Sabtu, 16 Mei 2015

Setengah Pecah Setengah Utuh


Penulis             : Parlindungan Marpaung
Judul                : Setengah Pecah Setengah Utuh
Tahun               : 2012
Penerbit            : Erlangga
Resume Bagian 2




Seperti gambut yang harus dibakar terlebih dahulu agar dapat digunakan, seperti liat yang harus ditempa dengan cara dibanting, dipukul, bahkan diinjak injak, dan dibakar pada proses akhirnya. Seperti itu pula telur yang harus dipecahkan terlebih dahulu agar dapat digunakan.

Tidak jarang, bahkan sering kali kita mengetahui bahwa seseorang perlu melewati masa-masa sulit terlebih dahulu, sebelum mencapai sebuah kesuksesan. Masa sulitlah yang seringkali menempa kita menjadi sosok yang kuat, tangguh, juga bijaksana. Masa sulit juga merupakan salah satu cara Tuhan untuk mengingatkan kita untuk selalu bersyukur karena dimasa sulit kita bisa merasakan secuil nikmat menjadi sesuatu yang luar biasa, lalu kita bersykur atas itu. Bukankan dengan bersyukur nikmat yang kita miliki dijanjikan Tuhan akan menjadi berkali kali lipat?

Tuhan tidak akan menempatkan kita dimasa sulit melebihi dari batas kemampuan kita. Masa sulit, seberapapun sulitnya, kita harus percaya untuk bisa melewatinya entah itu baik atau buruk, tergantung cara kita untuk menyikapinya. Bukankah untuk naik kelas kita perlu ujian terlebih dahulu? Namun tidak semua manusia menginginkannya dan memilih tetap berada di zona nyaman agar tidak terkena masalah dan tetap berada ditempat yang sama tanpa kemajuan, pada akhirnya (mungkin) akan menyesal.

Diceritakan seorang prajurit ditugaskan untuk bertempur dimedan perang. Di medan perang banyak prajurit yang meninggal, cacat dan luka-luka. Setelah perang usai prajurit ini menelpon orang tuanya memberitahukan bahwa dia selamat dan akan pulang minggu depan. Mendengar hal tersebut orang tua sangat bahagia, namun prajurit mengajukan permohonan untuk membawa serta temannya yang kehilangan tangan kanan dan kaki kirinya. Menanggapi permohonan anaknya, sang ibu awalnya berempati lalu berkata “nak, apabila kita menampungnya dirumah, bagaimana kita merewatnya? Kita sekeluarga akan kerepotan mengurusnya. Belum lagi kita akan kita mengeluarkan banyak biaya untuknya, sebaiknya engkau carikan tempat rehabilitasi atau tempat penampungan yang sesuai untuk kondisinya agar dia nyaman disana, jangan dirumah kita”. Mendengar tanggapan sang ibu, prajurit mengiakan dengan lirih. Ketika waktu kepulangan si prajurit tiba, orang tua tidak kunjung mendapati anaknya hingga tiga minggu kemudian mereka mendapatkan kabar dari komandan bahwa prajurit telah meninggal dengan melopat dari gedung lantai 8 dan orang tua diminta untuk ke kamar mayat utuk melihat kondisi zenazah anaknya. Namun betapa terkejutnya mereka melihat jasad anaknya tanpa tangan kanan dan kaki kiri. Ternyata “teman” yang dimaksud prajurit itu adalah dirinya sendiri, menurut keterangan teman-temannya, usai menelpon orang tuanya si prajurit tampak murung dan tidak ingin pulang, hingga akhirnya dia depresi dan memutuskan untuk bunuh diri dari pada harus merepotkan kedua orang tuanya untuk mengurusnya.

Tidak ada penyesalan yang lebih besar sang ibu melebihi apa yang dirasakannya untuk tetap memilih “aman”. Kita senantiasa menghindari masa sulit atau ingin segera keluar dari masa sulit, tapi apakah kita juga senantiasa memikirkan dampaknya?

Khairisa_IM2 (13 Mei 2015)

0 komentar: