Canting
Mendengar kata Canting
mengingatkan kita pada sebuah alat yang digunakan untuk membatik. Biasanya
digunakan dengan bantuan alat dan bahan lainnya seperti lilin dan kompor kecil.
Benda ini lebih mudah ditemukan di daerah Jawa Tengah misalnya Solo,
Pekalongan, Jogjakarta.
Buku berjudul Canting ini
memang berkaitan dengan alat membatik ini. Berlatar daerah Solo dengan Pasar
Klewer sebagai salah satu pusat kehidupannya. Di dalam cerita ini juga lekat
dengan budaya dan adat jawa yang serba anggah ungguh. Bertoleransi tinggi,
lebih baik menyembunyikan keburukan atau ketidaksukaan daripada menimbulkan
sengketa bahkan karma.
Buku ini sudah lama
sekali saya baca, ketika karya Arswendo Atmowiloto berjudul Keluarga Cemara
diserikan di televisi. Saya jadi tertarik membaca karya-karya Arswendo yang
lainnya. Dan pekan lalu, buku ini tersembul dari persembunyiannya. Membuat saya
ingin membaca ulang dan menuangkan resumenya di sini. Gaya bahasa Arswendo khas
jawa banget, mengalir dan membawa kita masuk ke dunia tulisannya. Banyak
penanaman nilai di sana sini. P[astinya pembaca perlu hati-hati juga agar
nilai-nilai tersebut tetap terfilter dengan baik, sesuai norma dan keyakinan
pembaca.
Raden Ngabehi
Sestrokusuma atau Pak Bei adalah seorang bangsawan Jawa pemilik pabrik batik
yang diberi cap Canting. Istrinya adalah seorang bekas buruh batik. Bu Bei
adalah gambaran wanita Jawa. Kebahagiannya adalah memberikan bekti yang tulus
kepada suami.
Tuginem, nama
asli Bu Bei, sejak ia kecil ia telah tinggal di rumah Ngabean bersama orang
tuanya. Ia juga bisa membatik. Ketika Raden Ngabehi Sestrokusumo, putra sulung
Ngabean meminangnya, ia masih berumur empat belas tahun. Priyayi. Ia akan
menjadi seorang priyayi, yang akan mengangkat derajat orang tua, leluhur serta
seluruh desa tempatnya berasal. Orang memanggilnya dengan Bu Bei, dan kelak ia
akan bisa memilihkan nama yang bagus untuk anak-anaknya.
Kelak ketika
ibu mertuanya wafat. Bu Bei dipilih oleh sang ibu dalam wasiatnya untuk
melanjutkan penjualan batik di Pasar Klewer. Dan batik adalah denyut kehidupan
keluarga ini.
Sampai di
sini saya melihat budaya keluarga ini bak kehidupan keluarga “Raja Hutan”. Pak
Bei. Bagaimana Sang raja hutan, singan jantan, begitu pongah meng’ada’kan
dirinya. Ia tebar pesonanya, kekuasaannya sehingga tak seorang pun berani
menatap wajahnya langsung. Kata-katanya dalah titah. Namun juga cerdas dan
cerdik. Tahu tindakan yang tepat di situasi yang tepat pula. Sedikit sekali ia
gunakan tenaganya untuk pekerjaan kasar. Cukup denga bahasa tubuh,
sekelilingnya faham apa yang dimasud. Ia juga hakim dalam segala permasalahan.
Bu Bei. Bak
isteri raja hutan. Ia lah yang membanting tulang, mengatur bagaimana buruh
batik bekerja, mengatur pemasukan dan pengeluaran bahan-bahan kebutuhan
pembuatan batik, cash flow penjualan dan pembelian. Transaksi besar dan kecil
di Pasar Klewer. Ia adalah raja bagi buruh batik. Namun, lemah tak berdaya di
hadapan Pak Bei. Pak Bei adalah kebenaran absolut bagi dirinya. Marahnya Pak
Bei adalah musibah baginya. Bahagianya pak Bei adalah anugerah baginya.
Dari
pernikahan ini lahirlah lima anak dengan pembawaan masing-masing, namun semua
berjiwa ningrat. Wahyu, putra pertama dan kesayangan Bu Bei. Lintang, Bayu,
Ismaya, dan Wening.
Di usia Bu Bei yang mulai
senja, tiba-tiba beliau hamil lagi anak keenam. Merupakan kegelisahan bagi Bu
Bei, secara adat dia sudah dijampi sedemikian rupa agar tak beranak lagi. Tapi
kok.... Bu Bei ketakutan akan murka Pak Bei. Walaupun hal itu tak terjadi.
Sehingga lahirlah anak keenam Subandini atau Ni.
Ni.... berbeda dengan
kelima kakaknya, ia lah satu-satunya yang mau bergaul dengan buruh pabrik,
bercanda dengan paman dan bibi di gadog (bedeng tempat tinggal buruh batik). Ia
tahu persis bagimana buruh batik hidup. Bahkan ia pun yang mengenal nenek
kakeknya, notabene oruang tua ibunya, yang juga buruh batik.
Hingga suatu masa. Pak
Bei dan Bu Bei sampai di usia lanjut. Kelima anaknya tumbuh dan maju pendidikannya.
Hidup di kota-kota besar. Ni, berkuliah di Semarang. Batik canting mengalami
kemunduran. Kalah oleh batik cetak. Batik printing.
Ni, yang selesai kuliah
di apoteker, berpikir ingin menghidupkan kembali batik canting keluarganya.
Keputusan Ni
untuk mengurusi usaha pembatikan milik keluarga alih-alih mengikuti calon suaminya
pindah ke Batam merupakan pukulan bagi sang Ibu. Ni ingin mengangkat keberadaan
pabrik batik Canting yang perlahan tergeser oleh kemunculan pabrik batik
printing. Ni ingin berbuat sesuatu untuk mbok Tuwuh, Pak Jimin, dan buruh-buruh
batik lainnya yang telah bekerja keras selama ini sehingga ia dan keluarganya
hidup terhormat. Sejak kecil Ni dekat dengan para buruh itu. Bagi Ni, mereka
tidak hanya sekedar bekerja tetapi mereka mengabdi. Ni merasa bersalah kalau ia
tidak peka, kalau ia mendiamkan saja.
Ni tak
menyadari bahwa keputusannya untuk mengurusi batik adalah sesuatu hal yang
sangat ditakuti oleh sang Ibu. Malam itu Bu Bei dilarikan ke rumah sakit karena
tensi dan gula darahnya yang tinggi. Sepeninggal Bu Bei, Ni tetap pada niatnya
semula, mengurusi pabrik batik agar para buruh memiliki pekerjaan yang menjadi
kebanggaan dan kebahagiaan bagi mereka.
Namun
membangkitkan usaha batik tulis tidaklah semudah yang ia bayangkan, terutama
menghadapi gempuran pasar dari batik printing yang harganya lebih murah. Ni
nyaris putus asa, ketika akhirnya ia menyadari bahwa untuk bisa bertahan maka
perusahaan batik miliknya harus melebur diri. Memuji keagungan masa lalu
ataupun memusuhi pesaing bukanlah cara untuk bisa bertahan hidup.
Melalui para
buruh batik Ni belajar tentang nilai-nilai hidup. Pengabdian, tidak menuntut
pengakuan, dan kepasrahan adalah sikap mental yang diperlukan untuk tetap bisa
menghadapi dunia dengan segala perubahannya.
“Dalam pasrah
tak ada keterpaksaan. Dalam pasrah tidak ada penyalahan kepada lingkungan,
padaorang lain, juga pada diri sendiri.” (halaman 283)
Dari batik,
tidak hanya sebatas melesatrikan budaya, banyak ilmu
kehidupan yang dipelajari dan dipraktikan langsung.
Bulan : Maret 2017
Judul buku : Canting
Pengarang : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : Gramedia
Tahun terbit : 2013
Erna Maryati
0 komentar:
Posting Komentar