Minggu, 02 Agustus 2015

Sebelas Patriot



Resume 7: Indonesia Membaca
Oleh: Try Antika

Judul                     : Sebelas Patriot
Penulis                  : Andrea Hirata
Penerbit                : Bentang
Tebal Buku           : 112 hlm 




Sebelas Patriot. Adalah novel ketujuh dari Penulis Best Seller Andrea Hirata. Menceritakan sebuah kisah cinta seorang anak dengan ayahnya, dan juga tentang sepak bola dan Indonesia.
Andera Hirata yang dalam novel ini menjadi peran sebagai Ikal, adalah seorang pecinta PSSI, semakin jatuh cinta ketika mengetahui bahwa ayahnya adalah pemain sayap kiri yang pernah membela bangsanya dari koloni Belanda di lapangan hijau di kampungnya, Belitong. Semua tahu, bahwa Bangka Belitung adalah pulau terpencil di selatan Sumatra yang kaya akan pasir hitam, timah, dari dulu hingga saat ini. Masih kaya dan masih terjajah, dulu oleh VOC-Belanda, sekarang oleh negeri sendiri. VOC-Belanda, dibawah pimpinan Distric beheerder Van Holden menguasai wilayah ekonomi pulau Bangka dan Belitong. Selain ingin menjarah timah, Van Holden seakan-akan juga ingin “mengibarkan” bendera Belanda di tanah Belitong, ironinya lagi adalah Van Holden memerintahkan agar hari lahir Ratu Belanda diperingati di tanah jajahannya, Belitong. Sungguh, apa urusannya bangsa ini terhadap hari lahir Emak negara mereka. Orang-orang Melayu saat itu bisanya apa? Tak banyak bisa berbuat. Saya ingat guru sejarah di sekolah yang menghujat bangsanya sendiri tentang maunya dijajah ratusan tahun, dalam hati membentak, wahai guru terhormat, bisa duduk menceritakan sejarah bangsa dengan sangat tenang dan baik disana adalah berkat bangsa terdahulu ini yang guru hujat, mereka Pejuang, setidaknya dalam diam dan keluh kesahnya. -_-
Kembali. Perayaan hari lahir Ratu Belanda ditandai dengan pertandingan olahraga dalam kompetisi piala Distric beheerder. Orang jajahan bertanding sesama orang jajahan, atau Belanda melawan orang jajahan, tapi tentu saja orang jajahan tidak boleh menang, kecuali ingin berakhir babak belur bahkan nyawa di dalam tangsi, Belanda dahulu terlalu bengis, entah sekarang.
Pertandingan sepak bola menjadi salah satu pertandingan olahraga yang mendunia di Belitong, semacam olahraga elit. Adalah tiga bersaudara yang sangat mahir di lapangan hijau maju hingga final melawan tim sepak bola Belanda. Si sulung bertindak selaku gelandang, adik tengahnya selalu melesat hebat di posisi kanan luar, dan si bocah bungsu amat gemilang sebagai pemain sayap kiri. Kemahiran mereka sampai ke telinga Van Holden, tanpa alasan yang jelas mereka dilarang turun ke lapangan hijau, dibangkucadangkan. Akan tetapi, dalam sebuah pertandingan, mereka nekat tampil. Tiga bersaudara itu lahir dalam patriotisme terlalu dini, yang mereka tahu, lapangan hijau adalah medan pertempuran mereka untuk melawan bengisnya penjajah. Mereka berakhir sesuai dengan tebakan, dimasukkan ke dalam tangsi, lalu keluar dalam keadaan babak belur. Tambahan kisah untuk si bungsu, pemain sayap kiri, terdengar kabar bahwa ia dipanggil oleh Van Holden untuk memperkuat tim Belanda melawan sesama orang Belanda. Si bungsu menjawab bengis dan tidak hadir memenuhi panggilan. Ia kembali dimasukkan ke dalam tangsi dan keluar dengan tempurung kaki kiri yang hancur. Saat itu usinya baru tujuh belas tahun, tidak bisa bermain sepak bola lagi, dan si bungsu itu adalah menjadi ayah Ikal di kemudian hari.
Mengetahui kisah lama ayahnya itu, menjadi bulatlah cita-citanya, yakni Pemain Junior PSSI. Selain merasa mampu dengan tendangan pisang kaki kirinya, Ikal hendak mengikuti peran ayahnya di lapangan hijau dulu, ia memilih menjadi pemain sayap kiri. Untuk sampai menjadi Pemain Junior PSSI ia harus melewati berbagai latihan oleh pelatih kebanggaannya, pelatih Toharun, anak dari Pelatih Amin, Pelatih ayahnya dulu, mengikuti berbagai jenis seleksi, mulai dari kecamatan hingga provinsi.
“Untuk menghidupkan kaki kirimu, maka seluruh isi otak kanannmu, kalau memang ada isinya di situ pindahkan semuanya ke otak kirimu, dan lakukan apa-apa dengan tangan kiri,” begitu wejangan Pelatih Toharun. (hal. 43)
Maka menjadilah Ikal dengan menggunakan tangan kiri untuk semua aktivitasnya, memukul beduk, memberi makan ayam, bahkan urusan mengaji pun Ikal memegang lidi untuk menunjuk huruf Arab. Sisir rambut yang biasanya dibelah samping kanan, ia geser menjadi belah samping kiri. Habis-habisanlah Ikal agar memiliki tendangan kiri halilintar seperti ayahnya dulu.
Ikal sukses dari seleksi kecamatan, kabupaten, hingga provinsi, mewakili Sumatra Selatan. Namun harus berhenti sampai di titik seleksi provinsi. Ia gagal menjadi pemain junior PSSI. Bukan main sedihnya Ikal, karena gagal mempersembahkan hadiah yang telah ia perjuangkan untuk ayahnya.
Ada dua klub favorit Ikal, pertama PSSI, lalu yang kedua adalah Real Madrid. Ia jatuh cinta dengan Real Madrid setelah tahu ayahnya mengidolakan Real Madrid. Sepertinya Ikal selalu menjadikan ayahnya sebagai kiblat dalam urusan sepak bola. Terlalu cinta saja Ikal pada ayahnya.
Suatu ketika Ikal bertemu dengan Adriana, perempuan Spanyol yang juga gila bola. Kepada Adriana Ikal menceritakan banyak hal tentang klub favorit pertamanya, PSSI. Ikal berpendapat, menggemari tim sepak bola negeri sendiri adalah 10% mencintai speak bola dan 90% mencintai tanah air, Adriana sependapat. Sampai kapanpun, dan dalam kondisi apapun, Ikal akan tetap mencintai sepak bola, mencintai PSSI, tidak ada urusan menang atau kalah, PSSI yang selalu mencetak gol atau tidak di lapangan hijau bukanlah menjadi urusan penting. Karena dari kisah ayahnya, Ikal telah mengetahui bahwa sepak bola pernah menjadi lambang pemberontakan demi kemerdekaan. Seandainya sepak bola memang memiliki jiwa, maka jiwa sepak bola adalah patriotisme. :’)
Dari zaman jajahan sampai zaman yang katanya bangsa ini telah merdeka, urusan sepak bola telah masuk dalam urusan politik, bahkan urusan bisnis. Karenanya  untuk PSSI, mari mengheningkan cipta, lalu berdo’a. :’)
Seperti itu dan sekian, terima kasih. :)
Oleh: T2. IM3

0 komentar: