Sabtu, 16 Mei 2015

Panggil Aku Kartini Saja



Kategori           : Buku
Judul                : Panggil Aku Kartini Saja
Penerbit           : Lentera Dipantara
Penulis             : Pramoedya Ananta Toer
Peresume         : Puspita IM 1





Sebagaimana biasanya ketika bulan April tiba, selain gegap gempita memperingati hari Bumi, Indonesia biasanya cukup dibuat ramai oleh perayaan hari Kartini. Sekolah-sekolah bahkan beberapa instansi pemerintah akan mengenakan pakaian adat selama sehari. Jujur sih saya sering merasa geli, apa hubungannya Kartini dengan pakaian adat? Terlepas dari style Kartini yang sanggulan dan mengenakan kebaya, berfoto anggun dan dipasang di dinding sebagai gambar pahlawan, saya amat sangat yakin bahwa apa yang diusung oleh Kartini lebih dari sekedar masalah kebaya.
Selain soal berkebaya yang (menurut saya) hampir tidak ada korelasinya dengan idealism yang diusung oleh Kartini, ada lagi hal yang menjadi rutinitas intelektual masa kini. Memperdebatkan mengenai jasa Kartini di masa lampau. Ada yang mengatakan bahwa Kartini hanyalah alat Belanda untuk menanamkan feminism di negeri ini, ada pula yang mengatakan Kartini adalah produk western yang dilebih-lebihkan, karena sejatinya masih banyak pahlawan perempuan di Indonesia yang (mungkin) lebih hebat dari Kartini tapi tidak diekspos besar-besaran.
So, saya memutuskan untuk membaca sejarah Kartini melalui buku ini. Jika ada yang mengatakan bahwa Kartini hanyalah sosok biasa-biasa saja, sepintas jika dilihat di permukaan saya turut mengamini. Dia belum sampai mendirikan sekolah sebesar sekolah keputrian Nyi Ahmad Dahlan, Kartini juga mungkin tidak seberani Cut Nyak Dien yang turun ke medan perang membawa rencong untuk membunuh penjajah. Kartini hanyalah seorang perempuan yang bermodal pena, hobi menulis surat dan banyak curhat dengan sahabat-sahabatnya di Belanda. Namun, di sinilah saya akhirnya berhasil menangkap kecerdasan Kartini. Bahwa dia manusia yang berjihad dengan pena. Iya…..curhat aja bisa membuat perubahan. Berarti curhatnya dia penuh strategi dong? Jelas!!!! Dan strategi ini yang menurut saya tidak dimiliki oleh beberapa pahlawan perempuan Indonesia yang mungkin sama keren dengan beliau tapi kurang terangkat media. Kartini menuliskan apa yang selama ini menajadi pemikirannya. Pemikiran-pemikiran ini diarsip oleh sahabat-sahabatnya dan bisa diakses generasi berikutnya.
Judul “Panggil Aku Kartini Saja” seolah-olah menegaskan bahwa Kartini hanyalah manusia biasa saja. Dia lahir dari kalangan keluarga bangsawan Jawa. Akan tetapi ibu Kartini hanyalah seorang selir. Sebagai anak selir, kedudukan Kartini tetaplah dipandang sebelah mata jika dibandingkan dengan anak-anak ayahnya dari istri sah. Di dalam buku ini masih diperdebatkan siapa yang mengasuh Kartini saat masih kecil. Dalam adat Jawa, seorang selir tidak tinggal di rumah Bupati (Ayah Kartini seorang bupati). Bahkan Kartini sebagai anak selir hanya menempati rumah  di kompleks rumah Bupati tapi bukan rumah utama. Banyak yang menyebutkan kalau Kartini waktu itu diasuh oleh emban atau bahasa keren jaman sekarang “nanny”. Lagipula, orang-orang yang berpengaruh dengan pemikiran Kartini (yang sering disebut di dalam surat) adalah ayah dan kakak-kakak laki-lakinya.
Jika saya amati lebih jauh dari penulisan Pramoedya, saya memandang Kartini sebagai sosok koleris. Kartini memiliki beberapa kakak perempuan. Tetapi kakak perempuan Kartini ini nerimo, ketika mereka dipingit di usia 12 tahun, tidak diizinkan sekolah karena peraturan adat, mereka pasrah saja. Kakak perempuan Kartini santai saja menjalani kehidupan di pingitan, menunggu dilamar lalu menjadi istri bupati atau pejabat pemerintah di masa itu. Sedangkan Kartini merasa tidak cukup, dia ingin melanjutkan sekolah lagi seperti kakak-kakak laki-lakinya.
Pada suatu hari Kartini mengobrol dengan teman Belandanya di sekolah. Teman Kartini yang bernama Lesty mengatakan kalau dia ingin menjadi guru. Lesty kemudian menanyakan kepada Kartini apakah cita-citanya? Ia menjawab, “Tidak tahu.” Pada masa itulah awal kegelisahan Kartini akan masa depan.
Pada awalnya surat-surat Kartini terkesan cukup labil, hanya memikirkan diri sendiri. Bagaimana dia mengeluhkan kerinduannya untuk belajar bahasa Belanda, akan tetapi sejak lulus dia kesulitan mencari partner yang bisa diajak berbicara dalam bahasa Belanda. Namun semakin lama, semakin bertambah dewasa usianya, pemikiran Kartini terlihat semakin matang.
Terlihat pada surat-surat berikutnya. Kartini mulai peduli dengan keadaan bangsa. Ia menyampaikan kepada teman-teman Belandanya, ada beberapa orang Belanda baik yang ia kenal, tapi banyak juga yang jahat. Kartini membahas mengenai kekejaman Belanda dalam memeras rakyat Indonesia, kerasisan kulit putih terhadap cokelat, bagaimana para Belanda itu enggan menggunakan bahasa Belanda ketika berbicara dengan pribumi. Para penjajah ini menggunakan Melayu babu agar masayarakat Jawa tidak bisa menguasai bahasa Belanda dan terus-terusan tidak terpelajar. Kartini juga mengkritik habis-habisan para pejabat pemerintah pribumi yang bersedia diketekin oleh Belanda demi jabatan dan prestise. Dia mengatakan orang banyak orang Jawa yang gila hormat (dan ia jadikan bahan tertawaan), tapi Belanda pun juga sama saja. Di sisi lain Kartini tetap memberikan apresiasi terhadap Belanda yang bersikap baik, pun juga dengan pribumi yang tak lelah berjuang. Kartini tak henti memuji pendiri Sarekat Dagang Islam. Kadang saya justru berpikir, kenapa kita di masa sekarang ribut-ribut membandingkan Kartini dengan pahlawan perempuan yang lain. Saya pikir, kalau saja Kartini kenal dengan mereka, ia pasti senang sekali karena bertemu dengan orang-orang yang mempunyai visi yang sama.

0 komentar: