Dunia pesantren pesantren memang punya sejuta
cerita. Ada suka dan duka. Banyak pula cerita menggelitik, menarik, dan unik.
Disanalah perjalanan memetik nilsi, hikmah, dan falsafah kehidupan.
Buku ini ditulis oleh seorang santri yang kemudian
jadi pengajar di Pesantren Pesantren Daar el-Qolam Gintung, Tangerang, Banten.
Dengan dua peran itu, berimbanglah penulis mengisahkan cerita di pesantren.
Mendidik anak di pesantren adalah tuntutan hidupdi
saat lingkungan tak kondusif bagi mental dan katakter anak-anak. Itu pula yang
dilakukan ayah penulis terhadapnya. Di usia 13 tahun harus berpisah dengan
keluarga. Menimba ilmu di pesantren untuk belajar agama menempa diri. Sama
seperti kebanyakan santri, penulis mengawali belajar di pesantren dengan berat
hati. Namun, ketika sudah berada di pesantren, semua kehidupan itu pun harus
dijalani. ‘Anak lelaki tak boleh
dihiraukan panjang. Hidupnya ialah berjuang. Jikalau perahunya telah ia kayuh
ke tengah. Ia tak boleh bersurut pulang. Meskipun bagaimana besar gelombang,
biarkan kemudi patah, Biarlah layar robek, itu lebih mulia daripada membalik
haluan pulang (Buya Hamka)’.
Penulis sangat menjadikan teladan Kyai Ahmad Rifa'i
Arief, sang pendiri pesantren di tahun 1968. Beliau adalah alumni Gontor. Di
awal pendirian, banyak tolakan masyarakat. Mengajarkan bahasa Indonesia bagi
masyarakat adalah tabu. Kyai mendapatkan cibiran 'Rek Mindahkeun Jakarta ka
Gintung' kata orang. 'Mau mindahkan Jakarta ke Gintung'.
Begitu pula ketika di pesantren diajarkan bahasa
Arab, muncul pula cibiran 'Rek Mindahkeun Mekah ka Gintung (Mau Mindahkan Mekah
ke Gntung)'. Apalagi ketika Kyai mengajarkan bahasa Inggris, beliau dituduh
mengajarkan bahasa irabg kafir! Namun Kyai tidak peduli. Beliau hanya ingin
santri-santrinya berwawasan global dan berpikiran luas walaupun tinggal di
pelosok kampung.
‘Tidak
ada kesenangan tanpa kesulitan, kesabaran akan menolong setiap pekerjaan, orang
yang bersungguh-sungguh pasti berhasil’. Kehidupan di pesantren
mengajarkan tentang hidup sederhana dan perjuangan. Hidup dalam segala
keterbatasan. Kebersamaan santri dengan beragam ironi menjadi kebiasaan. Satu
gayung bersama, sabun, pasta gigi, hingga kadang sikat gigi untuk bergantian
dua mulut. Begitulah adanya.
Public
speaking
atau muhadarah menjadi bagian uji
nyali yang ditakuti. Berbicara di depan umum membutuhkan keberanian mengalahkan
rasa grogi, takut dan rendah diri. Namun itu tetap dipertahankan. Tidak peduli
dengan keluhan santri. Sebab santrilah yang harus mengikuti sistem atau
peraturan, dan bukan sebaliknya.
Keikhlasan. Itulah kunci pesantren ini menjadi
besar. Mengawali pendirian pesantren, Kyai mendapat hibah satu hektare tanah
dari neneknya. Santri-santri pertamanya berjumlah dua puluh orang mengawali
belajar di dapur tua berdekatan dengan kandang kerbau. Kemudian pesantren itu
bermetamorfosis menjadi pesantren terbesar dengan total areanya lima puluh
hektare dan santri berjumlah lima ribu orang. Metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada
metode, dan jiwa seorang guru adalah segala-galanya.
Pendidikan di pesantren dengan segala rupaya mampu
menjadi benteng dan tameng untuk menghadapi hidup dalam masyarakat. Semangat
yang ditanamkan adalah berguna bagi masyarakat. Bukan sekedar angka-angka. 'Ijazahmu yang sebenarnya adalah penghargaan
dari masyarakat atas jasa-jasamu. Berjasalah, jangan minta jasa' demikian
petuah sang Kyai.
Kehilangan benda-benda merupakan hal yang lumrah.
Sandal, pakaian, dan sarung bisa berpindah tempat ke mana saja. Yang harus
dilakukan adalah mampu menghadapi kehilangan itu dengan lebih teliti dalam
merawat barang pribadi. Kemampuan yang dibutuhkan dalam abad 21 adalah
kemampuan berpikir kreatif dan inovatif serta menyelesaikan masalah. Dan
kemampuan itu bisa didapatkan di pesantren.
Ada beberapa karakteristik pendidikan di pesantren.
Pertama, kemampuan meregulasi diri. Santri di pesantren harus terbiasa dengan
disiplin yang ketat. Mengatur uang jajan, merawat dan menjaga barang pribadi. Meregulasi
diri lebih nyaman daripada didisiplinkan orang lain. Santri harus mahir
mengatur waktu kapan bermain dan belajar. kedua, kemampuan mengendalikan
perhatian dan perbuatan. Santri harus fokus pada diri dan sekitarnya.
Kehilangan benda-benda salah satunya disebabkan keteledoran dalan menjaga
miliknya dari ulah tangan-tangan jahil. Ketiga, kemampuan mengolah daya tahan
(persistensi). Pesantren membangun kebiasaan (habit) kepada santri untuk siap
hidup dalam tekanan dan waktu yang ketat. Keterbatasan dan keprihatinan. Tidak
ada opsi menu makanan. Waktu makan, tidur, mandi, olahraga, dan bermain diatur.
Keempat, kemauan menunda kenikmatan. Di saat usia sekolah sedang asyik bermain
gadget, nonton TV, atau menikmati hari libur, santri tidak merasakan semua itu.
Menunda kenikmatan sesaat untuk tujuan-tujuan jangka panjang untuk memilih mana
yang prioritas-prioritas yang harus didahulukan.
Kelima, ketekunan menghadapi kejenuhan. Selama
beberapa tahun santri dihadapkan pada siklus dan irama pesantren yang
membosankan dari bangun tidur sampai tidur lagi. Santri harus pandai mengelola
perasaan dan membuat variasi supaya kejenuhan dan rutinitas menjadi berwarna.
Keenam, kemampuan menghadapi tekanan. Godaan teman yang menjengkelkan,
senioritas yang menyebalkan, aturan dan disiplin, pelajaran dan kegiatan
pesantren berjalan di atas tekanan manusia atau waktu. Ketika tekanan waktu
dirasakan oleh mereka menyiksa, maka akan muncul kesadaran akan pentingnya
waktu dan efektivitas penggunaannya. Ketujuh, kemampuan menjalankan rencana.
Waktu berjalan dengan ketat. Maka santri harus mampu membuat perencanaan jangka
pendek atau jangka panjang. Kegiatan mingguan, bulanan, atau tahunan. Santri
yang terdidik dengan perencanaan yang matang memberikan garansi keberhasilan
dalam pendidikan dan karir.
Kehidupan pesantren bukan hanya full day school namun lebih dari itu adalah full year school. Bersama sekurang-kurangnya enam tahun di
pesantren membuat santri sangat hafal watak dan sifat teman. Inilah bagian
implementasi dari konsep yang diusung UNESCO: Learning to Life Together.
Dan bersabarlah atas kepedihan yang mengisi
hari-harimu, di dalamnya ada pintu menuju kesuksesan dan kejayaan. Belajar di
pesantren ibarat meminum obat. Kadang terasa pahit namun berguna mengobati
sakit dan menyehatkan badan. Filosofi pendidikan pesantren ‘Memelihara
nilai-nilai lama yang masih baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih
baik’ menjadi jaminan bahwa belajar di pesantren bukan berarti ketinggalan
jaman, terkucil dari dunia luar, dan buta perkembangan zaman. Sebab banyak pula
orang hebat yang lahir dari pesantren (terutama pesantren Dar el-Qolam ini) misalnya
Ustadz Jefri al-Bukhori (Udje), TB Iman Ariyadi (Walikota Cilegon), atau Band
Wali (Pesantren La Tansa, Rangkasbitung).
Secara jujur buku ini mengisahkan
kenakalan-kenakalan yang terjadi di pesantren. Kabur dari pesantren, fenomena ghosob (mengambil tanpa izin),
memalsukan tanda tangan, bolos belajar, berkelahi, dan lainnya. Juga tidak
menutup fakta bahwa orang tua banyak menganggap pesantren sebagai penitipan
anak. Yah, pesantren kerap dijadikan tempat yang cocok orangtua yang rumah
tangganya tengah diterjang badai. Pesantren sering kali dijadikan tempat layak
bagi orang tua yang sudah ‘angkat tangan’ mendidik anak. Orang tua berharap
dengan dititipkan di pesantren perilaku anaknya bisa berubah. Boleh–boleh saja
memang orang tua punya motivasi seperti itu. Namun alangkah baiknya jika hal
tersebut diinformasikan kepada pihak pesantren agar tepat pula penanganannya.
Buku ini menjadi pemantik kenangan masa lalu santri,
pelecut semangat santri yang tengah belajar di pesantren, dan referensi calon
santri.
Judul :
Lost in Pesantren. Perjalanan Memetik Nilai, Hikmah, dan Falsafah Kehidupan
Penulis : Saeful Bahri
Editor : Muhammad Iqbal Santsa
Penerbit :
Republika Penerbit
Thn Terbit : Agustus, 2017
Jmlh Hlm : 195 halaman
ISBN :
978-602-08-2281-5
- Supadilah -
0 komentar:
Posting Komentar