Kamis, 01 Oktober 2015

Ketika Diam Menjadi Asing



Judul Buku      : Ketika Diam Menjadi Asing
Penulis             : Abu Ridha
Penerbit           : Ain Publishing
Halaman          : 294 Halaman




Kali ini saya ingin meresume buku tentang energi positif dalam diam. Buku ini saya dapatkan dari seorang ustad yang memberikan kepada saya sekitar 2 minggu lalu, dan baru sempat dibaca.
Buku ini ditulis oleh Ust Abu Ridha, salah satu penulis yang cukup sering membuat buku bertemakan keislaman dan pikiran-pikiran, dan beiau salah sati pemateri dalam acara Malaysian Islamic Study Group.
Buku ini diawali dengan kaidah dalam berfikir, kaidah dalam berdiam. Bahwa salah satu bagian dalam diam itu adalah ada perenungan, terhadap segala sesuatu ciptaan Allah swt, terutama yang berkaitan dengan dinamika sang diri, dan bagian diam ini akan memajukan spritual dan kemanusiaan seseorang.
Sejatinya, orang yang bertafakkur akan menemukan rahasia yang menakjubkan terutama mengenai segala rahasia yang melekat dalam dirinya. Membaca dan ber-iqro’ dalam setiap aktivitas, dan segala yang ada dalam dirinya itu.
Aktivitas diam tidak sekedar tidak berbicara dan tidak bergerak melainkan menjadi ibadah tanpa harus bersusah payah dalam arti mengerahkan potensialitas lidah dan tangannya. Dalam momentum tertentu, sikap diam justru mengandung banyak hikmah, walau tak semua orang bisa menikmati atau mancicipi manisnya hikmah tersebut.
Rasulullah bersabda “ Diam itu hikmah, tapi sedikit yang melakukannya”. Juga Bersabda “Kalau kamu menemukan seseorang yang sangat berwibawa dan banyak diamnya, ketahuilah mungkin ia sudah memperoleh hikmah.
Diam juga merupakan salah satu adab dalam mendengar pembicaraan. Dalam alqur’an menyimak dengan penuh perhatian menjadi tanda orang yang bisa menerima peringatan. “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikan. (Q.S aff : 37).
Dalam kerangka itulah maka para ahli hikmah dan kaum cendikiawan melukiskan “diam” sebagai perhiasan tanpa berhias, kehebatan tanpa kerajaan, benteng tanpa pagar, kekayaan tanpa harta, dan menutupi segala aib2.
Sabda Rasulullah juga, bahwa “ Barangsiapa yang banyak perkataanya, niscaya banyaklah kelirunya. Barang siapa banyak kelirunya, niscaya banyaklah dosanya, dan barang siapa banyak dosanya, niscaya neraka lebih utama baginya (Riawayat Abu Naim). “Diam adalah suatu kebijaksanaan dan sedikit orang yang melakukannya” (HR. Ibnu hibban).
Ketika diam menjadi asing pada seseorang maka muncul kemudian potensi terbuka mengatakan dan melakukan apa saja. Akibatnya, karena keduanya bergerak liat tak terkendali, sangat mungkin membuat lidah dan tangan menjadi sumber bencana.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam beberapa syiar orang arab sering dikatakan bahwa “Seseorang bisa binasa akibat lidah tergelincir. Tak seorang pun binasa karena kaki tergelincir”, Sebanyak-banyak percakapan yang baik adalah dengan diam. Tidak semua percakapan perlu jawaban, untuk percakapan yang engkau benci, diamlah jawabannya.
Esensi yang dapat kita ambil adalah, aktivitas diam sering kali dianggap asing, atau tidak baik padahal sejatinya diam juga merupakan proses bekerjanya 2 organ besar, yaitu hati dan pikiran. Dan terkadang kedangkalan dan kekeruhan dalam berfikir seorang manusia dapat dilihat dari aktivitas perkataannya, karena apa yang ada dalam pikiran seseorang sejatinya akan menjadi cerminan aktivitas manusia itu sendiri. Masih banyak bab-bab menarik dan kalimat menarik dari buku ini, find out in this Book,. Terima kasih. Wassalam.
16 September 2015, Indra Lasmana Tarigan.

0 komentar: