Ibu
Itje membuka sebuah lemari. Di dalamnya tersusun rapi ratusan kaset video,
lengkap dengan indeks nomor dan topik. Ibu Itje menyalakan video player dan
memutar kaset pertama. Ia pun duduk di lantai bersama Satya dan Saka yang mulai
berhenti menangis. “Hai Satya! Hai Saka!” tampak dalam video Bapak melambaikan
tangan. Saka dan Satya pun tersenyum. Bagi Ibu Itje inilah senyum pertama kedua
anaknya sejak Bapak meninggal (p.4)
Begitulah
buku ini berkisah tentang ibu Itje yang berjuang sebagai single fighter, Satya
yang berjuang menjadi ayah dan suami yang lebih sabar lagi, Saka atau Cakra
yang berjuang untuk mendapatkan cinta (istri). Dan tentu saja “Bapak” Gunawan
Garnida yang selalu hadir dalam setiap moment penting dalam perjalanan hidup
mereka. Hadir melalui rekaman video.
Secara
tidak langsung penulis mengajarkan kepada kita, para calon Bapak terutama,
bahwa dalam mendidik anak butuh sebuah perencanaan yang dibangun bersama antara
suami dan istri. Dalam pernikahan butuh pasangan yang saling menguatkan bukan
pasangan yang saling mengisi kelemahan sebab kerasnya hidup hanya dapat dilalui
oleh orang-orang yang kuat. Setiap orang pasti punya kelemahan, namun kitalah
yang harus mengatasi kelemahan itu. Bukan pasangan kita. Sebab menjadi pribadi
yang lebih baik adalah tanggungjawab kita pribadi bukan tanggungjawab orang
lain. “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang
mengubahnya”
Bayangkan
seandainya Allah berikan kita rejeki sakit dan divonis usia tinggal 1 tahun
lagi padahal ada anak-anak kecil yang ditinggalkan. Penulis melalui “Bapak”
mengajarkan kita bagaimana mengoptimalkan waktu 1 tahun itu untuk meninggalkan
jejak terbaik untuk membangun kekuatan karakter anak-anak dan istrinya. Seperti
kata Bapak bahwa planning is everything.
“Bapak selalu punya rencana untuk kita semua. Bahkan dengan kanker itupun Bapak
tetap punya rencana. Rencanakan untuk kalian sendiri. Rencanakan untuk
anak-anak kalian. Semoga cerita ini pun membuat kalian punya rencana lebih baik
untuk anak-anak kalian” (p.21)
“Zaman
orang tua kita negara masih membangun pekerjaan. Zaman kita orang mencari
pekerjaan. Zaman anak kita nanti gak kebayang bagaimana ketatnya persaingan
mereka dalam bekerja. Setelah mereka mandiri nanti belum tentu mereka bisa
menolong diri mereka sendiri apalagi menolong kamu (istrinya-ibu Itje) maka
saya siapkan untuk kamu juga (usaha). Waktu dulu kita jadi anak kita gak nyusahin
orang tua, nanti kita sudah tua kita gak nyusahin anak.” (p.88) Dan begitulah
ibu Itje selalu berusaha untuk tidak merepotkan kedua anaknya pun saat divonis
kanker payudara serta menjalani kemoterapi dan operasi dengan diam-diam.
Tidak
semua anak diberikan rejeki orang tua yang panjang umur sehingga bisa merasakan
hangatnya kebersamaan keluarga. Atau mungkin tidak semua anak diberikan orang
tua yang pandai memberikan nasihat yang mampu membentuk karakter anak-anaknya
hingga dewasa. Buku ini mengingatkan saya akan perjuangan almarhum bapak saya
dulu dalam membangun keluarga dari nol hingga kini. Banyak hal di buku ini yang
telah membuka rekaman ingatan masa lalu bersama bapak.
Buku
ini ringan namun berbobot, banyak menyajikan kisah-kisah keseharian yang umum
dalam rumah tangga, mendidik anak, dan ujian hidup menjomblo. Lucu, gokil,
gemes, sedih, terharu. Ada banyak halaman yang membuat saya tertawa terpingkal,
tersenyum geli, tersenyum kecut, dan murung karena merasa sedih. Berdasarkan
testimoni dari beberapa teman yang membaca buku ini, sungguh buku ini mampu membuat
pembacanya mampu menghidupkan berbagai perasaaan dan sarat makna. Top lah untuk
mengisi malam Minggu yang masih kelabu.
Judul Buku : Sabtu Bersama Bapak
Penulis : Aditya Mulya
Penerbit : Gagas Media
Tahun
Terbit : 2014
Halaman : 277
Bandung,
19 Oktober 2017
-Tri Hanifawati-
0 komentar:
Posting Komentar