Sebuah
buku fiksi yang membuat saya bertanya-tanya di setiap detail cerita yang
disuguhkan, karena tokoh utama yang membawakan kisah ialah anak kecil yang
memiliki cara berpikir sangat dewasa. Ava—namanya perempuan yang masih ngompol
dan membawa boneka kemana pun pergi, ia juga tak luput membawa sebuah kamus
hadiah ulang tahun ke-3 dari kakeknya. Setiap mendapatkan kosakata baru, ia
langsung mengecek di kamus—meski sesekali masih bertanya kepada Mamanya.
Seorang ibu selalu punya cara untuk mendidik buah hatinya, tetapi tanggung
jawab sebagai ibu tidak melulu menjawab pertanyaan seorang anak, ia harus
memberikan pelayanan kepada suami maupun orangtuanya maupun orangtua suaminya.
Ketika
seseorang harus kembali kepada Sang Pencipta, Kakek Kia yang merupakan kakek
Ava mengubah kehidupannya. Ayah Ava menjadi semakin gila dengan harta warisan
yang diberikan kepadanya. Ia bermain judi, dan memboyong keluarga besarnya
untuk hidup di Gedung Nero, sebuah apartemen lapuk yang sudah keropos pun tak
layak huni.
Ava menemukan
seseorang yang lebih tua darinya empat tahun, seorang pengamen yang katanya
bukan pengamen, menghiburnya di sebuah restoran dekat rusun ia baru pindah.
Namanya P, nama asli bukan panggilan. Bocah yang tidak sekolah tapi pandai
memainkan gitar dan berbahasa Inggris. Ava kagum dengan sosoknya yang menjadi
penyelamat dari Papa-nya yang jahat—suka marah dan membuat mamanya menangis pun
juga membuat dirinya menangis.
Ketika
suatu malam Ava harus meringkuk dalam dingin, tanpa kasur dan bangun tanpa
sambutan seorang ibu membuat Ava tidak nyaman di rumahnya. Ia memilih untuk
pergi bermain dengan si P, ternyata di rusun ada banyak orang baik juga,
seperti Ibu Ratna pemilik rusun, ada kak Alri sosok yang membuat P bisa bermain
gitar dan berbahasa Inggris pun ada lagi Kak Suri yang melindunginya saat
Papanya P marah besar.
“Semua
Papa itu jahat,” itu yang ada dalam pikiran Ava maupun P. Tetapi, setelah ia
melarikan diri dari rumah bertemu dengan seorang penjual sate, yang baik hati
kepada mereka. Memperlakukan seperti anak sendiri. Membuat Ava menyadari, ada Papa yang baik.
Sekali
lagi namanya Salva, tetapi papanya lebih suka menyebutnya sebagai Saliva yang
berarti ludah, hanya cocok di bawah dan terbuang. Beruntung Mamanya sering
membela Ava, mengubahnya menjadi Salva yang berarti penyelamat. Nama sebuah doa
seorang orangtua kepada anaknya, hingga suatu ketika si Pengamen yang bukan
pengamen lengannya disetrika oleh Papanya sendiri.
Malam itu
pula petualangan mereka dimulai, mencari rumah Nenek Ava yang ada banyak
taburan bintang dan pantai. Menurut si P, Jakarta sudah tidak memiliki bintang
lagi. Ia bahkan sering menjaga malam di atas rusun kumuh, penuh dengan kecoa
dan tikus hanya untuk mencari bintang.
Entah
apakah petualangan mereka akan berhasil, dengan usia yang masih di bawah umur?
Saya
sangat setuju, novel ini menjadi pemenang sayembara DKJ 2014. Karena memiliki
pola-pola baru dalam penulisan sebuah novel, Ziggy Z tetap konsisten memainkan
tokoh utama anak kecil yang sudah berpemikiran dewasa, melalui kamus dan
petuah-petuah Kakek Kia yang sudah wafat. Tulisan ciamik, konflik yang membuat
geregetan, juga sederet karakter tokoh yang sangat kuat dengan menggunakan
sudut pandang Ava dan si P. Diksi yang digunakan begitu unik, semacam cara
bicara anak kecil yang melantur tetapi mudah dipahami.
Tetapi
sayang sekali cerita ini ditutup terlalu cepat dan ending yang menggantung,
membuat pembaca penasaran bagaimana akhir kisahnya yang sebenarnya.
Judul
: Di Tanah Lada
Penulis
: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Tanggal
terbit : Oktober 2015
Jmlh
Halaman : 244 halaman
ISBN
: 9786020318967
- Baiq
Cynthia -
0 komentar:
Posting Komentar