“Kamu harus tahu Harumi sayang,
pada zaman ketika kekerasan begitu mudah dilakukan, hal terburuk yang bisa
dimiliki seseorang adalah identitas.”
Membaca buku fiksi ini seperti
memacu adrenalin. Pasalya ketika kamu kira ini buku romantic, ternyata tidak.
Ketika kamu kira ini adalah novel ternyata sebuah kumcer. Membaca buku ini
mengingatkan saya pada salah seorang teman IM Mas Arsul. Yang berada di daerah
kawasan rawan bentrokan, atau perang antar suku.
Hampir semua cerpen ini tidak lepas dari pertikaian antar suku, kampung,
yang memicu terjadinya perang terkadang hanyalah hal sepele yang berujung pada
penggal kepala. Membayangkan kepala itu berceceran di tanah dengan darah yang
masih mengucur saja sudah membuat saya pusing. Kalau lihat langsung mungkin
saya bisa pingsan.
Kumcer yang ditulis oleh Bernard
Batu Bara ini, sangat mengangkat
peristiwa seputar peperangan di daerahnya, setelah saya lihat biodatanya
ternyata Bernard memang lahir di daerah Pontianak, Kalimantan. Bernard berhasil
membuat saya membaca kumcer ini sampai habis, bahasanya empuk, mudah dicerna
dengan ciri khas banyak sekali diksi yang saya baca di dalamnya. Saya akan
sedikit menceritakan 2 cerpen yang ada di dalam ini. Yaitu KANIBAL dan RUMAH
KANIBAL
Dari kisah ini saya berkesimpulan
bahwa Terkadang kata-kata yang kita ucapkan kepada seseorang yang tengah gundah
dan dalam keadaan down, akan menjadi maghnet yang sangat luar biasa. Tapi
sayang magnet kali ini salah sasaran. Itulah yang saya baca pada kisah yang
satu ini.
Sebut saja namanya “Ia” ia adalah
seorang penulis yang sangat terkenal, ia telah menerbitkan cerpen-cerpen yang
sangat unik. Diantara cerpen-cerpennya adalah “Jari tengahku” “Jari manisku”
“Jari kelingkingku” dan “Ibu jariku” pada saat launching buku, ia bertemu
dengan penulis kesukaannya.
“Kau hebat, sekarang sudah
terkenal. Dan menjadi penulis, Tapi ada
apa dengan tangan dan kakimu?” Ya, ada apa dengan jari tangan dan
kakinya. Jari tangan dan jari kaki ia sudah tidak ada. Itu karena ia telah
memotong mereka satu persatu. Ia telah mengkapak jarinya, mengigit-gigiti jari
tangannya dengan giginya yang telah di asah menjadi taring, sampai semua jari
tangannya jatuh, menggelundung di lantai kamarnya dengan noda darah di
mana-mana. Klutuk, klutuk, klutuk bunyi jarinya berjatuhan seperti buah yang
terlepas dari tangkainya. Dan kalian tahu kenapa ia sampai berbuat seperti
ini? karena di saat ia sedang down
karena tulisannya tidak pernah dimuat. Penulis kesukaannya berkata.
“Dengar, kuberitahu satu hal. Sebenarnya
penulis adalah kanibal, mereka memakan dirinya sendiri demi membuat tulisan.”
Ia terpengaruh dengan ucapannya, karena dalam keadaan down. Ia tidak dapat
mencerna perkataan yang diucapkan penulis kesukaannya itu. Sejak saat itu ia
mulai mencoba-coba memasukkan jari-jarinya ke mulut, mengigit-gigit perlahan
hingga mengigit dengan kuat.
RUMAH
Anak Lelaki itu berdiri di
hadapanku, delapan belas tahun yang lalu ia masih gembira berlari-lari ria
sekarang wajahnya jadi lebih serius. Sebut saja Anak Lelaki dan Papah, dilain
sisi Anak Lelaki sangat tidak setuju dengan keputusan sang Papah untuk membeli
rumah desanya kembali.
Aku sedih karena karena tidak ada
keluarga yang tinggal cukup lama di dalam diriku, karena aku tidak menyimpan
apapun selain kenangan buruk dan sejarah
amat lara, semua teman-temanku sama mereka menyaksikan, kami merasakan dan
menyaksikan saat kerusuhan antarsuku delapan belas tahun lalu. Sehingga setiap
temanku termasuk diriku selalu diberi nama
“INI RUMAH MELAYU” “INI RUMAH JAWA” hanya agar tempat tinggal mereka
tidak dibakar oleh orang-orang yang sangat marah. Lantas apakah aku tidak layak
lagi untuk ditinggali? Apakah saya sedih?
Anak Lelaki itu seperti sedang
berbicara dengan Papahnya. Tak lama seorang lelaki tua sepertinya kukenal
datang menghampiri Anak Lelaki itu. Ah itu Papah. Sekarang wajahnya sudah lebih
tua. Beberapa saat mereka beradu pendapat sampai.
“Papa tidak mau jauh-jauh dari
mamah dan adikmu.”
Akhirnya Anak Lelaki itu menuruti
perkataan papahnya.
Betapa pun banyak peristiwa tidak
menyenangkan di rumah. Ia tetap tempat tinggal dan pulang, kamu tidak
meninggalkan rumahmu hanya ia menyimpan kenangan buruk. Kamu akan tetap
bersamanya, berdamai dengan kenangan buruk itu, dan memperbaikinya sampai jadi
tempat yang lebih nyaman untuk ditinggali. Karena itu adalah rumah tempat
tinggal dan kamu pulang. Huhuhu. Jadi rindu nenek saya di kampung.
Judul :
Metafora Padma
Peresume :
Nur Arfah
Penulis :
Bernard Batu Bara
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tebal :
157
Cetakan :
Pertama
0 komentar:
Posting Komentar