Senin, 09 Juni 2014

Nanosains dan Nanoteknologi yang berbasis SDA lokal : Peluang ataukah Tantangan




Oleh Muhammad Sehol
Dalam Prosiding Simposium Nasional Klaster Sains dan Teknologi


Tidak terelakkan lagi jika kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kemajuan dalam bidang sains dan teknologi seperti beberapa negara maju yang sudah lebih dahulu terdepan dalam bidang ini. Sebut saja Amerika, Jepang, sebagian besar negara Eropa serta beberapa negara di kawasan Asia Pasifik, sains dan teknologi benar-benar menjadi life style pada semua lapisan masyarakat oleh karena tersosialisasinya pemahaman sains dan teknologi ini secara sistemik. Sebaliknya, berkaca pada negara sendiri, sains dan teknologi di Indonesia yang hanya dipahami oleh sebagian kecil masyarakatnya harus menghadapi sikap apatisme dan pesimisme pemerintah yang menurunkan gairah para aktivis saintek.
Keemasan the first wave Indonesia di masa Habibi menjadi realistik dengan peningkatkan potensi SDM pada masa itu dengan mengirim mereka ke luar negeri untuk alih teknologi. Tetapi ternyata misi mulia tersebut tidak semua orang menganggapnya seperti itu, malah banyak kalangan memandang sebagai konsentrasi pihak tertentu karena belum tentu relevan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, SDA yang melimpah di negara ini menjadi target utama eksploitasi negara lain karena SDM nya sendiri tidak dapat memanfaatkan secara excellent.
Well, dengan pendahuluan tadi, udah kebayangkan gimana masalahnya apalagi sekarang adalah zamannya nano baik itu nanosains maupun nanoteknologi. Negara-negara maju sudah berlomba-lomba untuk mengembangkan teknologi ini bahkan dengan peningkatan dana untuk researchnya dan dalam kuartal 5-10 tahun pengerjaan. Tujuannya untuk apa, yah sudah jelas untuk menguasai pasar dunia, untuk menjadi kiblat pengembangan sains dan teknologi. Di Indonesia sendiri, sekarang lagi tahap pengembangan diri setelah tahap sosialisasinya di tahun 2007 oleh LIPI dan juga beberapa keluaran Jepang yang sudah membuat komunitas Masyarakat Nano Indonesia (MNI). The only one nya teknologi nano Indonesia yang telah dipatenkan adalah nano silica yang mengandalkan SDA lokal khususnya pada kandungan pasir dan abu sekam padi yang melimpah.
Potensi SDA lokal Indonesia memiliki prospek yang cukup cerah untuk pengembangan iptek nano, inilah pertanyaan yang harus kita jawab apakah sebagai peluang ataukah tantangan bagi kita yang sekelumit saintek di negara ini. Sudah ada langkah positif dari salah satu konglomerat Indonesia yaitu Mochtar Riady yang telah mengglontorkan dana sebesar US$ 20 juta guna pembangunan Mochtar Riady Nano Center Technology (MRNCT) yang dikonsentrasikan untuk pengembangan iptek nano. Seperti kita ketahui, seharusnya terjadi sinergisitas iptek nano dengan dunia industri sehingga hasil paten iptek tersebut dapat dilirik untuk mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, tetapi kenyataannya di negara ini, iptek nano hanya bernilai ilmiah. Menjadi perhatian lebih bagi kita penerus generasi ini adalah langkah awal yang ada seharusnya menjadi tindak lanjut yang komprehensif antara aktivis saintek, dunia industri dan pemegang kebijakan agar target terbaik bagi bangsa ini dapat terwujud.
Potensi prospektif yang sering terabaikan yaitu dari cangkakng kepiting. Dominannya cangkana ini dianggap hanya sebagai limbah, tetapi tidak di negara maju, komponen kimia dari cangkang kepiting ini merupakan sumber devisa bagi negara mereka. Lalu pertanyaannya adalah How? Jepang merupakan kota high industri, itu berarti jumlah limbah yang dihasilkan pun besar, mereka mencari cara untuk menanggulanginya, dan terfungsilah kitin dan kitosan yang dikandung pada cangkak kepiting sebagai flocculant yaitu bahan pengendap atau penjernih air limbah.Estimasi dari 700 ton cangkak kepiting yang telah diolah menjadi kitin dan kitosan, di Jepang 500 ton nya digunakan sebagai flocculant, 100 ton digunakan pada industri kosmetik, pangan, pakan, dan sisanya untuk dimanfaatkan di bidang lain seperti biokimia, enzimologi, mikrobiologi, farmasi, gizi, pertanian, industri kertas dan tekstil.
Khusus untuk pemanfaatan cangkang kepiting pada iptek nano lebih ditekankan untuk mengeliminir dan mendegradasi ancaman bahaya kontaminan terutama kontaminan logam berat yang masuk pada perairan.
Kitin berbeda dengan kitosan karena kitosan adalah turunan dari kitin yang dipisahkan dengan deasetilasi kitin. Dengan iptek nano, kitosan dianggap lebih bermanfaat sehingga banyak para periset memanipulasi kitosan dari hasil konversi kitin pada beberapa situs aktif nya sehingga didapatkan turunan kitosan yang dapat digunakan dengan lebih efektif dan efisien dalam mengatasi limbah tercemar. Iptek nano juga menyumbangkan hasil produk adsorben yang lebih survive dari aspek metode maupun kualitasnya. Sebuah catatan yang diambil yaitu limbah yang tidak dianggap tidak potensial sama sekali pun bisa memberi manfaat begitu besar jika diketahui persis proses yang dapat digunakan untuk meningkatkan nilai ekonominya apalagi dielaborasi dengan teknologi nano.

0 komentar: