Lisan demi lisan Anies Baswedan
demikian terususun rapi dan berisi. Seseorang dengan kesantunan bicara dan
keluasan isi pembicaraannya, membuat saya menerka pasti beliau memiliki daya
baca yang kuat. Kalau sudah punya daya baca yang kuat, kemungkinan kalau ia
menulis pasti berbobot baik. Setelah saya dapatkan buku kumpulan pemikiran yang
ditulis langsung oleh Anies, barulah kesimpulan saya terbukti benar. Bahkan
ekspektasi saya terlampaui. Anies Baswedan ini cerdas lahir batin.
Buku Merajut Tenun Kebangsaan
seperti bunga rampai yang berisi refleksi soal kepemimpinan, demokrasi, dan
pendidikan. Kebanyakan tulisannya merupakan tulisan yang sudah pernah terbit di
berbagai surat kabar nasional. Tulisan terlawasnya terlacak pernah dimuat di
Kompas tahun 2003. Dinamisasi pemikiran seorang Anies Baswedan
mentransformasikan kegelisahan menjadi keberanian dan keprihatinan menjadi
kekuatan. Gagasanannya tak sekadar permukaan. Juga tak sekadar kritis tapi
kreatif.
Menyoal Kepemimpinan, ia membuat suatu
perbedaan antara pemimpin dan pemimpi. Bedanya terletak pada huruf “N” yang
berarti Nyali.
“Pemimpin pada dasarnya adalah
pemimpi. Pemimpi yang mimpi-mimpinya dipercaya dan diikuti. Pemimpi yang mampu
mengubah mimpi jadi nyata bisa disebut sebagai pemimpin. Wajar jika pemimpin
menitipkan mimpinya pada imajinasi, dan membiarkan imajinasinya itu terbang
amat tinggi, lalu dia bekerja amat cerdas dan keras menggerakkan seluruh daya
yang tersedia untuk meraih dan melampaui mimpinya. Di sinilah sebuah huruf “N”
sebenarnya itu mewakili komponen amat kompleks menyangkut kemampuan meraih
mimpi dan melampaui mimpi (h.61).” Apabila ada nyali mewujudkan mimpi, bisa
disebut sebagai pemimpin.
Ada lagi pemikiran yang beda
antara kepemimpinan dan kepengikutan. Leadership
and followership. Dulu, saya pernah mendengar kuliah umum Prof. Badri Munir
Sukoco, ahli ilmu manajemen dari Universitas Airlangga. Ia mengatakan bahwa
orang Indonesia itu masih saja lebih senang meneliti leadership tapi mengabaikan potensi followership. Padahal tema-tema followership
belum banyak digarap secara mendalam dan kalau mau diteliti bisa menjadi
sajian perspektif baru bagi masyarakat.
Dalam bab Krisis Followerships, Anies menyoroti bahwa
masyarakat kita masih terkena sindrom meraih tampuk kepemimpinan yang kalau
gagal, akan ada upaya tidak terima untuk dipimpin. Mestinya, kalimat
operasional ‘meraih tampuk kepemimpinan’ diubah menjadi ‘menjalankan followership’. Sebab, ‘menjalankan followership’ adalah mengalahkannafsu
berkuasa yang ada dalam diri sendiri. “Dengan followership, yang dipimpin mengakui keberadaan pemimpin terpilih
dan bekerja bersama secara kritis dan rasional (h.49).”
Selanjutnya, merawat tenun
kebangsaan dapat melalui ranah pendidikan. Melalui pendidikan, Anies menuliskan
gagasannya dalam bab Melunasi Janji Kemerdekaan, Merekayasa Masa Depan
Indonesia, Menggerakkan Semesta Melawan Korupsi, hingga Pancasila Pengikat Tenun
Kebangsaan. Di bab lainnya, disoroti pula idealisme guru yang didamba sebagai
garda depan Indonesia.
Buku ini mudah sekali dicerna
karena sajian tulisannya populer. Pembaca dimudahkan mengambil poin penting
dalam setiap bab karena ada kotak yang mengulang kalimat yang dianggap penting
sebagai inti poin. Saya rekomendasikan Anda membaca buku ini untuk menambah
wawasan kebangsaan. [NT]
Judul Buku : Merawat Tenun Kebangsaan
Penulis : Anies Baswedan
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : 1 Februari 2015
Jml Hal :
251
- - Novi
Trilisiana -
0 komentar:
Posting Komentar