Banyak pengamat
ekonomi dunia memprediksi bahwa di tahun 2030 Cina bakal mengungguli negara
Adidaya dalam hal ekonomi. Namun dibalik kemegahan Cina, rupanya banyak kisah
kelam yang sengaja dilarang untuk dipublikasikan. Buku ini merupakan salah satu
yang mengungkapkan ketidakadilan yang dialami petani di Cina yang jumlahnya mencapai
900 juta jiwa. Petani yang sejatinya menjadi penyangga utama kehidupan negara
berpenduduk tertitinggi di dunia ini dibebani dengan berbagai penerapan pajak
yang tinggi, ditindak sewenang-wenang bahkan ekstrim.
Buku ini hanya terbit
2 bulan dan hanya dalam waktu satu bulan pertama telah terjual 150.000
eksemplar. Aparat kemudian menarik peredarannya jikapun masih ada beredar saat
ini adalah versi bajakan. Sayapun mendapatkan buku ini dalam versi e-book. Buku
membahas triple agri (san-nong) di Cina yakni masalah pertanian, masalah
wilayah pedesaan, dan masalah petani. Chen dan Wu menyebutkan bahwa ketiga hal
ini merupakan masalah serius di Cina. Hampir semua lapisan pejabat dari mulai
aparat tingkat desa sampai pusat terlibat sehingga wajar jika kehadiran buku
ini membuat gerah pejabat-pejabat korup dan dengan cepat ditarik peredarannya.
Nasib kedua penulis
buku ini pun tak kalah memprihatinkan. Seorang pejabat korup melaporkan
keduanya atas pencemaran nama baik. Keduanya kalah dalam persidangan karena si
pejabat disokong oleh partai yang berkuasa. Di hari yang sama atas
kekahalannya, segerombolan geng melempari apartemen Chen dan Wu dengan batu bata
dan mengusir paksa mereka dari Hefei. Keduanya pun diminta mengundurkan diri
dari pekerjaannya sebagai jurnalis. Polisi tak dapat berbuat apa-apa. Chen dan
Wu bersama putra mereka kini hidup di desa miskin di Jiangxi, entah mereka
sedang melakukan penelitian lagi atau bersembunyi dari gangster yang sering
disewa pejabat partai untuk mendiamkan atau bahkan membunuh
musuh-musuhnya.
Kisah pertama dalam
buku ini adalah tentang Sang Martir. Adalah Ding Zuoming, seorang petani muda
tamatan SMA di desa Luying yang cerdas. Desa Luying merupakan daerah yang
sangat miskin di provinsi Anhui, tempat kelahiran yang sama dengan kedua
penulis buku ini. Ding gemar membaca, mendengar berita, mengumpulkan informasi,
dan pemberani. Dengan kecerdasannya sebenarnya ia bisa saja melanjutkan kuliah,
namun orang tuanya hanyalah petani miskin.
Pendapatan per kapita
petani di Luying sangat kecil, sekitar 400 yuan (50 dolar) per bulan. Sementara
beban pajak lebih dari 103,7 yuan per kepala. Setelah 12 bulan bekerja banting
tulang di sawah, satu-satunya yang dapat diharapkan oleh penduduk desa yang
tidak dibawa oleh aparat untuk membayar pajak adalah jatah gabah mereka. Barang
berharga lain sudah pasti akan diambil oleh aparat pajak.
Ding kala itu berbuat
sesuatu yang tak berani dilakukan petani lain. Ding yang gemar membaca dan
mendengar berita di radio berhasil mengumpulkan bukti dan informasi bahwa pajak
yang dibebankan oleh pejabat desa melebihi batas yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat. Pajak pertanian dari pusat tak boleh melebihi 5% namun petani
di Luying dan desa sekitarnya dipungut 5x lipat lebih besar. Ding juga
menemukan bukti adanya penyalahgunaan dana cadangan kas desa oleh pejabat desa.
Ia bersama 6 petani lainnya akhirnya melaporkan temuannya kepada pejabat kecataman
dan meminta dilakukan audit kas desa. Petugas kecamatan saat itu akan
memprosesnya dalam dua hari. Namun hari berlalu dan audit tak kunjung
dilakukan. Ding tak putus asa, ia pun melaporkan temuannya ke pejabat
kabupaten. Pejabat kabupaten pun berjanji untuk segera melakukan audit, namun
lagi-lagi tidak ada realisasi.
Salah satu pejabat
desa yang merasa terusik oleh Ding membuat tipu muslihat untuk menjebloskan
Ding ke penjara. Ding dituduh telah memulai pertengkaran hingga adu fisik yang
menyebabkan di pejabat desa masuk rumah sakit. Petugas kecamatan yang juga
merasa gerah atas aduan Ding merasa mendapat angin segar untuk “membungkan”
Ding. Saat diinterogasi Ding menolak untuk membayar uang denda karena ia yakin
tidak bersalah. Para petugas kecamatan yang gerah “melunakkan” Ding sampai Ding
nyaris tewas, limpanya pecah dan Ding meninggal di meja operasi.
Tewasnya Ding menyulut
kemarahan rekannya sesam petani dari desa Luying dan desa tetangga. Lebih dari
seribu petani melakukan demo dan bentrok dengan polisi setempat. Para pejabat
kecamatan dan kabupaten sebenarnya melarang kejadian tersebut diekspos karena
borok mereka tentu akan ketahuan juga. Namun seorang reporter dari kantor
berita Xinhua cabang Anhui yang bertanggungjawab atas liputan pertanian
berhasil mempublikasikan kejadian tersebut hingga sampai ke Komite Pusat Partai
dan Dewan Negara.
Komite Pusat meminta
klarifikasi kepada pejabat kabupaten. Wenhu Dai, pejabat baru yang pernah
ditemui Ding mencoba menutupi kejadian tersebut dengan melaporkan bahwa
meninggalnya Ding murni karena perselisihan pribadi bukan karena pajak. Laporan
ini semakin memicu kemarahan petani. Komite pusat tak percaya begitu saja
laporan pejabat kabupaten sebab versinya beda dengan yang disampaikan oleh
kantor berita Xinhua. Merekapun membentuk tim invesitigasi khusus tanpa
melibatkan petugas kecamatan dan kabupaten dan mewawancarai petani-petani di
Luying dan desa sekitar.
Tim invesitigasi
bercerita mereka sangat sedih melihat kehidupan petani. Bertahun setelah pembebasan
Cina mereka berfikir petani Cina di pedesaan itu hidup sejahtera, nyatanya
kehidupan mereka begitu miskin, beban pajak mereka begitu berat, dan mereka
diperlakukan dengan begitu buruknya oleh para kader (partai komunis). Padahal
di awalnya partai komunis begitu menggembar gemborkan nasib petani sebagai
profesi mayoritas di Cina. Kenyataan nasib petani di lapangan lebih buruk dari
apa yang dilaporkan Ding Zuoming. Semua petani tinggal di gubuk, sedang para
bos (pejabat desa) tinggal di rumah bagus beratap genteng. Bahkan kadang kala
petani-petani ini harus menjual darahnya (pernah baca bahwa donor darah ada
yang dibayar) untuk bertahan hidup, sementara utang pajak terus saja
menggunung. Tim investigasi akhirnya menyimpulkan bahwa Ding Zuoming menjadi duri
bagi para pejabat desa, kecamatan, dan kabupaten yang korup sehingga ia pun
tewas disiksa saat diinterogasi.
Satu bulan setelah
kematian Ding, pengadilan memutuskan bersalah terhadap orang-orang yang
terlibat dalam pembunuhan Ding. Si pemukul Ding dihukum mati dan lainnya
dipenjara serta dicabut hak politiknya. Dewan Negara kemudian menggagas
instruksi darurat mengenai peringanan beban petani, termasuk pajak hanya
dibebankan pada komoditas tertentu. Bagaimana dengan nasib keluarga Ding,
negara menjanjikan ganti rugi (santunan) bagi keluarga Ding, namun hingga buku
ini diluncurkan santunan itu tidak kunjung diberikan. Meskipun keluarga Ding
dibebaskan dari pajak namun keluarganya terpuruk dalam kemiskinan. Ding sebagai
tulang punggung utama keluarga meninggalkan ayah dan ibu yang sudah renta,
istri yang lengannya patah akibat terlalu sering bekerja mengangkut pupuk, dan
tiga anak yang mendapat pembebasan biaya sekolah namun dua diantaranya terpaksa
berhenti sekolah untuk membantu keuangan keluarga.
Judul Buku : Rahasia di Balik Kemajuan Cina
Penulis : Chen Guidi dan
Wu Chuntao
Penerbit : UFUK Press
Bandung, 20 November
2016
-THW-
0 komentar:
Posting Komentar