Benar bahwa surga ada di bawah
telapak kaki ibu. Namun Rahim, seorang bungsu dari lima saudara di sebuah
keluarga tidak merasakan surga itu. Bukankah seorang ibu harusnya menyapa
dengan kelembutan dan memperlakukan dengan kasih sayang? Tapi tidak dengan
Zulfin, ibunya. Ibunya tidak memberi makan. Bahkan nasi sisa pun dilarangnya.
Di saat keempat saudaranya berangkat sekolah, Rahim justru harus ke ladang.
Bocah kecil itu harus mencangkul ladangnya. Belum makan, dan tidak diantar
makan.
Sepanjang hari Rahim mengayunkan
cangkul dengan gemetaran hingga terik matahari memanggang kulitnya. Kumal
wajahnya semakin terlihat memiriskan hati. Dlori ayahnya, tidak peduli. Makan
siang di sawah dilewatinya tanpa sedikit pun memikirkan Rahim anak bungsunya.
Justru Mbah Na’im yang dapat mengantarkan jatah makan siangnya untuk Rahim.
Keyakinan bisa berubah. Kemantapan
hati bisa labil. Percaya pada omongan orang membuat sebuah keyakinan yang
tadinya kuat bisa menjadi goyah. Pergunjingan yang berlangsung lama bisa
membuat bangunan keluarga kokoh menjadi rapuh. Karakter warga Siwalan yang
tadinya tenteram damai berubah jadi panas. Wuryani kerap membanggakan anaknya
yang sukses-sukses.
Novel ini menyentil khas kehidupan
bertetangga. Bahwa omongan tetangga selalu saja menyertai tindakan kita. Inilah
kondisi yang serba salah. Baik dianggap salah, salah pun pasti tetaplah salah.
Tidak melakukan dianggap keliru, tetapi bila melakukanya pun tetap dianggap
keliru. (Hal. 141).
Perbandingan itu memaksa Zulfin dan Dlori
untuk juga membuktikan siapa yang paling sukses menghantarkan anak mereka. Memang,
setelah itu kehidupan mereka semakin membaik. Panen melon memberikan
penghasilan yang banyak. Demikian juga jeruk. Saat sawah ditanami padi pun,
mereka meraup banyak untung. Namun kemudian membuat hati mereka bergeser.
Kesombongan berbalut kedermawanan mulai melingkupi diri mereka. Saat Wuryani
telah berbalik menjadi baik, justru Zulfin sebaliknya. Tertipu dengan
kemenangannya.
Hati yang sakit sungguh luar biasa
keji. Merasa bahagia atas kematian anak dari orang yang dibencinya. Wuryanti,
tersenyum ketika Musa, anak Zulfin meninggal. Setelahnya, justru Zulfin yang
merasa berbahagia dengan kematian Muniri, anak Wuryani. Duh, hidup memang
sederhana. Tetapi menjadi rumit pada hati yang penuh kebencian dan kesombongan.
Mereka mengira sedang melangkah dalam
jalan kehidupan, padahal sesungguhnya mereka tengah menapaki jalan kematian.
(Hal. 352)
Penulis novel ini secara apik mengeksplorasi
tentang kepedihan hidup seorang anak bungsu yang biasanya penuh kemanjaan dan
kasih sayang. Kehadiran seorang anak yang ‘tidak diharapkan’. Seorang anak yang
rengekan meminta sekolah namun dijawab dengan jeratan tali di sekujur tubuh dan
diikat pada sebatang pohon. Atau, karena kemarahan sepele, semalaman tidak dibolehkan
masuk ke rumah.
Nilai-nilai keagamaan dihadirkan
dengan halus. Bisa jadi semangat berbuat kebaikan itu membawa kita pada
kebaikan, namun semangat itu bisa juga menyampaikan kepada kesengsaraan. Apa
faedahnya berbangga-bangga kesuksesan anak? Ketika di masa tua tidak ada satu
pun anak yang bisa menemui dan menemani orang tua. Banyak pelajaran yang kita
dapat dari novel ini. Sangat perlu dibaca oleh orang tua dan juga anak muda.
Judul Novel : Senandung
Bisu
Penulis : Aguk
Irawan MN
Penerbit :
Republika Penerbit
Cetakan : I, Februari 2018
Tebal Halaman : viii +
388 halaman
ISBN :
978-602-082-229-0
-
Supadilah -
2 komentar:
Terkadang atau seringnya, sebuah omongan bisa menjadi momok yang menyeramkan. ..
Iya benar, kak, memang harus berhati-hati dalam berkata, "mulut mu harimau mu" memang sangat berefek
Posting Komentar