Bismillah, kali
pertama saya membaca karya Tere-Liye
(Dan semua itu gegara sahabat IM, lagi dan lagi). Tinta yang ditorehkan
di novel ini sangat sarat makna. Sebagai perkenalan saya membaca karyanya yang
berjudul Ayahku (Bukan) Pembohong. Dan,
surprise…banyak kata-kata bijak yang
digambarkan dalam diri seorang ayah.
Dalam perjalanan
(cerita)nya seolah menimbulkan dua pertanyaan intim baik dibenak saya sebagai
penikmat cerita maupun dibenak si Dam. Kenapa dan mengapa, itulah pertanyaan
yang mengusik kami. Pada awalnya, kami menikmati tiap ceritanya (ayah). Namun,
lambat laun kenikmatan itu berubah jadi kejemuan. Apa iya, apa iya semua yang
diceritakannya bukan sekedar bualan semata? tapi mengapa kian kami beranjak
mengerti (terkhusus Dam yang mulai dewasa) hal yang semestinya kian percaya,
justru berbalik menjadi kesal dan marah.
Kemarahan serta
kekesalan itu diperkuat setelah dua pertanyaan intim itu mengusik Dam. Padahal
dimasa kecilnya (Dam), ia berhasil mengusir ketakutannya terhadap air dan
(terutama) terhadap bully teman
sekolahnya dengan dibuktikannya sebagai atlet professional renang. Perang batin
tersebut sungguh tidak mudah tuk dienyahkan dengan begitu saja kalau tidak oleh
suatu hal yang berperan hingga berpengaruh pada mental dan karakternya. Dan
semua itu berkat cerita bijak sang
ayah.
Dua sikap diatas
semakin menjadi-jadi kala ibunya meninggal dunia karena mengidap penyakit.
Justru sikap ayah seolah acuh tak acuh melihat kondisi sang ibu hingga ajal
menjemput. Dan puncaknya saat dimana kebersamaan dengan kedua buah hati Dam
yang seperti mengulang memorinya dimasa kecil. Dengan begitu menikmati cerita
sang kakek, kedua buah hatinya sampai hati mengelak kedisiplinan rumah yang
telah diterapkan Dam. Seolah kemarahannya (Dam) mewakili perasaan batinnya yang
selama bertahun-tahun ia pendam terutama terkait dua pertanyaan itu, kenapa dan
mengapa.
Jreng jreng
jreng….
Dan semua seperti
membuka tabir, kala ayahnya pergi dari kediaman Dam hingga ia (sang ayah)
terbujur kaku dalam pusara makam sang isteri, ibu Dam.
Kelimpang,
kelimpung hati dan pikiran Dam, semua yang berkecamuk dalam dirinya selama ini
terhadap sang ayah seolah musnah bagai api yang disiram air, padam seketika,
oleh penyesalan, oleh kegalauan, oleh nestapa. Terlebih saat diketahui bahwa
ada seseorang yang dating pada saat pemakaman sang ayah. Seseorang yang hidup
dari cerita sang ayah. Seseorang yang membuka tabir Dam tentang kenapa dan mengapa. Semua yang disimpan rapat-rapat oleh
sang ayah kini Dam ketahui.
Membaca runut
cerita ini, kok saya jadi teringat sama kisah perjalanan Nabi Musa ya. Saat
sang nabi memutuskan mengikuti seorang bijak untuk pergi berkelana. Namun
sebelum mereka memulai perjalanan. Seorang bijak terlebih dulu berpesan kepada
nabi. Selama dalam perjalanan anda tidak
boleh mengajukan pertanyaan sebelum saya jelaskan tentang apa yang saya perbuat.
Namun, seolah nabi
lupa ketika seorang bijak melubangi perahu nelayan dengan sengaja. Maka nabi
Musa bertanya, mengapa anda melubangi
perahunya, jadinya rusak kan?. Lalu seorang bijak berkata, bukankah sudah saya katakan, bahwa anda
tidak boleh bertanya sebelum saya jelaskan. Sampai dua perbuatan seorang
bijak lakukan, sang nabi tetap bertanya dengan pertanyaan yang sama, kenapa.
