Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Bayangkan saat ini ada satu malaikat
bersayap datang pada kita kemudian memberi lima kesempatan untuk bertanya
tentang teka-teki yang selama ini kita tak pernah tau jawabannya. Kira-kira
pertanyaan seperti apa yang akan kita tanyakan? Terlalu berandai-andai memang
:D. Ray (tokoh utama dalam novel ini) mendapatkan kesempatan itu. Begitu banyak
pertanyaan berkecamuk dibenaknya. Lima pertanyaan yang akhirnya dia mengerti
makna hidup dan kehidupannya.
Saya suka dengan rentetan alur yang
dibikin, semua tokohnya saling terkait satu sama lain. Seperti Plee yang
merekrut Ray untuk bekerjasama mencuri berlian 1000 karat, hanya karena tak
sengaja melihat Ray begitu lincah memanjat tiang listrik demi naik ke genteng
untuk menatap rembulan seperti kebiasaannya sedari kecil. Kemudian Plee rela
menyerahkan hidupnya demi menyelamatkan Ray sesaat setelah pencurian itu, Ray
terlihat oleh penjaga dan tertembak di paha. Plee menyelamatkannya dan
menyembunyikannya di ruang rahasia kemudian menembak pahanya sendiri lalu
menyerahkan diri ke polisi yang sudah mengepung rumahnya. Plee adalah orang
yang membakar rumahnya, bahkan seisi kampung itu puluhan tahun lalu. Pleetau
ketika dia mengeluarkan peluru dipaha Ray, tak sengaja menemukan potongan koran
bekas itu di saku Ray. Dia ingin menebus semua dosanya karena telah menjadikan
Ray yatim piatu semenjak kecil. Hingga akhirnya dia dihukum gantung akibat
pencurian berlian itu.
Ada juga kisah yang saya begitu
excited membacanya, mirip dengan kisah di film bollywood yaitu ketika Ray bertemu
cinta pertamanya. Pertemuan pertamanya digerbong kereta itu sama sekali tak
berarti, wanita itu dingin bahkan tak memandangnya sama sekali, walau Ray
berbaik hati mempersilahkan pelayan memberikan pesanan makanan padanya terlebih
dahulu walau Ray berpuluh menit lalu telah memesannya. Hari-hari berikutnya
ketidaksengajaan itu begitu dimanfaatkan Ray, diikutinya wanita itu setiap
paginya, kebiasaannya mengunjungi rumah sakit untuk mengunjungi bangsal
anak-anak. Ray yang ingin dapat perhatian menaruh tangannya di pecahan kaca
yang masih melekat dibingkainya. Wanita itu berbaik hati menolongnya namun
lagi-lagi tanpa sepatah kata. Ray kecewa namun tetap menaruh harapan. Esoknya
diulangi lagi hal serupa, menaruh tangannya dipecahan kaca sementara babat luka
kemaren masih basah oleh obat luka. ada untungnya bagi Ray wanita itu mulai
buka suara.
Ray yang sejak kecil tinggal di
panti asuhan, tidak tau seperti apa rupa orangtuanya. Kerap menyumpah pemilik
panti yang terkenal arogan, menelan semua sumbangan demi ambisinya untuk pergi
ke tanah suci. Ringan tangan kesemua anak panti tanpa pandang bulu. Ray yang
bosan dengan tingkah penjaga panti memutuskan kabur setelah menemukan potongan
koran lusuh di laci penjaga panti bertuliskan namanya disertai berita kebakaran
itu. Disinilah semua kisah pahit sedikit manis Ray bermula, dari potongan koran
lusuh yang tak sengaja ditemukan karena niatnya hanya untuk mengambil uang
sumbangan dari donatur.
Kejutan-kejutan lainnya juga muncul
di kisah ini, seperti Rinai yang dimunculkan sekilas di pembuka novel. Adalah
penghuni panti yang sama, namun di era berbeda. Kenapa ia bisa menjadi penghuni
panti, jawabannya ada di akhir bab buku ini. Malam itu saat mengendara mobil
Ray sengaja ngerem mendadak karena ia benci jika harus melewati panti tempat
dimana ia dibesarkan dulu. Lalu memutar stir mobil melaju ke arah berlawanan.
Kencang menderum tanpa menyadari ada mobil dibelakangnya yang membanting stir
demi menghindari menabraknya. Keras menghantam pohon, menyebabkan pengemudi dan
orang disampingnya tak tertolong. Mereka adalah sepasang suami istri, yang
istrinya tengah mengandung tujuh bulan. Itulah dia, Rinai.
Novel ini begitu menguras emosi,
rentetan kehidupan Ray sedari kecil disaksikannya kembali utuh bersama orang
dengan wajah menyenangkan itu. Setelah tiga bulan dirinya terbaring dirumah
sakit, berkawan selang dan infus. Koma. Semuanya di ulas kembali demi menjawab
pertanyaan Ray yang selama ini selalu ada di benaknya. Kenapa ia harus tinggal
dipanti itu? Apakah hidup ini adil? Kenapa takdir menyakitkan itu harus terjadi
lagi? Setelah semuanya dimiliki, kenapa hampa yang semakin terasa? Kenapa ia
harus merasai sakit berkepanjangan?. Seperti lorong waktu, Ray kembali
menyaksikan potongan-potongan kisah yang tak sempat dimaknainya dulu, bersama
dengan orang dengan wajah menyenangkan itu. Semuanya, hingga semua
pertanyaannya terjawab sudah menyisakan sesal yang tak terperikan. Namun orang
dengan wajah menyenangkan itu berkata akan memberikan kesempatan bagi Ray untuk
memperbaiki segalanya. Lima hari.
Apapun bentuk kehilangan itu,
ketahuilah, cara terbaik untuk memahaminya adalah selalu dari sisi yang pergi
bukan dari sisi yang ditinggalkan. Kalau kau memaksa diri memahaminya dari
sisimu, maka kau akan mengutuk Tuhan. Bertanya apakah belum cukup semua
penderitaan yang kau alami. Kau tidak akan pernah menentukan jawabannya, karena
kau dari sisi yang ditinggalkan. (Hal 315)
Rasa sakit akan kehilangan, derita
yang bertubi-tubi, kerap bikin manusia lupa akan hakikat hidup itu sendiri.
Bukankah hidup sejatinya adalah untuk di uji?? Merasa diri paling menderita dan
hidup tidak begitu adil baginya hingga sampai ke tahap menyalahkan takdir Tuhan
atasnya. Banyak pesan moral di kemukakan di novel ini, ah selalu menyenangkan
pada akhirnya karena bumbu-bumbu berupa pesan itu menyatu dalam rangkaian
cerita yang dibuat seolah-olah itu nyata adanya.
Meski ada penggambaran dalam kisah
yang saya rasa terlalu berlebihan, namun tak merusak apiknya cerita yang
terangkum nyaris sempurna hingga akhir. Jalan ceritanya sulit tertebak dan
tidak bisa dibayangkan hingga terus penasaran kelanjutan kisah berikutnya. Jika
telah memulai membaca, yakinlah akan ada keinginan untuk mengakhirinya.
Judul :
Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Penulis : TereLiye
Penerbit : Repulika
Tahun terbit : 2009
Tebal buku : 426 halaman
Paramudika, IM1
0 komentar:
Posting Komentar