Selasa, 28 Juni 2016

Being Logical






Being logical. A guide to Good Thinking. Itu lah yang tertulis pada cover buku keci bersampul biru ini. Being Logical sebenarnya adalah salah satu buku panduan dalam salah satu mata kuliah saya, Scientific Discussion. Secara garis besar, di Being Logical, D. Q. McInerny mengajak para pembaca untuk berpikir logic yang kalau kata Pak dosen “think critically”.

Meskipun bukunya relative tipis , tapi jujur saja, saya kesulitan mencernanya saat awal membaca kalau saja tidak di-ulik di kelas. Mungkin karena cara berpikir saya selama ini lebih banyak abstraknya daripada logic-nya #grin. Selain itu banyak konten filosofis di dalamnya. Tidak serumit ilmu filsafat memang, belajar logic setingkat lebih mudah meskipun rujukannya masih Plato, Socrates, dan kawan-kawan. Selain itu ada istilah-istilah latin yang masih digunakan untuk memberi nama “fallacies” atau kekeliruan logika berpikir. Saya baru tahu bahwa kekeliruan logika (selanjutnya kita sebut “fallacies”) itu ada nama-namanya.  Dan berbagai fallacies tersebut memang banyak banyak kita temukan di kehidupan sehari-hari, bisa jadi fallacies itu disengaja dengan maksud tertentu atau memang karena ketidaktahuan. Dengan memahami cara berpikir logis ini, harapannya kita dapat berpikir kritis terhadap argumen-argumen yang kita temui, bisa membedakan apakah ini argument yang sound (masuk akal) atau hanya sekedar asumsi atau sekedar emotional engagement, sehingga (kasarnya) agar kita tidak mudah ‘termakan’ omongan orang terutama dari media-media informasi atau pidato para politikus (begitu kata Pak Dosen #grin). Kalau di lingkungan akademik, ilmu ini jelas penting untuk membuat publikasi yang reliable (terpercaya).

Pada bagian pertama dan kedua buku, penulis mengajak pembaca untuk mempersiapkan pikiran atau mindset tentang apa itu logic contohnya be attentive (penuh perhatian), komunikasi efektif, match ideas to facts, words to fact, menganalisa kebenaran, dan seterusnya dan seterusnya. 

Argumen sebagai bahasa logic mulai dipaparkan pada bagian ketiga. Pada bagian ini kita akan dikenalkan dengan berbagai jenis argument seperti syllogistic argument, deductive, inductive, dll. Karakteristik argument adalah adanya premis, reasoning, dan kesimpulan. Saya bingung menerjemahkan kata reasoning. Reasoning adalah proses dimana otak kita mengolah premis-premis yang ada untuk kemudian ditarik kesimpulan. Reasoning itu lah yang menentukan apakah argument itu truth/not, valid/invalid, sound/unsound (masuk akal/tdk masuk akal). Ada beberapa contoh kalimat untuk memudahkan kita mengidentifikasi jenis-jenis argument. Kalau dalam perkuliahan, kita diberi tugas nonton TED Talk dan “think critically”, menganalisis presentasi tersebut sehingga kita tahu selogis apa konten yang disampaikan presenter dan yang paling penting masuk akal atau tidak.

Pada bagian keempat disebutkan beberapa hal yang menjadi sumber ketidak-logis-an berpikir (illogical thinking) seperti sikap skeptic, sinisme dan naif, pemikiran sempit, emotion and argument, pemikiran wajar (common sense), dll. Kemudian pada bagian akhir disebutkan 28 jenis fallacies (yang harus kita hafal/pahami untuk ujian #cry). Awalnya saya kesulitan untuk mengidentifikasi argument dalam suatu percakapan, presentasi, berita atau tulisan lainnya. Tapi dengan memahami jenis-jenis fallacies ini, lebih mudah bagi saya untuk menganalisanya. Contoh, salah satu fallacies itu adalah Post Hoc Ergo Propter Hoc yang dalam Bahasa Inggris fallacies itu disebut sebagai False Cause, yaitu menghubungkan salah satu kejadian yang terjadi pada rentang waktu sebelumnya sebagai akibat dari kejadian yang sedang atau akan terjadi, padahal secara logika kejadian tersebut tidak berhubungan sama sekali.

Contoh lainnya adalah The Red Herring, kalau Bahasa kekiniannya “ngeles” atau pengalihan isu. Ada juga slippery slope (tanjakan tajam), yaitu menganggap satu sebab akan menjadi sebab dari runtutan kejadian-kejadian berikutnya, misalnya, seorang ibu marah kepada anaknya karena membolos, si ibu berkata kalau dia (anaknya) membolos nanti tidak bisa mengerjakan ujian, kemudian menyebabkan ketidak lulusan atau bahkan dikeluarkan dari sekolah, kalau dikeluarkan nanti jadi pengangguran, gagal, stress, dan mati mengenaskan. Kalau komentar kita sih “ya ga gitu juga kali….” Tapi argument-argumen serupa banyak banyak kita temui di lingkungan sekitar, teruma pelakunya para kaum wanita (kalau ini opini saya saja sih #grin).

Satu lagi fallacies yang sering ditemukan di share-share di facebook, Ad Hominem, yaitu menyerang argument dengan menyinggung sisi emosional, fisik, atau kejadian buruk lawan di masa lalu. Contoh, “Bagaimana mungkin omongan wanita yang tidak menikah, pernah dipenjara, dan bau badannya menyengat bisa dipercaya”. Atau kebalikan dari Ad Hominem yaitu Appeal to Authority, memanfaatkan opini dari seseorang yang mempunyai posisi atau institusi tertentu, “Ini buku terbitan Cambridge University, jadi pasti benar”. Padahal belum tentu semua buku terbitan Cambridge reliable. Tapi Cambridge dapat banyak uang karena fallacies ini #grin.

Itu tadi sedikit dari beberapa contoh fallacies yang memicu illogical thinking. Saya mendapat banyak pencerahan dengan mempelajari logika berpikir ini, terutama di saat yang bersamaan saya juga mengikuti mata kuliah Logika matematika (yang banyak symbol aneh-anehnya). Yang dipelajari di kedua matakuliah tersebut ternyata pada dasarnya sama hanya saja, hanya saja yang satu dengan bahasa yang humanis (manusiawi) dan satunya bahasa matematis. Sebenarnya keduanya bisa diterjemahkan satu sama lain dan sangat bermanfaat dalam praktik kehidupan nyata kita tapi ilmu saya jauuuuuh untuk bisa menerjemahkannya, masih harus banyak belajar >_<. Tapi hati-hati juga kita kalau belajar logika, yang harus kita ingat sebagai orang beragama, tidak semua hal bisa dilogika-kan karena logika manusia terbatas sedangkan ilmu Alloh tanpa batas.

Kesimpulannya, buku ini sangat direkomendasikan terutama bagi debater, orator, atau jurnalis karena selain dapat memahami konsep berpikir logis bisa juga kita memanfaatkan “ilmu illogical thinking” dan berbagai fallacies untuk tujuan tertentu #grin.

Semoga bermanfaat.

Judul buku         : Being Logical
Penulis               : DQ. McInerny
Penerbit             : Random House Trade Paperbacks, 2004
Jumlah halaman  : 131 halaman
SNK_Asahidai, Nomi, Ishikawa 13052016

0 komentar: