Sabtu, 09 Mei 2015

Segenggam Iman Anak Kita


Judul                     : Segenggam Iman Anak Kita
Penulis                  : Mohammad Fauzil Adhim
Penerbit                : Pro-U Media
Jml. Halaman       : 287



Penulis membagi buku ini menjadi 5 bagian, yaitu menjadi orang tua untuk anak kita; membekali jiwa anak; menghidupkan Al Qur’an pada diri anak; sekadar cerdas belum mencukupi; dan menempa jiwa anak, menyempurnakan bekal masa depan. Di setiap bagiannya akan diberikan kiat, inspirasi dan renungan karena salah satu amal kita yang tidak akan terputus setelah kita meninggal adalah doa anak sholeh/sholehah. Oleh karena itu, yang pertama kali perlu kita risaukan adalah iman mereka, keshalihan mereka. Namun, seringkali orang tua sibuk mencari tahu bakat, lupa melapangkan hati untuk mencintai tanpa syarat, meluangkan waktu untuk mereka, dan menempanya agar memiliki kesungguhan serta tujuan hidup yang jelas.

Untuk menjadi orang tua bagi anak kita, maka kita harus menentukan pola asuh terbaik karena mereka yang dibesarkan dengan keluh kesah cenderung tidak memiliki daya juang tinggi. Sebaliknya, mereka yang dibesarkan dengan penuh penerimaan dan kasih sayang, akan memiliki penerimaan diri yang baik sehingga tumbuh menjadi manusia yang penuh percaya diri. Jika anak-anak dibesarkan dengan penuh kesyukuran serta kehangatan, mereka akan lebih mudah untuk belajar menebar kebaikan dan kesantunan. Inilah pilar awal pembelajaran. Agar anak-anak memiliki orientasi hidup yang baik, yang perlu diberikan oleh orang tua adalah kasih sayang agar menghidupkan perasaan dengan memberikan waktu untuk bercanda bersama mereka. Yang kedua adalah anak diberikan rangsangan untuk berpikir. Orang tua harus membangun cita-cita yang visioner, bukan cita-cita pasif. Dan yang ketiga adalah orang tua perlu mendorong anak untuk menjadi manusia-manusia idealis agar mereka memiliki cita-cita yang visioner tersebut.  Untuk orang tua sendiri, ada tiga bekal dalam mengasuh anak, yaitu rasa takut terhadap masa depan mereka, takwa kepada Allah SWT, dan selalu berbicara dengan perkataan yang benar.

Untuk membekali jiwa anak, orang tua perlu membangun motivasi anak, meletakkan visi pada anak, membangun jiwa yang bercahaya, melatih kepasrahan yang menggerakkan, mencintai mereka untuk selamanya, membekali keimanan dengan keteladanan, dan memahamkan bahwa hanya Islam yang diridhai Allah sehingga anak dapat berIslam dengan bangga dan berIslam dengan ihsan. Setelah itu, orang tua juga harus menghidupkan Al Qur’an pada diri anak. Anak harus ditumbuhkan kecintaan dan keyakinannya pada Al Qur’an. Jika mereka yakin pada Al Qur’an, maka mereka anak menerima sepenuhnya apa yang difirmankan Allah SWT. Mereka menyambutnya tanpa keraguan dan membacanya dengan penuh kecintaan. Untuk menghidupkan Al Qur’an dalam jiwa anak, orang tua harus memperhatikan beberapa hal, yaitu berusaha untuk menghidupkan jiwa anak untuk melihat dan merasakan “ada ayat Al Qur’an” dalam setiap kejadian yang mereka jumpai; membangun tradisi berpikir yang berpijak pada Al Qur’an; dan mengajarkan pada anak untuk memegangi Al Qur’an dengan kuat.

Untuk anak, sekedar cerdas saja belum mencukupi. Orang tua harus menumbuhkan aspek-aspek lainnya. Kecerdasan hanya mempengaruhi kemampuan mengingat, mencerna, dan memahami sesuatu. Sedangkan keyakinan mendorong untuk menggunakan seluruh kemampuannya agar bisa melakukan apa yang telah menjadi keyakinannya. Ada tiga potensi manusia yang berbeda tingkat kemudahan membentuknya. Yang paling sulit adalah karakter, kemudian motivasi, dan yang paling mudah adalah kemampuan kognitif serta keterampilan. Tak ada artinya kecerdasan yang tinggi tanpa integritas. Begitu juga dengan kreativitas. Kreativitas itu penting. Tetapi, kreativitas harus berdiri di atas akhlak yang mulia. Kreativitas harus berdiri sejajar dengan akhlaqul karimah. Kreativitas harus lahir sebagai konsekuensi dari pendidikan tauhid dan akhlak.

Jiwa anak harus benar-benar ditempa untuk menyiapkan masa depannya. Betapapun lingkungan sangat berpengaruh dalam menempa jiwa anak, tetapi yang paling berperan adalah bagaimana orang tua membekalkan nilai-nilai hidup kepada anak. Bukan lingkungan. Bukan zaman saat ia dibesarkan. Orang tua harus membangun sikap positif terhadap belajar kepada anak dengan memberi pengalaman belajar yang menyenangkan, membangun kedekatan emosi dengan anak, menciptakan kondisi belajar yang positif sebelum dan selama anak belajar, menunjukkan manfaat belajar, menularkan antusiasme terhadap ilmu, memberikan apresiasi terhadap belajarnya, serta menjadikan orang tua sendiri sebagai contoh. Jika ingin menjadikan belajar sebagai kebutuhan anak, maka orang tua harus membangun sikap positif terhadap belajar dan keyakinan bahwa mereka memiliki kompetensi. Orang tua juga perlu berhati-hati dalam mendampingi tahap perkembangan anak, terutama saat anak memasuki usia remaja. Orang tua harus bisa memilah keterlibatannya dalam hidup anak. Anak harus diberikan kepercayaan untuk menjalani kehidupannya, tentunya dengan batas dan kontrol yang jelas. Cukuplah orang tua dikatakan menyengsarakan hidup anak-anak apabila membiasakan mereka hidup mudah. Semoga bermanfaat.

0 komentar: