Aku Bisa Nulis Cerpen
Cerita pendek atau yang biasa disingkat sebagai
Cerpen, bagi saya adalah bacaan yang ringan tetapi memberi kesan yang mendalam.
Cerpen biasanya berisikan sepotong kecil kehidupan makhluk yang membawa makna
tertentu sesuai keinginan pengarangnya. Kadang juga pengarang membebaskan
pembaca menafsirkan makna yang dikemas dalam akhir cerita yang menggantung.
Yah, suka-suka cerpenis (si pembuat cerpen) lah. Masing-masing cerpenis membawa
warna yang sengaja dihembuskan pada karyanya.
Saya pernah membaca mengenai aliran-aliran seni yang
mewarnai hasil karya satra, yang mana seni itu dibagi ke dalam tiga aliran,
seni untuk seni, seni untuk ekspresi atau karya, dan seni untuk pendidikan.
Aliran seni untuk seni mengutamakan nilai kebebasan sehingga tidak mempedulikan
moral maupun nilai, kecuali nilai seni itu sendiri. Aliran seni untuk ekspresi
berarti berkarya untuk kepuasan pribadi dan demi bertambahnya penghasilan.
Penulis beraliran ini akan menyesuaikan tulisannya dengan nilai masyarakat dan
selera pasar. Aliran seni untuk pendidikan memiliki daya juang dalam menghargai
moral dan agama. Mereka yang beraliran ini memiliki standar bahwa tulisannya
harus bermoral.
Cerpen-cerpen yang dibedah oleh Joni Ariadinata dalam
serial dwilogi non fiksi Aku Bisa Nulis
Cerpen, memiliki nafas seni untuk pendidikan. Buku lawas ini sangat cocok
bagi penulis pemula yang ingin menjadikan cerpennya sebagai ladang pencerahan
yang tidak merusak pagar-pagar kearifan. Dikemas seperti surat terbuka, Joni
mengajak pembaca mengkritisi dan menemukan kekhasan suatu cerpen dari berbagai
cerpenis. Ada 14 cerpen di tiap jilid bukudan dibedah berdasarkan tema-tema
yang memudahkan pembaca untuk memulai menulis cerpen. Seperti, mengkreasikan
teknik pembuka, bahasa, imajinasi, tema, latar, tokoh, gaya, irama, titik
bidik, estetika, visi, maupun unsur lokal.
Membaca buku Joni berarti juga belajar langsung dari
contoh cerpen. Tidak semua cerpen dianggap sukses untuk semua penggunaan teknik
pembuka, bahasa, tema, sampai unsur lokal. Sebab, tak ada yang mampu menggarap
kesempurnaan melainkan cerpen tersebut ada untuk mewakili sudut pandang yang
unik. Semua tema boleh ditulis berulang-ulang tetapi gaya menulis dan pemikiran
setiap orang akan menciptakan cerpen yang berbeda. Tentang kejujuran, kasih
sayang, maupun harga diri dapat kita baca berulang-ulang oleh siapa saja yang
berani menuliskannya. Yah, berani setidaknya menjadi modal awal untuk menulis
dan siap dikritisi.
Kita bisa belajar dari cerpenNovia Erwida yang
berjudul Rekening. Cerpen ini
memiliki penggarapan tokoh yang bagus. Dengan cermat, ia membuat klasifikasi
atas masing-masing tokohnya: ada yang disiplin dan terkesan galak tetapi baik,
ada yang slengekan acuh tak acuh, ada
yang bengal menggemaskan, ada yang bimbang (h. 128/j. 1). Berikut secuil
kutipan cerpen Novia,
“Dengar...,” kakak pertamaku itu
angkat bicara.
“Bulan lalu,” ia membuka lipatan
rekening dan mulai membaca dengan suara lantang.
“Empat ratus tiga puluh tiga
ribu sembilan ratus lima belas rupiah.” Matanya melotot, menatap kami satu per
satu. Aku dan keempat saudaraku tertunduk.
“Aku nggak pernah, Ya...,” aku
membela diri. Tidak ada tradisi panggilan kakak di keluarga kami. Namun, semua
tidak mengurangi rasa hormatku padanya.
Cerpen yang ditulis dengan gaya yang ringan dan nyaris
kocak ini menjadi inspirasi pembaca bagaimana menujukkan karakter tokoh lewat
penggunaan dialog, pemaparan tingkah laku ketika merespon dialog, penunjukkan
karakter lewat omongan karakter lain,
serta percakapan batin langsung tokoh-tokohnya (h. 127/j. 1). Joni menyarankan
kepada pembaca untuk mendalami teknik penggarapan karakter tokoh dengan membaca
kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington milik
Budi Darma.
Mari belajar melalui cerpen Qurrota Ayun yang berjudul
Sepasang Mata Ruji. Ada sikap yang
kritis diambil oleh penulis. Bahwa ia memilih untuk menanyakan kembali arti
perdamaian dan menantang keangkuhan rezim yang serampangan menuduh muslim
adalah teroris. Tokoh dalam ceritanya berhubungan erat dengan perang di Pidi,
Aceh Darussalam yang merenggut kebahagiaannya. Adalah Ruji yang harus rela atas
kematian orang tua dan suami pada saat hari pernikahannya. Ia juga harus
menelan kepahitan atas kebutaannya akibat bom granat oleh pasukan berbaju
loreng bersepatu lars. Ruji kemudian memilih untuk berdamai pada hidup,
melanjutkan masa mudanya untuk memijat para perempuan jelata. Pada
akhirnya,Ruji yang tabah ditimpa ketidakadilan sterotipe. Ia mati dalam
bayang-bayang kecurigaan meskipun sebenarnya ia adalah korbandari aksi teroris.
CerpenSepasang
Mata Ruji, bagus dalam menggambarkan latar dan tokoh. Pembaca juga diajak
untuk merasakan dan bebas menerka seperti apa yang dirasakan tokoh.Menurut
Joni, karya fiksi yang baik akan selalu memerdekakan pembacanya untuk berkelana
menggali pengalaman masing-masing individu. Berikut kutipan di awal cerita:
Delapan gerbong kereta kelas
ekonomi baru saja meninggalkan stasiun. Merayap malas di atas rel baja dengan
bantalan kayu warisan zaman kolonial. Diiringi bunyi peluit melengking panjang.
Kereta yang berderak renta makin lama makin pelan, lantas menghilang di telan
jarak. Orang-orang yang tadi berebutan turun kini berjalan bergegas
meninggalkan perlintasan kereta menuju pintu keluar. Gadis berkerudung putih
duduk mematung dekat tiang sebelah timur. Sedari tadi ia tak henti menarik
napas-napas panjang. Membiarkan ujung-ujung syaraf di hidungnya mendeteksi satu
per satu bau yang bercampur baur di udara. Sekilas tadi ia mencium bau yang
asing, bau yang tiba-tiba saja menggetarkan hatinya, memompa denyut jantungnya
sedemikian cepatnya, .... (h. 99-100/j. 2)
Pada intinya, kedua buku ini menjadi alternatif bagi
penikmat karya sastra terutama cerpen untuk siap beralih menjadi pengarang.
Semua orang boleh belajar dari mana saja untuk menambah wawasan mengenai teknik
menulis. Namun demikian, semua orang harus berlatih menulis jika mau
menghasilkan karangan yang memiliki nilai kebaikan sekaligus menambah profit
finansial. Demikianlah Joni menghembuskan semangat berkarya dan berestetika.
Sulit menemukan kelemahan dwilogi yang ditulis oleh editor maupun pegiat
sejarah sastra dan kebudayaan Indonesia. [NT]
Judul Buku : Aku Bisa Nulis Cerpen #1 dan #2
Penulis : Joni Ariadinata
Penerbit : Gema Insani Press, Jakarta
Cetakan : Buku #1 (cetakan ke-dua 2007) dan buku #2 (cetakan
1 2006)
Jumlah Halaman : #1 (206); #2 (251)
Novi Trilisiana
0 komentar:
Posting Komentar