JODOH
Mengenang adalah kata kerja
paling mendominasi dalam novel ini. Kisah dalam kisah yang menjadikan tema
jodoh sebagai benang merah. Fragmen asmara Sena dan Keira ditulis melalui sudut
pandang ke-aku-an Sena, lelaki yang disebut-disebut sebagai anak kecil yang
menjadi dewasa di usianya. Ia pernah menganggap dirinya sebagai pria biasa
tetapi mencintai dengan cara yang tak biasa. Lebih memilih menjaga cinta di
tengah-tengah godaan yang berpeluang menistakannya. Ia dan Keira sadar pacaran
adalah jalan yang tak sepatutnya tetapi bukankah kisah cinta tiada yang
sempurna jalannya? Begitulah Fahd memaklumi mereka yang dimabuk cinta dan
berupaya hati-hati dalam menjalani pacaran.
Sena mencintai Keira sejak
pandangan pertama, saat awal masuk sekolah dasar. Cinta karena suka pada rambut
hitam dan panjang Keira, senyumannya, caranya berjalan, dan suaranya yang
merdu. Sena menyukai apa-apa yang ada dalam diri Keira meskipun sering mendapat
balasan yang sebaliknya. Keira bersikap antipati dan menganggap Sena sebagai
gangguan. Lebih tepatnya, ia tidak ingin takluk pada upaya-upaya Sena
mencintainya. Sena tahu diri dan tetap merawatnya dalam sanubari hingga
kemudian mereka kembali satu sekolah, pondok pesantren di Garut.
Kesempatan untuk berteman dengan
Keira kembali muncul meskipun mereka dipisahkan oleh sistem pondok pesantren.
Semua dipisahkan antara pria dan wanita. Mereka baru bisa berkumpul bersama
saat upacara maupun acara besar. Kenyataanya, pondok memiliki satu pintu
gerbang yang dianggap Sena sebagai peluang besar untuk memanipulasi kejadian
agar ia bisa berpapasan dengan Keira. Sekadar menyapa demi mendengarkan suara
Keira, atau kalau beruntung demi mendapat senyumannya. Tiap kali terjadi
pertemuan yang singkat itu, sosok Keira berhasil membuat jantung Sena deg-degan.
Sena pernah menghitung perubahan degub jantung normalnya setiap kali bertemu
Keira. Hasilnya, peningkatan yang signifikan terhadap degub jantung menandakan
demikian besar kadar jatuh cintanya kepada Keira.
Kisah cinta diam-diam di
lingkungan pesantren mungkin orang sudah banyak yang tahu. Seperti
surat-suratan dan diam-diam bertemu di luar saat pesantren libur. Mereka
lakukan untuk mendapatkan kebahagiaan. Bagi saya, ini sebuah kritikan bagi
dunia pendidikan Islam. Kenyataannya, para remaja sekarang sudah matang secara
biologis tapi belum siap untuk mandiri dan bertanggung jawab. Mereka berani
mencintai tapi bingung bagaimana menafkahi. Dalam novel ini, respon pembina
pesantren sangat tegas. Memilih pendekatan hukuman yang keras sebagai konsekuensi
pelanggaran. Bukankan anak muda yang belajar mencintai perlu mendapat tempat
yang teduh demi meluruskan bagaimana cara terbaik untuk mencintai? Orang-orang
dewasa yang menjelma jadi sahabat karib sangat mereka perlukan agar cinta yang
suci tidak makin legam dan tercemar.
Atas nama cinta, sesuatu yang
terlarang nampak indah. Itu wajar karena iblis dari zaman Nabi Adam sampai
sekarang sudah sangat terampil membisikkan manusia untuk mengikuti nafsu yang
berbalut cinta. Pakar psikologi menganggapnya itu manusiawi karena ketertarikan
terhadap cinta dan kasih sayang merupakan kebutuhan manusia. Menjadi tidak
wajar manakala kebutuhan tersebut dipuaskan dengan cara yang sejatinya
memperturutkan emosi dan nafsu semata karena hidup perlu beragama, bukan?
Demikian pula yang terjadi dalam
dilematisasi kisah Keira dan Sena. Mereka di satu sisi, bermain di antara api
tetapi di sisi yang lain, bersikeras menjaga kehormatan satu sama lain. Atas
nama cinta, Sena kemudian memilih untuk menjauh tak memberi kabar selama 4 tahun.
Demi kebaikan mereka. Sebab, pertahanan iman saja tidak menjamin tercegahnya
penistaan cinta dari berjuta kesempatan untuk bersentuhan, berpelukan dan
berciuman. Sena dan Keira perlu fokus mengejar impian-impian mereka lewat
karya.
Lantas, apakah mereka benar-benar
akan menikah di kemudian hari? Ada satu titik kelemahan Keira yang membuat
cinta mereka terkadang berbalut lara. Ada satu ketakutan Sena yang membuat
cinta mereka dibayangi nestapa. Jika cinta ditulis penuh derita tiada akhir
begini, kapan bahagianya? Tenang, kisah cinta manusia generasi tahun 90-an ini
bisa buat kamu tersenyum-senyum. Bagaimana mereka bahagia boleh jadi
mirip-mirip pengalaman kamu. Iya kamu, yang disebut generasi 90-an. Ah,
sudahlah.
Rasa-rasanya, di dunia nyata,
banyak juga dua insan yang berpacaran. Mereka saling mencintai tetapi belum
mampu melangkah ke jenjang pernikahan dimana menikah adalah tahap awal menyebut
pasangan yang sah sebagai belahan jiwa, jodoh. Pembaca setia tulisan Fahd
Pahdepie bukanlah seluruh muslim-muslimah yang paham. Banyak juga pembaca yang
masih terus belajar untuk dewasa menyikapi perkara cinta dua kekasih. Melalui
Jodoh, penulis mencoba mengetuk ruang hati siapapun untuk kembali bertanya
"Apakah jodoh?"
Baik Keira maupun Sena kembali
mempertanyakan, apakah mereka berjodoh. Sena memiliki alasan kuat atas
keyakinan bahwa Keira jodohnya. Sebab, ia ingin selalu membahagiakan Keira. Ia
berjuang seperti lelaki dari negeri antah beranta yang terus berjalan untuk
menemukan wanita yang setia menunggunya. Sebagaimana yang ditulis penulis bahwa
"cinta selalu membutuhkan ketidaksempurnaan, untuk membuktikan
kesempurnaanya", membuat kisah Keira dan Sena layak untuk dikenang.
Bagaimanapun sosok yang sempurna belum tentu jodoh tetapi jodoh yang sempurna
adalah kematian.
Judul: Jodoh
Penulis: Fahd Pahdepie
Penerbit: Bentang
Cetakan ketiga, Januari 2016
Jumlah halaman: 246
Novi Trilisiana
0 komentar:
Posting Komentar