SEWINDU; Cinta Itu Tentang Waktu
TASARO
GK, akronim nama penulis dari Taufik Saptoto Rohadi, adalah salah satu
penulis favorit saya. Mengenal tulisannya dari rekomendasi seorang teman
yang konon bukunya bagus. Jatuh cinta dengan alur cerita di novel
Galaksi Kinanthi-nya, kemudian makin cinta dengan tetralogi novel
sejarah nabawiyah (Muhammad: Sang Penggenggam Hujan) yang ditulis
Tasaro, meski akhirnya masih mandeg baca di buku keduanya. Buku SEWINDU
ini, adalah buku keempat Tasaro yang saya baca. Genrenya
Faksi/Inspirasi. Agak bingung awalnya, tapi setelah beberapa halaman
awal terbaca, buku ini mirip-mirip autobiografi.
Meski tidak bisa
dibilang begitu juga, karena ini hanya kisah perjalanan hidup (delapan
tahun) sewindunya sang penulis. Sewindu, terbagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama menceritakan tentang perjalanan awal rumah tangganya yang
tidak terlalu berjalan mulus, kedua Tasaro mengisahkan lika-liku
pengalamannya menjadi seorang anak bungsu yang puluhan tahun dibesarkan
oleh Ibunya seorang. Sejak kecil ia sudah diajarkan Ibunya mencintai
dunia membaca dan menulis. Tumbuh di dunia kampus dengan banyak sahabat
yang sama-sama terjebak di jurusan jurnalistik, menjadi wartawan, editor
buku, hingga memutuskan untuk menjadi penulis dan mendirikan PAUD di
daerah perbukitan tempat ia tinggal.
Tasaro
banyak bicara tentang rumah tangga. Terus terang, buku ini jadi
buku-wajib-baca untuk para lelaki yang belum menikah. Bahwa membangun
rumah tangga dari nol memang harus punya partner (istri) berjiwa
pejuang. Pasca menikah, Tasaro dan istri meniatkan untuk memiliki rumah
tinggal sendiri. Meski awalnya masih menumpang rumah mertua. Memiliki
rumah sendiri, meski kecil, bentuknya jelek, tapi jika milik sendiri tak
akan menjadi masalah. Menemukan rumah di atas bukit, dengan cicilan
jutaan rupiah bertahun-tahun yang tak sedikit akhirnya menjadi
pilihannya. Sulitnya kondisi ekonomi awal pernikahan juga membuat Tasaro
bersyukur memiliki istri yang sabar menerima keadaannya, pun pandai
mengelola keuangan. Tasaro juga banyak menyisipkan cerita-cerita kecil
yang konyol dan lucu bersama sang istri di tengah himpitan ekonomi rumah
tangganya. Seperti; hampir seminggu lamanya, menu makanan mereka
tempe, sambal dan sawi melulu. Meski menu itu berulang setiap hari, toh
Tasaro dan istri sangat menikmatinya dengan sela canda dan penuh
kesyukuran.
Di
semua episode pengalaman yang diceritakan, ada satu bagian yang
menarik. “Ustad, Saya pengen ngaji!”. Pasti setiap manusia, di satu
titik tertentu akan dibenturkan dengan sebuah kesadaran bahwa ia butuh
kembali dekat dengan Tuhannya. Sangat dekat. Ingin kembali merasakan
cahaya kasih-Nya. Begitulah iman, kadang naik kadang turun. Sejak awal
Tasaro jujur bertutur bahwa keislamannya selama ini hanyalah formalitas
ibadah tanpa ada “isinya”. Hingga dalam perenungannya, iamenyimpulkan:
bagaimana memimpin rumah tangga dengan pondasi agama yang baik, jika
keislamannya segini-gini aja. Bahkan di usia 22 tahun pun ia belum bisa
mengeja huruf hijaiyah. Tapi disini kita akan menemukan kesungguhannya
untuk belajar menjadi imam yang baik bagi istrinya. Menjalankan
keislamannya secara kaffah dengan proses yang tidak mudah.
Dari
semua bagian episode sewindunya penulis, cerita tentang kepergian Sang
Ibunda dan Ibu mertuanya sukses bikin mata basah berkaca-kaca. Saya
punya prinsip yang sama dengan Tasaro dalam kisah kasihnya bersama sang
Ibu. Bahwa, ia sudah mempersiapkan hatinya, jiwanya jauh-jauh hari jika
Tuhan menakdirkan Ibunya ‘pulang’. Siap dan tak perlu ada banyak air
mata dan kesedihan. Ikhlas saja seperti Sang Nabi mencontohkan. Meski
pada akhirnya, tembok kesiapan yang dibangun Tasaro bertahun-tahun
tentang hal ini, runtuh juga, pecah tangisnya saat ia persis melihat
jenazah Ibundanya mulai ditimbun perlahan-lahan dengan tanah.
Ide
yang mendesak-desak benak saya cuma satu, “ Saya tidak akan pernah
bertemu dengan Ummi lagi, selamanya.” Tidak berguna lagi filsafat
kesadaran, kesiapan mental, kepasrahan, dan macam-macam lainnya. Sesaat
itu, saya biarkan diri saya menjadi manusia normal. Seorang anak yang
kehilangan Ibunya. Biarkan saja. (hlm. 179)
Pada
akhirnya, siapapun pasti merasa belum siap ditinggal Bapak Ibunya
kelak. Meski itu adalah pasti. Tulisan Tasaro di buku ini lebih banyak
mengajak saya merenung. Diksinya kaya sekali. Bahasanya jujur dan
mengalir. Ia juga membagi cerita hal-hal yang melatar-belakangi
penulisan novelnya yang berjudul Muhammad : Sang Penggenggam Hujan dan
novel fantasi Nibiru-nya yang menurutnya adalah salah satu bukti
kecintaannya pada negeri ini.
“Setiap
kelahiran anak manusia membutuhkan perjuangan luar biasa seorang
perempuan yang menjadi ibunya. Cukuplah dengan itu dia mesti dihormati
dan dicintai.” (hlm. 214)
Tasaro
menemani istrinya yang nekat berjuang melahirkan secara normal, setelah
dua tahun sebelumnya pernah melahirkan caesar (dan mendapatkan
penolakan dari dokter dan bidan untuk melahirkan normal.) Diksi Tasaro
di momen kelahiran putri keduanya ini romantis sekali. Bikin mata basah
lagi.
Buku
yang sarat makna. Pas jadi buku saku lelaki dewasa yang belum menikah,
pun yang sudah menikah. Kalau kata Tasaro, “Menjadi suami, menjadi
laki-laki.”
Judul Buku : SEWINDU; Cinta Itu Tentang Waktu
Penulis : Tasaro GK
Penerbit : Metagraf
Jumlah Halaman : 382 halaman
Nafisah AR
0 komentar:
Posting Komentar