tak
ada yang lebih tabah
dari
hujan bulan juni
dirahasiakannya
rintik rindunya
kepada
pohon berbunga itu
tak
ada yang lebih bijak
dari
hujan bulan juni
dihapusnya
jejak-jejak kakinya
yang
ragu-ragu di jalan itu
tak
ada yang lebih arif
dari
hujan bulan juni
dibiarkannya
yang tak terucapkan
diserap
akar pohon bunga itu
Dari puisi, menjadi lagu, kemudian komik
dan nanti film, kini puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono
beralih wahana menjadi novel. 3 bait puisi itu merambah menjadi trilogi novel
tentang 2 insan anak muda, Pingkan dan Sarwono, yang harus terpisah jarak
Jakarta-Jepang, beda keyakinan agama lalu beda adat istiadat.
Membaca novel pertama dari trilogi ini
sungguh seperti pertunjukan sastra. Tentang cinta habis-habisan namun tidak
egois. Banyak sekali adat, musik, mitos, kepercayaan, yang dijelaskan dalam
buku 125 halaman ini. Keduanya, novel dan puisi hanya sebuah medium perasaan
tentang hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah
ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang.
Sarwono, yang biasa dipanggil dengan
Sar, karena ngambek jika dipanggil Wono adalah seorang antropolog, dosen muda
UI dan beradat jawa, tentu saja juga muslim. Pingkan selalu mengartikan Sar
sebagai kesasar dan Wono hutan, jadi Sarwono adalah kesasar di hutan. Sedangkan
Pingkan, pernah ditanyakannya kepada orang tuanya apa itu Pingkan, dan orang
tuanya hanya menjawab, lupa, habis kalau memakai nama Jawa, tidak cocok. Jadi,
tidak ada arti dari nama Pingkan. Pingkan juga seorang dosen muda, namun
mengambil ilmu budaya di UI dan sebentar lagi akan dikirim ke Jepang.
P
: kenapa datang kemari?
S
: Apa lagi tugasku kalau nggak untuk menciummu?
P
: Cilakak. Kemarin sepupuku bilang, kalau kamu dicium buto galak dari jawa itu,
nanti anakmu disuruh sholat lho.
S
: daripada nunggu anak kita lahir, kamu aja yang ikut sholat, mau?
P
: no way! (Hal. 40)
Sudah beda agama, beda adat, beda Negara
pula. Itu yang harus dialami oleh Sarwono dan Pingkan. Belum lagi diganggu oleh
sontoloyo Jepang, Katsuo yang terus menerus nempel di Pingkan selama Pingkan di
Jepang. Mengatasi kerinduannya, Sarwono bekerja keliling Indonesia sampai
kesehatannya menurun dan akhirnya jatuh sakit, Pingkan langsung pulang, namun
seketika semuanya berubah di Jakarta.
Jakarta
itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh waktu, kata Pingkan
kepada dirinya sendiri sambil mengingat-ingat wajah Sarwono ketika melambaikan
tangan dari balik klise yang bersikeras
untuk menjelma kembali ke habitatnya yang purba sebagai larik puisi.
Pingkan selalu menarik napas dalam-dalam setiap kali mengucapkan itu diam-diam
sambil menambahkan. Jakarta itu kasih
sayang. (Hal. 125)
Bagian paling menarik dalam novel ini
adalah selain ceritanya, tentu saja pemilihan kata yang dipilih oleh Sapardi
Djoko Damono, banyak sekali monolog batin untuk mengungkapkan berbagai perasaan
yang di rasa oleh kedua tokoh utama ini. Ada lagi, satu bab dimana
menggambarkan perasaan namun tidak ada satu pun tanda baca. Sungguh, membacanya
senyum-senyum sendiri.
3 bait puisi diatas, jika membacanya
tanpa membaca novelnya mungkin akan menafsirkan segala macam definisi berbeda,
namun, sekarang saya mengerti setiap bait dan maknanya. Mungkin, jika kalian
membacanya, kalian akan punya pemikiran yang sama! Sekali lagi, novel ini
sungguh santai, namun sarat makna, novel ini tentang kepekaan, kepedihan,
kerinduan dan kesederhanaan. Novel yang sangat berbeda dari novel romantis pada
umumnya. Selamat membaca!
Judul Buku : Hujan Bulan Juni
Pengarang :
Sapardi Djoko Damono
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :
Keempat, September 2015
Jml Hal : 125 Halaman
Vanda Deosar
0 komentar:
Posting Komentar