Buku ini saya dapatkan ketika
penulis yang berdomisili Jakarta ini ke Yogyakarta mengisi kajian menyambut
Ramadhan di Masjid Mujahidin UNY. Seharian membahas fiqh puasa sebagai bekal
menyambut Ramadhan tahun 1439 H. Uniknya, buku ini menjadi pengantar awal bagi
siapapun untuk belajar menerima perbedaan satu sama lain dalam bingkai ilmu
fiqih. Diawali bab ilmu sebelum amal, membuat penulis bertanya apakah seseorang
benar-benar harus tahu ilmunya baru mengamalkannya? Apakah harus tahu dulu pada
ayat Al-Quran yang mana yang menjadi dasar beramal atau apakah harus tahu
hadits Rasulullah yang menguatkan suatu amalan, baru kemudian melaksanakan amal?
Kalau dikatakan berilmu adalah tidak sekedar tahu tetapi haruslah tahu dan
benar-benar melekat dalam ingatan dan penghayatan, maka bagaimana hukum orang yang
masih awam terhadap ilmu dan kemudian mengamalkan suatu amalan syariat?
Sadar tidak sih, kita ini adalah
orang awam. Kita belum tahu dasar Al-Quran dan hadits tentang bagaimana berbakti
kepada orang tua tetapi toh kita tetap mengamalkan cara berbakti kepada orang
tua. Bahkan orang yang sekarang jadi ulama, juga dulu mengalami fase awam.
Jadi, poin pentingnya adalah tidak selamanya ibadah yang diamalkan, harus kita
hafalkan dan pahami dalilnya. Bagi orang awam, bermazhab adalah pilihan yang
tepat dalam beramal. Bermazhab merupakan bentuk penyandaran pada suatu pendapat
ulama yang berbeda-beda. Tidak mudah menyamakan perbedaan-perbedaan para ulama
dalam menilai/menghukumi suatu perkara. Persoalan mazhab adalah menyangkut
persoalan fiqih bukan tauhid. Ulama tidak berbeda pendapat soal urusan tauhid
tapi akan ditemukan perbedaan manakala membahas masalah fiqih yang termasuk
furuuddin (cabang agama).
Pada dasarnya, kita berjalan
membutuhkan petunjuk sebagai analogi bahwa untuk menjalankan kehidupan sebagai
muslim, kita butuh petunjuk yaitu dalil. Dalil dalam Islam terdiri dari Al-Quran,
As-sunnah, qiyas, dan ijma’. Dalil ada yang bersifat qath’i (absolut) maupun zhanni
(relatif). Jadi, ketika terdapat permasalahan dalam Islam, dilihat dulu
masalahnya termasuk Aqidah (ushul)
atau Fiqih (furu’i). Kemudian dalil
yang menunjang pemecahan masalah tersebut apakah dalil qath’i ataukah dalil
zhanni.
Dalam buku ini, dibahas pula
mengapa terjadi perbedaan mazhab; Bagaimana kaidah-kaidah dalam menyikapi
perbedaan; dan Bagaimana menuju persatuan umat. Hal-hal ini menjadi khasanah
yang menyejukkan di tengah munculnya bibit ketidakbijakkan umat muslim dalam
menyikapi perbedaan sesama muslim. Buku ini tidak mengajarkan kita beramal
asal-asalan tanpa ilmu tetapi mengajak pembaca untuk lebih mendalami ilmu fiqh
secara menyeluruh. Oleh karena itu, kita yang baru berhijrah dan masih dangkal
ilmu agama (tauhid dan fiqh)nya jangan mudah melakukan penilaian yang
menyudutkan sesama muslim. Walaupun penulis terbilang muda, keluasan ilmunya
membuat ia bijak dalam memandang perbedaan di antara kaum muslim.
Secara keseluruhan buku ini cukup
baik dicerna akan tetapi lebih enak mencerna ceramahnya langsung. Sebab terasa
lebih komprehensif bahasanya.
Judul Buku :
Jika Semua Mempunyai Dalil Bagaimana Aku Bersikap?
Penulis : Isnan Ansory
Penerbit : Rumah Fiqih Publishing, Jakarta
Jml Hal :
158
- Novi Trilisiana -
0 komentar:
Posting Komentar