Dan tibalah pada akhir perjalanan seorang bijak menceritakan semuanya, alas an
kenapa ia berbuat demikian. Maka nabi Musa pun menyadari kekeliruannya selama
perjalanan pada seorang bijak itu.
Itupula yang
dirasakan oleh Dam, ia menyadari bahwa Ayahku
(Bukan) Pembohong.
Beberapa kalimat sengaja
saya kutip, di bawah ini.
“Lembah itu adalah bukti proses panjang,
saling menghargai manusia dan alam, pemahaman yang baik, penguasaan ilmu
pengetahuan serta kebijakan luhur manusia.” H.137
“Seratus tahun
silam, adalah Alim Khan, kakek Ali Khan, emir Bukhara yang menjadi tetua lembah.
Di tangan Alim Khan-lah harapan tersisa. Pemimpin yang baru dua puluh tahun,
pulang dari menuntut ilmu di negeri seberang, harus mendapati lembah
kelahirannya hancur lebur. Tidak ada kata menyerah dalam kamus kehidupan Alim
Khan. Dia yakin, siapa yang terus berjuang mengubah nasib, maka alam semesta
akan mengirimkan bantuan, terlihat ataupun tidak terlihat.” H.138
“Kau tahu, Dam,
mereka hanya punya satu pohon di seluruh lembah, dan apel itu hanya berbuah
sepuluh tahun sekali. Mengunyah apel itu tidak hanya membuat kenyang, tapi
memberikan sensasi tentram dan pemahaman baik di hati. Mengunyah apel itu tentu
saja tidak membuat kau berumur panjang, tapi bias melapangkan hati yang sempit
dan menjernihkan pikiran yang kotor. Itulah apel emas Lembah Bukhara.”
H.140-141
“Teruskan kek,
teruskan” Zas dan Qon berteriak tidak sabar. H. 153. Perasaan itu jua yang saya
rasa teruskan ayo teruskan membaca. Pertanyaan demi pertanyaan menumpuk di dada
hingga saya penasaran dibuatnya dan ingin segera menyudahi rasa penasaran ini
dengan menuntaskan membaca.
“Mereka bukan suku
pengecut, Dam. Mereka tidak takut mati demi membela kehormatan, tetapi buat
apa? Suku penguasa angin terlalu bijak untuk melawan kekerasan dengan
kekerasan. Membalas penghinaan dengan penghinaan. Leluhur Tutekong memutuskan
akan menjaga kebijakan hidup mereka selama mungkin. Mendidik anak-anak mereka
untuk mencintai alam, hidup bersahaja.” H. 157
Kalimat itu bak
falsafah hidup bagi manusia yang harus menyikapi bumi dan alam tentang
bagaimana seharusnya sikap manusia terhadap alam. Seperti rasa benci. Ya Rasa
benci tidak harus berubah menjadi perlawanan. Rasa benci yang justru menjadi
semangat, menjadi keyakinan bahwa mereka akan bertahan lebih lama dibandingkan
keserakahan, rasa tamak dan bengis manusia terhadap alam. Hari ketika semesta
alam berpihak pada kesabaran dan keteguhan. H. 159
Kami tidak
mendidik kalian sekedar mendapatkan nilai di atas kertas. Tetapi juga dalam
keseharian, dan itulah proses pendidikan itu sendiri. H. 241
Hidup harus terus
berlanjut, tidak peduli seberapa menyakitkan atau seberapa membahagiakan,
biarkan waktu yang menjadi obat. H. 242
Menurut saya, ini
bentuk dari sebuah kepasrahan kepada Sang Khalik. Namun arti pasrah ini tidak
dinisbatkan pada sesuatu karena tak bernyali, atau dalam arti menyerah. Bukan,
bukan seperti itu, tapi pasrah di sini memiliki makna yang berbeda. Makna yang
dahsyat bagi jiwa yang tetap berusaha dan disamping usahanya tersebut ia
berpasrah diri kepada Sang Khalik karena ia tahu bahwa kekuatan itu ada pada
bentuk kepasrahan kepada Sang Khalik.
Judul : Ayahku (Bukan)
Pembohong
Penulis : Tere-Liye
Penerbit, th.
Terbit : PT. Gramedia, cet. 2, 2011
Hal : 299 hal.
ISBN : 978-979-22-6905-5
Isaimamiqi
0 komentar:
Posting Komentar