Sabtu, 16 Mei 2015

KEZALIMAN MEDIA MASSA TERHADAP UMAT ISLAM



JUDUL BUKU                       : KEZALIMAN MEDIA MASSA TERHADAP UMAT ISLAM
PENULIS                                : MOHAMAD FADHILAH ZEIN
PENERBIT                             : PUSTAKA AL KAUTSAR
CETAKAN PERTAMA          : MEI 2013
JUMLAH HALAMAN           : XXIV HALAMAN, 198 HALAMAN



Masih adakah yang ingat akan adegan baku tembak yang begitu dramatisir tatkala pasukan POLRI Densus 88 mengepung sebuah rumah di Temanggung yang diduga didalamnya bersemayam buronan Teroris nomor wahid kala itu, Nurdin M Top.
Penayangan berita ini secara langsung dilakukan dua televisi nasional, TVOne dan Metro TV. Namun, penulis buku ini menilai pemberitaan ini tak lebih dari reality show, mengapa? Karena penulis menemukan persoalan mendasar terkait hal ini.
Bagaimana mungkin sebuah operasi intelijen dan pemberantasan terorisme bisa diliput media secara langsung dan seketika? Artinya posisi kamera seperti telah diatur sedemikian rupa sebelum acara penggerebekan sehingga sudut pengambilan gambarnya sempurna. Menurut penulis, umumnya untuk operasi penggerebekan semacam tu, awak televisi datang terlambat, lalu gambarnya bergoyang-goyang, angle-nya aneh karena medan yang sulit, gambar kabur dst. Bahkan seorang pengamat media, Sudaryono Achmad menilai pemberitaan ekslusif kedua televisi ini bukan sebuah prestasi jurnalisme, melainkan hanya sekedar kemampuan akses ke aparat kepolisian.
Terkait kejadian ini memicu beberapa media massa dengan zalimnya menstigma buruk terhadap umat Islam, menuduh organisasi tertentu terlibat dalam jaringan terorisme, padahal tuduhan itu bagaikan pungguk merindukan bulan.
Salah satunya pemberitaan Metro TV yang memberi asumsi bahwasanya aktivitas Rohani Islam (Rohis) di sekolah dan universitas sebagai sarang teroris baru. Akibatnya Metro Mini, eh Metro TV dianggap televisi yang anti terhadap aktivitas dakwah rohis. FYI, Mantan wartawan Media Grup Edy A. Effendi, mengungkapkan adanya sikap diskriminatif di internal Metro TV terhadap umat Islam. Mantan penulis editorial Media Indonesia itu menyatakan bahwa hasil rekrutmen wartawan di Metro TV kebanyakan adalah nonmuslim. Bahkan ketika masih bekerja di Media Grup dan mempertanyakan hal ini kepada atasannya tidak digubris sama sekali.
Guru besar Ilmu Komunikasi dari UI, Harsoni Suwardi memaparkan faktor-faktor yang membuat media massa memiliki pengaruh yang begitu kuat, diantara lain yaitu media masa dapat mewacanakan sebuah peristiwa seusuai pandangannya masing-masing.
Berjanggut, berjidat hitam, celana menggantung di atas mata kaki, istri, anak atau saudara perempuan memakai cadar, dirumahnya terdapat buku-buku tentang jihad. Itulah definisi tersangka teroris yang digambarkan oleh televisi. Dampaknya jika masyarakat bertemu sosok seperti itu, maka orang itu patut dicurigai sebagai pelaku terorisme. Pun dengan pemahaman Jihad yang menjelma menjadi kosakata yang mengerikan karena selalu dikaitkan dengan terorisme.
Selain itu faktor lainnya adalah media massa memiliki hak untuk menyiarkan suatu peristiwa politik atau tidak menyiarkannya. Hal ini terjadi dalam pemberitaan terorisme, suara-suara kritis terhadap cara Densus 88 menggerebek para terduga teroris nyaris tidak terdengar, tak seblow up pemberitaan stigma teroris pada umat Islam.
Maka sangat tepat apa yang disampaikan Jerry D Gray dalam bukunya Dosa-dosa Media Ameria, bahwasanya masyarakat harus mencermati apapun yang disuguhkan media massa, “Bukan apa yang mereka katakan, melainkan apa yang mereka tidak katakan.”
Pada sub bab ini dijelaskan pula cara bekerja media massa arus utama, yakni memunculkan ke publik sebagian fakta dan menyembunyikan sebagian yang lain. Hal ini sungguh menarik untuk dikupas.
Media massa seringkali hanya menjadikan polisi sebagai narasumber tunggal. Memang ada sejumlah sumber dari pihak tersangka, seperti keluarga, teman atau tetangga, namun tidak digali lebih mendalam. Adanya keterangan yang menyangsikan tersangka terlibat dalam terorisme tidak dijadikan sebagai beritu utama. Media massa pula acap kali mengabaikan kemungkinan keterkaitan penyergapan tersangka teroris dengan kedatangan sejumlah pejabat negara adikuasa.
Daya kritis media diuji dengan tindakan anggota Densus 88 yang menembak mati orang-orang yang disangka terlibat kasus terorisme. Memang ada beberapa media cetak dan online yang membahas hal ini, namun hal ini tak mampu mengubah opini publik terhadap kebijakan Densus 88 dalam menembak mati sejumlah tersangka teroris dengan berdalih tak ada cara lain selain dengan menembak mati, karena para tersangka teroris ini digambarkan sangat berbahaya.
Seperti dikutip dari Republika.co.id (3/9/2012), ketua umum PP Muhammadiyah, Din Syamsudin menyampaikan kekecewaannya terhadap kebijakan ini, menurutnya dengan anggaran yang besar Densus 88 harus bisa melumpuhkan siapaaktor utama aksi-aksi terorisme, bukan hanya bisa menembak mati pelaku terorisme pelaku kronco.
Sub Bab selanjutnya membahas kezaliman pemberitaan Front Pembela Islam, FPI. Organisasi Islam yang sering disebut-sebut media massa tatkala menjelang dan saat bulan Ramadhan.
Pantengin terus Indonesia membaca ya, untuk membaca lanjutan resume aye.. udah dulu ye.. sampai ketemu di resume selanjutnye... ^_^

Bandung, 15 Mei 2015
Ahmad Fauzi
Indonesia Membaca 3

0 komentar: