Jumat, 25 Maret 2016

GAJAH MADA


Judul Buku                : Gajahmada
Penulis                      : Langit Kresna Hariadi
Penerbit                    : Tiga Serangkai
Jumlah halaman       : 592

Berawal dari rasa penasaran tentang siapa dan mengapa nama Gajahmada begitu populer, saya antusias berburu novel serial Gajahmada. Kresna Hariadi dengan sangat piawai menampilkan sosok politikus dan ambisius Gajahmada dalam novel ini. Menegangkan, bikin penasaran, dan selalu penuh kejutan. Kresna Hariadi mampu memadukan romantisme, kelucuan, emosi, dan konflik dengan sangat apik pada buku ini.
Serial Gajahmada 1 mengisahkan perjalanan karir Gajahmada pada titik nol. Seorang prajurit biasa yang baru diangkat menjadi Bekel, jabatan terendah dalam satuan keprajuritan Majapahit kala itu. Ia memimpin sebuah pasukan kecil bernama Bhayangkara. Pasukan ini sangat istimewa karena disaring dari orang-orang pilihan dan digembleng secara khusus sehingga masing-masing anggota punya kemampuan diatas rata-rata baik dalam kecerdasan, olah kanuragan (kemampuan bela diri), ataupun senjata (panah dan pisau).

Tugas pasukan Bhayangkara selain sebagai pengawal kerajaan adalah sebagai telik sandi (mata-mata), tak ada benteng musuh serapat apapun yang tak dapat ditembus oleh telik sandi Bhayangkara. Pasukan ini menjadi layer terakhir untuk menjaga keamanan raja dan keluarganya. Pasukan ini pula yang menjadi inspirasi dibentuknya Kopasus pada tubuh TNI. Strategi militer pasukan Bhayangkara banyak diadaptasi menjadi strategi militer saat ini.

Kerajaan Majapahit saat itu dipimpin oleh Kalagemet yang bergelar Sri Jayanegara, keturunan lelaki satu-satunya Raden Wijaya yang menjadi raja Majapahit sebelumnya. Petualangan Gajahmada dimulai saat suatu hari kabut tebal tiba-tiba menyelimuti Majapahit. Kemunculan bintang kemukus berekor panjang (meteor kali yah?) menambah suasana semakin ganjil dan mencekam. Suara burung gagak dan lolongan anjing yang terus menerus menambah suasana semakin mencekam. Beberapa orang sepuh yang awas paningal salah satunya adalah Arya Tadah, Mahapatih Majapahit saat itu, mempercayai hal itu sebagai pertanda buruk.

Kabut tebal dan badai bintang kemukus di malam hari pernah terjadi di masa lampau, sehari sebelum Ken Arok menyerbu Kediri saat menggulingkan Kertajaya. Suasana serupa juga pernah melanda kotaraja Singasari sebelum digempur oleh Jayakatwang. Di masa lampau, dua suasana aneh itu rupanya penanda akan terjadinya perang besar yang menelan banyak korban. Apakah ini juga penanda perang untuk Majapahit? Pertanyaannya, siapa yang berani melakukan makar mengingat saat itu Majapahit tak pernah ada konflik dengan pihak manapun.

Dalam kondisi malam yang mencekam itu Gajahmada didatangi oleh orang tak dikenal dengan nama sandi Bagaskara Manjer Kawuryan (matahari bersinar terang) memberikan informasi rahasia yang mengejutkan. Bahwa besok pagi akan ada pasukan pemberontak berkekuatan segelar sepapan yang akan menyerbu Majapahit untuk membunuh raja dan mengambil alih kerajaan (istilah sekarang kudeta). Untuk mengetahui pergerakan musuh, Gajahmada mencoba memilah setiap nama yang mungkin berpeluang sebagai pemberontak, tapi nihil, ia tak punya gambaran siapapun. Malam itu Gajahmada harus menemukan siapa dalangnya atau dia akan kehilangan Majapahit.

Dalam situasi ini terlihat betapa cerdas dan tangkas Gajahmada mengomando pasukan Bhayangkara dalam mengatasi situasi yang rumit dan sangat mendesak. Majapahit saat itu memiliki tiga kesatuan prajurit yang masing-masing berkekuatan segelar sepapan, yakni Jala Rananggana, Jalapati, dan Jalayuda. Hasil olah telik sandi Bhayangkara menemukan bahwa salah satu pasukan itu berada di pihak pemberontak. Gajahmada yang hanya berpangkat bekel, dengan bekal lencana kepatihan dari Mahapatih Arya Tadah dengan sigap malam itu juga melakukan diplomasi dengan dua kesatuan lain yang belum diketahui afiliasinya.

Rupanya hanya pasukan Jalapati yang dipimpin oleh Banyak Sora yang masih mendukung raja. Pasukan Jala Rananggana yang dipimpin Pujut Luntar sudah dipastikan pro pemberontak. Pasukan Jalayuda yang dipimpin Panji Watang bersikap netral tapi dibalik netral tersebut sungguh ada niat yang lebih keji untuk melibas siapapun yang menang dan menjadikan dirinya sebagai raja. Yang lebih mencengangkan adalah otak pemberontakan ternyata pejabat-pejabat yang baru saja diberi gelar kehormatan oleh raja. Mereka adalah para rakrian winehsuka yaitu Ra Kuti sebagai pemimpin, Ra Tanca, Ra Pangsa, Ra Banyak, Ra Yuyu, dan Ra Wedeng. Mereka adalah orang-orang yang tidak puas atas kepemimpinan raja dan haus kekuasaan. Sejarah telah membuktikan bahwa hanya pasukan militer yang berani melakukan kudeta. Kedua bahwa keserakahan manusia akan kekuasaan dan jabatan menjadi penyebab berbagai konflik politik bahkan peperangan.

Singkat cerita Ra Kuti, dkk, berhasil menguasai Majapahit yang menyebabkan Sri Jayanegara dan keluarga harus mengungsi dan nomaden untuk menghindari kejaran pasukan Ra Kuti yang terus memburunya. Dalam pelarian ini banyak kisah tragis tapi lucu menimpa raja karena raja yang terbiasa hidup mewah dan dilayani harus hidup ala prajurit Bhayangkara. Dalam pelarian, dengan menyembunyikan identitasnya, Sri Jayanegara berlindung di rumah-rumah penduduk di pelosok desa. Pengalaman itu membuatnya lebih tahu kondisi rakyat yang miskin dan berjanji untuk lebih memperhatian kesejahteraan rakyat kelak jika ia selamat.

Selama pelarian, raja hanya ditemani oleh Gajahmada, jasa inilah yang membuatnya kelak sangat dipercaya oleh keluarga kerajaan Majapahit. Awalnya, Gajahmada melibatkan pasukan Bhayangkara untuk melindungi raja saat pelarian. Namun rupanya ada dua pengkhianat diantara mereka sehingga beberapa kali raja hampir terbunuh saat bersembunyi. Gajahmada pun memutuskan hanya dia yang menemani raja saat pelarian.

Ra Kuti, si otak pemberontak, menerapkan sistem tangan besi saat berkuasa. Terjadi banyak perkosaan, perampasan harta, bahkan pembunuhan massal saat rakyat melakukan pepe (unjuk rasa) yang dilakukan oleh prajurit Ra Kuti. Siapapun yang berani menentang Ra Kuti dihukum gantung atau dipenjara. Rakyat secara nyata tidak suka terhadap Ra Kuti. Apalah artinya raja tanpa dukungan rakyat. Gajahmada dan pasukan Bhayangkara memanfaatkan kondisi itu untuk menghimpun kembali kekuatan rakyat dan pejabat yang masih pro raja.

Seperti kisah sejarah pada umumnya, dalam novel ini banyak sekali nama-nama tokoh dan gelar-gelar raja yang panjang-panjang dan sulit dieja. Di buku pertama ini saya kudu beberapa kali back to halaman sebelumnya untuk ngecek lagi tokoh ini siapa yah? Bahkan untuk nulis resume ini saya juga kudu ngecek lagi nama-namanya untuk menghindari kesalahan speeling. Trus ada beberapa istilah Jawa yang tak dijelaskan artinya ditulis italic seperti brubuh, nabastala, klebet, jigang, dampar, dll. Untuk buku Gajahmada 2 dan 3 tak terlalu banyak nama tokoh, kalaupun ada nama tokoh baru atau istilah baru diberi footnote sehingga tak harus back to previous page.

Semasa sekolah menengah, pelajaran sejarah bagi saya paling membosankan. Monoton, gak jelas alurnya, enggak banget terbawa arus emosi sejarahnya saat baca. Menulis ulang sejarah dalam bentuk novel akan menjadi inovasi unik dalam memahami sejarah. Kreshna Hariadi pun perlu riset bertahun-tahun untuk menyajikan inti cerita sehingga mendekati kejadian sebenarnya. Tentu ditambah bumbu fiksi yang membuat alurnya semakin gurih. Adalah Prapanca yang juga memiliki banyak nama, sang wartawan sejarah, penulis kitab Negarakertagama, melanglangbuana ke berbagai wilayah Nusantara untuk menuliskan berbagai kejadian yang ia lihat dan ia alami, termasuk salah satunya kesaksian tentang kisah Majapahit dan sepak terjang Gajahmada. Berkat kepiawaian dan kegigihan mereka dalam menulis sejarah, kita yang hidup di jaman sekarang, ratusan tahun melewati masa itu, bisa mengambil hikmah dari kisah masa lampau.

Finally, apakah Gajahmada berhasil merebut kembali kekuasaan dari tangan Ra Kuti? Siapakah prajurit Bhayangkara yang berkhianat? Siapakah Bagaskara Manjer Kawuryan, orang yang selalu hadir secara misterius dihadapan Gajahmada untuk mengabarkan sepak terjang musuh? Orang misterius ini pula yang mengabarkan adanya mata-mata di tubuh Bhayangkara. Perjalanan untuk menemukan tiga teka-teki tersebut menjadi kenikmatan tersendiri dalam melahap novel ini. Endingnya seperti saya bilang, sungguh tak terduga. Jika penasaran silahkan temukan sendiri dalam novelnya. Recomended bagi penyuka thriller dan atau literasi sejarah.

Yogyakarta, Maret 2016
-THW-

Terima Kasih Telah Mengunjungi Blog Indonesi Membaca. 

0 komentar: