Minggu, 14 Juni 2015

Membangun Karakter Bangsa, Bercermin Pada Sosok Jendral Sudirman



Kategori                     : Buku
Judul                            : Membangun Karakter Bangsa, Bercermin Pada Sosok Jendral Sudirman
Penulis                        : Asren Nasution
Penerbit/Tahun        : Prenada/2013
Tebal buku                 : 155 hal




            Menyambut ulang tahun dirinya ke 47 sekaligus Dirgahayu TNI AD yang ke 67, Asren Nasution berinisiatif untuk menulis kembali sejarah kehidupan panglima besar pimpinan pertama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yakni Jendral Sudirman. Dalam melihat sosok Jendral Sudirman, Nasution mengambil sudut pandang pendidikan masa kini yang sedang menggembar gemborkan karakter. Baginya, karakter atau kepribadian dapat diambil cerminannya pada diri seorang Jendral Sudirman secara khusus dan pada diri setiap anggota TNI, karena mereka telah ditempa sedemikian rupa agar memiliki mental baja.
            Tentu sudah jamak didengar nama ini, Sudirman, entah sebagai nama pahlawan, nama negarawan bahkan nama jalan. Yang jelas, para pendengar dan pendengung nama besar itu sepakat bahwa ia adalah patriot pembela bangsa.
            Pak Dirman lahir pada 24 Januari 1916 di Desa Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga. Kelahirannya normal seperti bayi biasa pada umumnya. Ia berasal dari keluarga kecil bahkan dapat dikatakan jelata. Hingga adik ibunya yang berprofesi sebagai Asisten Wedana Rembang, mengangkatnya sebagai anak demi membantu kakaknya sekaligus agar Dirman Kecil dapat meramaikan rumahnya dengan suara khas anak-anak.
            Dibawah asuhan Pamannya, Dirman dapat menikmati pendidikan yang layak. Ia bersekolah di HIS Purwokerto dan melanjutkan di Yayasan Taman Siswa milik Ki Hadjar Dewantara. Dirman terus bersekolah hingga level Wiworo Tomo dan Muhammadiyah di Solo hingga tahun 1934. Pada tahun tersebut Paman yang selama ini mendukungnya untuk bersekolah meninggal, walhasil ia pun harus bekerja untuk mencukupi hidupnya dan ia memilih untuk mengabdi di HIS Muhammadiyah Cilacap untuk mengajar Bahasa Indonesia.
            Dirman aktif berorganisasi terutama yang mengasah bakat enerjik dan keislaman, ia bergabung dengan Hizbul Wathon. Sebuah cerita heroik yang mungkin sering didengar jika kita berkisah tentang riwayat hidup Pak Dirman Muda adalah saat kemah di kaki Gunungapi Slamet. Saat itu tengah malam dan hawa menjadi sangat dingin, seluruh peserta jamboree perkemahan pergi meninggalkan kemah dan turun menuju desa terdekat mencari penginapan di rumah warga. Namun, hanya satu orang yang tidak mau pergi meninggalkan kemah, yakni Sudirman. Ia berkata, “ini adalah latihan, siapa tahu dikemudian hari, masa-masa yang lebih berat daripada ini akan aku lalui”. Kata-kata itu seakan ia dapatkan dari masa depan. Sebab setelah masa itu, kita ketahui bahwa ada kegiatan Perang Gerilya ala Jenderal Sudirman yang masyhur strateginya namun juga menghendaki kekuatan fisik yang luar biasa.
            Awal mula Sudirman bersentuhan dengan TNI ada;ah ketika ada pembentukan PETA (PEmbela Tanah Air). Ia mendaftarkan diri dan lolos sebagai prajurit. Waktu terus berlalu hingga Pemerintah RI mengeluarkan keputusan untuk membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada masa tersebut, Sudirman terpilih untuk memimpin TKR DivisiV yang bermarkas di Purwokerto.
            Oktober 1945, Oerip Sumohardjo diangkat sebagai Kepala Staff Umum TKR oleh Sukarno dengan pangkat Letnan Jendral. TKR dibagi menjadi 16 Divisi dengan 10 Divisi di Sumatera dan 6 Divisi di Jawa. Sumohardjo berpendapat harus ada Komandan tertinggi bagi TKR, ia pun memprakarsai Konferensi TKR untuk pertama kali di DIY tahun 1945 bulan November. Pada konferensi itulah, Sudirman terpilih menduduki jabatan tertinggi dan gelar panggilan “Panglima Besar” pertama kali diucapkan oleh Soekarno, “inilah Panglima Besarmu” ucapnya di depan khalayak konferensi. Bersama Letjen Oerip, Jendral Sudirman bahu membahu membangun basis konsep TNI. Letjen Oerip adalah peletak dasar teknisnya sedangkan Jendral Sudirman adalah peletak dasar filosofisnya.
            Pondasi filosofis yang diletakkan keduanya sangat kental nuansa kerakyatan dan keislamannya. Oleh karenanya, TNI berslogan “oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat” sedangkan atmosfir keislaman ditancapkan oleh Sudirman ala Hizbul Wathon tempatnya berorganisasi semasa muda dahulu.
SELESAI.

Dibawah Cemara Tujuh,
Wawan IM1

0 komentar: