjudul, “Pendekatan Kepada Anak Sesuai Perkembangan Otaknya” oleh Dr. dr. Tiara Aninditha yang didalamnya juga memaparkan bahaya paparan gadget bagi anak-anak. Lalu saya juga teringat berita di tahun 2005 bahwa Madonna membatasi anak-anaknya hanya menonton film 2 jam per minggu, itu pun setelah filmnya sudah ia tonton dan dianggap aman.

Selain itu, pada 2014 lalu Jurnalis NY Times kaget dengan jawaban Steve Jobs bahwa dirinya membatasi gadget kepada anak-anaknya. Jurnalis tersebut menulis, “… I never asked Mr. Jobs what his children did instead of using the gadgets he built, so I reached out to Walter Isaacson, the author of “Steve Jobs,” who spent a lot of time at their home.
“Every evening Steve made a point of having dinner at the big long table in their kitchen, discussing books and history and a variety of things,” he said. “No one ever pulled out an iPad or computer. The kids did not seem addicted at all to devices.

Hal ini mungkin berbeda dengan apa yang terlihat saat ini pada kebanyakan anak-anak. Anak-anak jaman sekarang, di tahun 2015, sudah biasa dengan gadget, bahkan hafal cara pengoperasian gadget tersebut.

Dalam buku ini, isinya banyak yang penting tapi tidak mungkin saya tuliskan semua isi bukunya. Jadi saya usahakan untuk meresume isinya per bab. Sebagai awalan, saya akan tulis (semacam) kata pengantar dalam bukunya, yang oleh penulis bukunya diberi judul, “Digital Parenting Bagi Orangtua Bijak”.

“Selama lebih dari dua puluh tahun berprofesi sebagai psikiater anak, saya membaca dan menghibur anak-anak yang tersakiti jiwanya di klinik kesehatan mental anak. Setelah sekian lama mencoba memahami pikiran dan perasaan mereka, saya pun menyadari adanya “tren” yang membuat mental mereka menjadi lemah.

Di klinik, sambil memperhatikan perkembangan tren pendidikan anak usia dini, saya menemukan masalah perkembangan bahasa dan kehidupan sosial yang dihadapi anak-anak yang terpapar video dan materi pelajaran sejak dini. Masalah sosial pun muncul saat semakin banyak anak mengalami penderitaan karena menghadapi tindak kekerasan di sekolah maupun kekerasan seksual.

Di samping itu, setelah menyadari banyak sekali anak yang datang klinik belakangan ini karena mereka tidak bisa mengatasi keresahan dan kegelisahan diri, bersifat impulsif, dan sulit bersosialisasi dengan teman-teman sebaya mereka, saya menyadari bahwa kini jumlah anak-anak yang tidak dpaat berkembang, baik dalam aspek emosi maupun sosial, meningkat tajam. Barang yang dikenal secara luas sebagai perangkat digital yang berada dalam genggaman anak itu ibarat candu.

Yang saya maksud dengan candu pada perangkat digital adalah perangkat tersebut menciptakan ketergantungan yang cukup parah dan seolah belum bisa dipisahkan dari anak-anak yang sedang berkembang dalam pola disiplin dan kontrol diri. Lebih parah lagi, mental mereka akan rusak jika mereka berfokus ke sana. Mereka lebih cepat tumbuh besar dibandingkan anak-anak xaman dulu, tetapi jiwa mereka lambat berkembang. Perangkat digital sepertinya telah menjadi penyebab utama anak-anak yang “matang semu” belakangan ini.

Para orangtua menyambut baik perangkat digital, antara lain TV, komputer, ponsel cerdas, dan komputer tablet. Peralatan tersebut dianggap dapat membantu mengasuh anak dalam berbagai situasi, misalnya dapat menjadi alat bantu belajar yang canggih hingga menjadi mainan bagi anak mereka. Namun, sekarang kita harus menghadapi dampak dari perangkat digital yang mengendalikan kita.

Para petinggi, Google, Apple, Yahoo, dan bidang TI lainnya yang ada di Silicon Valley, Amerika, menyekolahkan anak mereka ke sekolah Waldorf yang tidak menyediakan fasilitas komputer. Alasannya karena komputer tidak cocok  untuk sekolah. Di Perancis, misalnya, murid SD dan SMP dilarang menggunakan ponsel di sekolah, sedangkan di Jerman dan Finlandia, anak-anak dibatasi dalam menggunakan ponsel.

Negara-negara berpendidikan maju telah mengawasi dampak negatif perangkat digital terhadap anak dan berfokus pada cara mengasuh anak dalam lingkungan digital secara sehat dan bijak. Namun, mengapa Korea sebagai negara adidaya di bidang TI justru mengalami kemunduran dalam tren itu?

Hal itu terjadi karena kurangnya kesadaran keluarga dan masyarakat sehingga lingkungan digital tumbuh subur dan mengakibatkan masalah-masalah baru. Saat menyadari betapa peliknya masalah yang saya temukan di klinik dan menyadari pentingnya metode digital parenting yang bagus, saya pun memutuskan untuk menulis buku yang ditujukan bagi para orangtua di Korea.

Saya merasa perlu membantu para orangtua agar bisa mengawasi anak dengan bijak dan agar anak dapat tumbuh dewasa, baik secara fisik maupun mental. Saya menyarankan agar orangtua membaca buku ini lebih dulu sebelum sibuk mengurus diri sendiri dan berdalih ingin memberikan kesempatan bermain kosakata bahasa Inggris kepada anak dengan cara yang lebih menyenangkan dengan perangkat digital.

Buku ini menjelaskan secara detail bagaimana dunia digital mempengaruhi pola pikir anak. Di samping itu, buku ini menunjukkan panduan teori dan praktik yang dapat digunakan untuk mengawasi anak dalam dunia digital. Orangtua perlu mempraktikkan apa yang disampaikan dalam buku ini setelah membaca berulang-ulang dan memahaminya.”

0 komentar: