Sabtu, 09 Mei 2015

Nasional.Is.Me



Judul Buku                  : Nasional.Is.Me
Penerbit                      : Bentang Pustaka
Penulis                        : Pandji Pragiwaksono
Jumlah halaman           : 233 Halaman
Tahun terbit                : 2011




“Hanya ada 2 jenis anak muda di dunia
Mereka yang menuntut perubahan
Mereka yang menciptakan perubahan
Silakan pilih perjuanganmu.”
                           
Kutipan dari buku ini lumayan menyengat. Nasional.is.me adalah buku yang kental dengan candu-candu nasionalisme. Persis dengan judul bukunya. Buku ini menawarkan cara pandang baru tentang nasionalisme. Cara pandang yang mendebat segala jenis keputusasaan dan sikap skeptis dari sebagian besar masyarakatnya. Sebagian besar masyarakat Indonesia yang memandang pesimis atas masa depan dan realita Indonesia. Saya pribadi memandang buku ini cukup berhasil menekankan nasionalisme dari sisi yang berbeda.

Buku ini dikarang oleh seorang komika, penyiar juga, MC juga. Dia adalah Pandji Pragiwaksono. Bisa dibilang Pandji adalah public figure kreatif masa kini yang mewakili kalangan muda. Kalangan yang sebenarnya sering dipertanyakan wujud real dari nasionalisme mereka. Tapi seperti yang disinggung di buku ini, Kenali Indonesiamu, Temukan passionmu, Berkaryalah untuk masa depan bangsamu. Ya, memang benar, kita bisa mendisplay wujud nasionalisme kita sesuai dengan jalan yang kita ingini. Sesuai dengan hasrat yang menjadi bahan bakar kita menjalani kehidupan.

Buku ini dibuka dengan sebuah fragmen aktivitas wawancara Pandji dengan seorang wartawan. Topik yang menjadi wawancara adalah topik yang sempat menjadi trend di tahun 2009. Topik dari kejadian yang banyak menarik perhatian orang. Kejadian ini pulalah yang membuat Manchester United batal datang ke Indonesia. Kejadian yang seolah-oleh akan membuat mimpi buruk bangsa ini menjadi nyata. Tapi dengan adanya spirit campaign yang digelorakan olehnya dan beberapa kawannya, kita sebagai bangsa ternyata sudah terlatih menghadapi situasi buruk di negeri ini. Daya juang rakyat Indonesia dalam menghadapi beberapa momen yang tidak mengenakan telah mendapat apresiasi positif dari negara lain. Sebut saja bencana alam, terorisme, krisis ekonomi. Sejarah membuktikan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang mampu mengelola hal-hal tersebut dengan baik. Hal inilah kemudian yang melatarbelakangi spirit campaign saat itu. Spirit yang benar-benar menjadi trend kala itu. Spirit itu adalah #KAMITIDAKTAKUT yang kemudian berkembang menjadi viral di social media twitter. Tagar ini kemudian berevolusi menjadi #IndonesiaUnite (jadi tahu kan sejarahnya?). Awalnya trend spirit ini muncul atas reaksi Bom Marriot jilid 2. Disadari atau tidak, ternyata viral ini cukup berkembang dan menyebar menjadi sebuah gerakan. Banyak orang memakai hashtag dan profile picture dengan berbagai kreasi menvisualkan trend ini.

Si wartawan tersebut mengawali wawancara dengan sebuah pertanyaan yang membuat Pandji bingung. Ketika banyak wartawan bertanya mengenai Indonesia Unite, si wartawan ini malah memulai dengan pertanyaan yang tidak bisaa. ‘Kok masih bisa optimis dengan Indonesia di saat kebanyakan pesimis?’ Itulah yang ditanyakan. Pandji bingung karena pertanyaan itu mengesankan yang aneh itu adalah dirinya. Bukan justru mereka yang pesimis terhadap Indonesia. Dia seperti jadi minoritas yang menurutnya merupakan sebuah anomali. Maka yang keluar dari mulutnya sambil menatap wartawan itu kebingungan adalah, “Kalau orang-orang tahu apa yang saya tahu tentang Indonesia, mereka juga akan optimis..”            Di bagian kedua ini buku ini Pandji memang secara jelas apa yang membuatnya optimis tentang Indonesia. Di bagian ini ia banyak menceritakan tentang Indah-indahnya kota-kota yang ada di Indonesia. Paparannya seakan menampar kita yang sering mengeluh dan pesimis terhadap Indonesia karena apa yang kita lihat, padahal banyak tempat yang belum kita datangi. Kita sudah demikian pesimis, padahal kita cuma diam di satu tempat saja.

Buku ini sebenarnya di awali dengan sebuah perjalanan hidup penulisnya. Perjalanan hidup yang membentuk dia untuk konsekuen terhadap sebuah pilihan dan bersikap dewasa. Dari masa SD yang membuat dia merasa hadir sebagai seorang manusia. Dari masa SMP yang mulai mencecap hidup bersosial. SMA yang mulai bertanggung jawab dan mendewasakannya. Dan masa kuliah membangun diri dengan kemandirian. Secara gamblang Pandji menjelaskan milestone hidupnya dan secara terang menunjukkan apa alasannya mengapa dia bisa menjadi orang sekarang ini.

Ada satu bagian yang sangat menyentak di buku ini. Dan ini adalah favorit saya:

Hari ini, pemuda dan pemudi Indonesia nampak bengong setiap kali saya ajak mereka untuk menciptakan perubahan.
Wajah mereka sinis dan berkata “mana mungkin...”
“Saya ‘kan hanya mahasiswa.”
“Saya ‘kan hanya orang kantoran.”
“Saya ‘kan hanya orang bisaa, ga punya uang banyak, menciptakan perubahan nampak tinggi biayanya.” “Saya ‘kan hanya rakyat, bukan decision makers.”
....
Memalukan.
“Saya ‘kan HANYA...”
Pemuda dan pemudi Indonesia merendahkan diri mereka dengan menggunakan kata “hanya”.
Di saat pemuda dan pemudi masa lalu mempertaruhkan NYAWA mereka untuk meninggikan derajatnya di hadapan dunia asing. Di hadapan Jepang, Portugis, Inggris, dan Belanda yang berpikir mereka bisa menindas kita.
Pemuda pemudi yang bilang, “Saya ‘kan hanya rakyat,” harusnya pergi ke Taman Makam Pahlawan Kalibata dan melihat betapa banyaknya makam yang hanya bertulisakan “Pemuda”
karena sang pejuang itu tidak dikenal identitasnya. Ia hanya rakyat yang ikut angkat senjata melawan penjajahan, mempertahankan kemerdekaan.
Malu.
Harusnya mereka malu kepada semua yang sudah gugur di Surabaya karena mereka tetap berusaha walaupun di hadapan 30.000 tentara lawan, menang nampak tidak mungkin.

Ya memang begitulah. Kalau dirasa terlambat memang, karena kebanyakan kita mungkin sudah meninggalkan masa middle class society. Tapi yang nanya membuat perubahan itu tidak tergantung pada usia. Perubahan ada pada orang-orang yang dengan jiwa dan raganya ia mampu membius orang lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita mulia manusia. Menjaga keseimbangan interaksi antarsesama.

Lalu apa yang bisa kita lakukan. Di buku ini Pandji banyak mencotohkan hal-hal sebenarnya simple namun di luar dugaan kita. Mungkin kebanyakan kita menampilkan wujud nasionalisme hanya pada suatu moment, atau pada sebuah retorika. Tapi ternyata sejatinya nasionalisme itu adalah sesuatu yang real. Maka Pandji mencontohkan dengan menjadi pendonor darah tetap untuk seorang bocah yang membutuhkan padahal sebelumnya dia belum pernah donor darah. Nasionalisme yang disadari juga bahwa dia perlu menjaga kondisi tubuhnya, karena sehatnya ia adalah juga untuk orang lain. Pandji juga menunjukkan pada kita betapa sederhananya kita bisa berkarya untuk negeri ini. Kepedulian yang bisa kita wujudkan bagi kaum tidak mampu, memberdayakan komunitas, memupuk rasa kepedulian social yang tentu di antara kita sendiri tahu apa saja contoh dari semua konsepsi nasionalisme tersebut.

0 komentar: