Jumat, 25 Maret 2016

Melatih Logika Bareng Kyai Adung


Judul Buku      : Kyai Kocak VS Liberal Ronde #2
Penulis             : Abdul Mutaqin
Penerbit           : Salsabila
Jumlah Hal      : 228
Tahun Terbit   : Februari 2014
Peresume        : Novi Trilisiana, IM2

Kyai Kocak VS Liberal Ronde #2 adalah bagian dari seri Rehat Bersama Kyai Kocak yang ditulis oleh seorang Guru Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta. Buku ini mengunakan pendekatan santai dan humor dalam mengimbangi logika liberalisme. Melalui tokoh fiksi Kyai Adung yang simpel dan berisi, buku ini sangat cocok untuk semua kalangan remaja dan dewasa.

Penulis bermanuver melalui sudut pandang Kyai Adung untuk mematahkan usaha segelintir orang yang ingin meliberalisasikan agama. Kyai Adung yang dianggap kolot tetap nyentrik dengan kekonyolannya kepada Pahlawan Bertopeng__sebutan aktivis liberal dalam buku ini. Karakter Kyai Adung yang blak-blakan semestinya membuat pembaca yang menuhankan nafsu dan logika harus belajar lebih karena ternyata logika mereka sangat lemah dan nafsu mereka keterlaluan.

Terdapat 39 bab yang bisa dinikmati sekali duduk sampai selesai. Dan diawali dengan tagline, “Daripada sok ngikut liberal mending ngikut Kyaikocakisme! Setuju?” Ketiga puluh Sembilan bab tersebut juga diawali dengan sebuah prolog mengenai Pahlawan Bertopeng. Berikut adalah kutipannya, “Pahlawan bertopeng adalah istilah yang dicomot Kyai Adung untuk menyebut siapa saja yang gemar melontarkan pendapat, wacana atau pembelaan mereka terhadap paham dan kelompok yang secara kasat mata jelas-jelas menyimpang dari kebenaran yang telah diterima secara ijma’ (sesuai kesepakatan para ulama). Mereka mencemplungkan diri dalam kancah wacana Ghozwul Fikr secara sukarela, karena pesanan atau sekadar cari sensasi belaka. Ada juga yang fokus melempar-lempar kicauan di media sosial yang ‘ngerusak’. Walau begitu, mereka merasa keren karena berani bebas berpendapat nyeleneh sekalipun itu menyangkut hal penting dalam agama.”

Ada bab yang menyentil berjudul Ngambek dan rasanya sayang kalau tidak saya tulis ulang percakapan ala Kyai Adung dan Si Dimun berikut ini.
“Ya, diubah!”
“Pagimana ngubah surga dan neraka, Mas Dimun?”
“Sudah saatnya dogma orang di luar Islam itu masuk neraka diubah.”
“Diubah bagaimana?”
“Mereka juga berhak masuk surga seperti kita!”
“Lha? Kalau mereka ingin masuk surga bareng-bareng, ya, hayo jadi muslim yang taat. Bukan teologi Islam tentang surga dan nerakanya yang diubah. Kalau engga mau, ya, yakini saja konsep surga mereka masing-masing. Gitu aja, kok, reppooot.”
“Egois!”
“Kan, mereka punya konsep surga sendiri?” Kyai Adung bingung.
“Betul. Tapi jika Islam tetap ngotot bahwa yang masuk surga Cuma orang Islam, itu melukai perasaan mereka.”
“Lha, itu, ‘kan konsep Islam. Mereka masuk surga juga berdasar konsep agamanya masing-masing. Mengapa harus terluka?”
“Iya, tapi tetap tidak etis.”
“Yang etis bagaimana?”
“Kita masuk surga bareng-bareng. Tak peduli agamanya apa. Islam harus berpandangan seperti itu. Itu namanya rahmatan lil ‘alamin.”
“Kalau enggak bisa diubah, bagaimana?”
“Saya keluar dari Islam!”
“Ente enggak takut murtad terus masuk neraka?”
“Saya beragama bukan karena ingin surga dan takut neraka. Saya beragama karena ingin menunjukkan watak agama yang toleran!”
“Ah, ente kalap, tuh. Jangan main-main, Mas Dimun. Entar beneran murtad, lho,” Kyai Adung santai.
“Itu urusan saya. Bagi saya, agama untuk memberikan kasih sayang kepada sesama. Untuk apa beragama dengan dogma yang menyakiti orang?”
Akhirnya Kyai Adung malas menimpali obrolan soal surga dan neraka lagi. Malah, si Dimun dibawa ke restoran untuk diajak makan siang.
Makan.
Selesai makan.
Tengs, Kyai. Gila, enak benar dagingnya.”
“Itu babi, tahu!”
Wot?”
“Babi. Emang nape?”
“Babi itu haram!”
“Lha, ente yang makan. Ane, mah kagak!”
“Tapi…”
“Tapi, apa? Murtad juga haram, tahu! Udaaah, enggak usah dipikirin. Itu orang yang ente kasihani supaya bisa masuk surga bareng ente, hampir saban hari makan babi. Yang penting, ‘kan masuk surga juga!”
“Tapi…”
“Yah, ente kagak takut neraka, malah takut makan babi.”
“Huek! Huek! Huek!”
Qiqiqiqi
Sambil lari ke rest room, orang itu meracau tidak karuan. Di rest room, si Dimun memuntahkan semua isi perutnya hingga tak tersisa. Perutnya kembali keroncongan. Dengan wajah campur aduk antara kesal, sewot, dan gondok, si Dimun kembali ke meja hidang. Dilihatnya Kyai Adung sudah pergi. Iseng dia bertanya pada pelayan restoran.
“Mba, maaf, tadi menu yang dipesan orang kolot itu, apa saja, ya?”
“Orang yang kolot yang mana, ya?”
“Yang tadi makan bareng saya.”
“Oh itu. Sudah dibayar, Mas.”
“Maksud saya, menu daging yang tadi saya makan.”
“Ooh. Ayam rica-rica dan stik domba muda, Mas.”
Wot?”
Wkwkwkwkwkwkw…
Si Dimun melongo. Rupanya dia dikerjai Kyai Adung. Hatinya dongkol. Rupanya daging babi hanya tipuan Kyai Adung. Dalam hati si Dimun malu sendiri, kenapa dia ngotot bilang babi haram, sementara dia sendiri mau murtad.

Itulah sebagian cuplikan isi buku yang menggambarkan gaya Kyai Adung memberi pelajaran. Masih ada kisah lainnya yang kalau dibaca, pembaca akan dibuat mulai dari ketawa sampai introspeksi diri. Logika percakapannya memang masuk akal namun pada alur ceritanya sangat terasa fiktifnya. Yah, namanya juga dikemas dengan pendekatan Kyaikocakisme. Ada-ada saja tapi oke!

Terima Kasih Telah Mengunjungi Blog Indonesi Membaca. 

0 komentar: