Membincangkan
masalah pendidikan seolah tidak ada habisnya. Begitu pula dengan buku ini yang
mengupas kegelisahan tentang pendidikan di Indonesia. Sebuah kecemasan,
pendidikan yang belum berhasil mencetak produk yang sesuai dengan nilai-nilai
pendidikan itu sendiri. Begitu luhur nilai-nilai yang diajarkan di sekolah.
Dulu orang Indonesia terkenal dengan sifat ramah, santun, saling menghormati
satu sama lain, jujur, peduli tiba-tiba menjadi orang yang beringas, suka
menghujat, dan saling menyakiti. Orang yang dikenal jujur, religius, dan
dihormati tiba-tiba diberitakan terlibat perbuatan yang melanggar hukum. Produk
pendidikan yang kontraproduktif bagi dunia pendidikan itu sendiri.
Dengan
berani, penulis buku ini , yang merupakan anggota tim Pengembang Kurikulum 2013
Kemendikbud memaparkan kurikulum pendidikan belum memfasilitasi sekolah, guru,
dan siswa untuk mendapatkan bekal di masa depan. Dunia pendidikan di rasa makin
jauh dari makna hakiki pendidikan yang sesungguhnya. Bukan salah guru, bukan salah sekolah, atau
bukan salah siswa. Melainkan sistem pendidikan yang masuh amburadul. Tidak
selaras dengan pendidikan bagi manusia.
Sekolah
adalah masa-masa persiapan untuk menghadapi kehidupan di dunia nyata. Maka,
segala sesuatu yang dipelajarinya haruslah sesuatu yang akan dialami kelak.
Apakah sekolah sudah melakukan semua itu? Apakah sekolah membelajarkan segala
sesuatu untuk persiapan anak hidup di masa depan?
Buku
ini terbagi dalam empat bagian. Bagian pertama, memuat kondisi pendidikan
Indonesia. Bagian kedua, pengalaman penulis dalam kegiatan pendidikan. Ketiga,
koreksi sistem pendidikan. Keempat, paradigma guru dan sekolah.
Penulis
mengupas beberapa kesalahan bangun rancang pada sistem pendidikan kita.
Kenaifan
Tes IQ
Tidak
ada satu alatpun yang mampu mengukur kemampuan otak manusia. Kemampuan otak,
positifnya tidak terbatas, negatifnya pun juga tidak terbatas. Itu pernyataan
John Dewey ketika ditanya terhadap tes IQ.
Melalui
sebuah alat tes yang kita buat, kita berani mengatakan bahwa hanya sedikit
manusia yang istimewa. Dan inilah manusia yang memiliki derajat lebih tinggi
daripada yang lain. Bergaul dengan sesama. Hari-harinya hanya diisi dengan
latihan dan latihan menjawab soal. Mereka istimewa. Dan orang-orang diluar mereka,
tidak istimewa.
Tes IQ
membuat penyamarataan kemampuan manusia yang sejatinya berbeda-beda. Memandang
manusia cerdas dalam satu bingkai kemampuan.
Rangking
yang Mematikan
Semua orang tua mendorong anaknya untuk
menjadi nomor satu di kelasnya. Menggunakan nilai rata-rata sebagai dasar
merangking anak sama dengan meracuni dan membunuh mereka secara perlahan. Sifat
humanis makin lama makin hilang. Lama kelamaan, hati mereka akan tertutup.
Padahal setiap anak berbeda. Kemampuan dan bakatnya berbeda. Bisakah
membandingkan rambutan dengan mangga? Padahal bentuk dan kandungannya berbeda.
Harganya pun berbeda, tergantung trend selera. Perbandingan untuk buah saja
tidak mungkin dilakukan. Apalagi, manusia. Karena manusia itu unik.
Perangkingan
memberikan peluang pada satu anak. Meskipun sistem ini seolah-olah memberikan
peluang kepada semua anak. Toh, hanya satu yang akan mendapatkan satu jenis
rangking itu.
Sekolah
Unggulan
Di
negeri ini, sepertinya, orang lumpuh harus belajar dengan sesama orang lumpuh.
Orang miskin harta dan miskin prestasi harus mencari sekolah pinggiran yang
diasuh oleh guru yang seadanya. Di negeri ini pula, untuk mendapatkan layanan
pendidikan yang baik, kita harus menjadi pintar dulu. Untuk diterima di sekolah
unggulan, hanya mereka yang pintar akademis saja. Sekolah unggul, hanya menerima
anak-anak unggul saja.
Sesuai
pengalaman pendidikan penulis yang berlatar belakang di ranah Minang yang
identik dengan pendidikan di surau, alam buku ini kita akan menemukan
petuah-petuah bijak dari para orang tua kita. Beberapa dalam bahasa Minang.
Indak do kusuik nan ndak salasai, indak karuah nan ndak bisa dijaniahkan (semua
kusut bisa diselesaikan dan semua keruh dapat dijernihkan). Batenggang di banang sahalai (buktikan
bahwa kamu mampu melewati sehelai benang yang hampir putus). Jika kamu berhasil
melewati kawat baja yang super kuat, kamu tidak perlu bangga karena siapapun
bisa melakukannya. Disinilah perbedaan derajat manusia, sukses dengan melewati
rintangan. Berbeda dengan sukses yang dikondisikan. Alam takambang jadi guru (tau kan artinya..hehe..). karajo nan bapokok, silang nan bapangka
(usaha didasari niat yang tulus, dan setiap persoalan pasti ada penyebabnya)
atau jiko tasasek, kembali ka pangka
(jika tersesat, kembali ke hakikatnya). Pepatah yang memiliki kedalaman makna.
Segala
kesemrawutan pendidikan bukan tidak ada solusinya. Kemauan memperbaiki sistem
pendidikan terus dilakukan banyak pihak. Gagasan tentang sekolah harus
diperbaiki. Sistem yang ada, melahirkan hasil yang ada. Jika diinginkan hasil
yang lain, sistem harus diubah. Beberapa langkah perubahannya diungkapkan dalam
buku ini. Menjadi solusi untuk memperbaiki sistem pendidikan kita.
Makna
pendidikan adalah membantu anak untuk berkemauan keras dalam memilih arah jalan
hidupnya sendiri (Engku Sjafei). Pendidikan diartikan sebagai pelayanan
terhadap individu agar berkembang secara maksimal sesuai dengan potensi
masing-masing. Setiap anak berkembag dari kekuatan yang bersumber pada potensi
dalam dirinya. Bukan karena diberi. Proses belajar haruslah sesuai dengan
kemampuan siswa. Belajar merupakan proses merdeka yang melepaskan siswa dari
kungkungan sistem pendidikan yang diinginkan pemerintah.
Judul Buku : Sekolah untuk Kehidupan
Penulis : Zulfikri Anas
Penerbit : AMP Pres dan Pustaka Bina Putera
Tahun : 2013
Jumlah hal : 226 halaman
Peresume : Supadilah
0 komentar:
Posting Komentar