Minggu, 14 Juni 2015

Mendidik Anak di Era Digital (Kiat Menangkal Efek Buruk Teknologi terhadap Anak)

Peresensi                   : Yurista Yohasari (IM 3)
Kategori Bacaan        : Non Fiksi
Judul Buku                : Mendidik Anak di Era Digital (Kiat Menangkal Efek Buruk Teknologi terhadap Anak)
Halaman                    : 256
Penulis                       : Yee-Jin Shin
Penerbit                     : Noura Books



[Lanjutan] 

Dapat saya katakan, hampir separuh dari isi buku ini menjelaskan bahwa perangkat digital (khususnya ponsel pintar) yang disodorkan kepada anak menimbulkan dampak fatal bagi otak anak.
Pernahkah para orangtua terpikir mengapa anak-anak menjadi tenang ketika diberikan ponsel pintar? Mereka menganggap perangkat digital itu bisa membuat anak-anak 'berkonsentrasi'. Akan tetapi, sebenarnya, yang tepat adalah 'dikendalikan'. Dengan kata lain, ponsel pintar membuat otak anak melupakan perannya dan diperbudak oleh perangkat digital. (hlm. 111)

Berbagai alasan yg biasanya digunakan saat orangtua memberikan perangkat digital kepada anak, antara lain untuk menghibur anak yg menangis, memberikan rangsangan yg lebih bisa membuatnya tertarik untuk belajar, & memperkenalkan teknologi canggih kepada anak agar dia dapat mengikuti perkembangan zaman dengan lebih cepat. Shin menuliskan, "anda perlu mengingat baik-baik bahwa semua alasan itu membuat masa depan anak-anak menjadi suram." (hlm. 133)

Ada 2 akibat serangan perangkat digital terhadap otak anak :

1⃣ Popcorn Brain
PB → kondisi otak anak yg terbiasa dengan layar perangkat digital yg senantiasa merespons stimulus kuat hingga otak seperti meletup-letup. (hlm. 112)
Daya konsentrasi anak akan menurun akibat PB karena otaknya hanya akan mencari stimulus yang kuat. Hal ini melahirkan efek samping, yaitu melemahnya daya ingat anak. Ini menjadi dampak yang merusak karena otak hanya selalu mencari stimulus yang mengesankan saja. Jika kita amati karakteristik anak PB secara teliti, anak itu tidak bisa mengikuti pelajaran dengan sempurna karena dia tidak sanggup berkonsentrasi membaca. (hlm. 113)

2⃣ ADHD
Riset di luar negeri menyebutkan bahwa setiap bertambah satu jam anak menonton TV maka akan bertambah 10% risiko anak terkena ADHD. Perangkat digital merangsang bagian detail otak secara intensif sehingga hal tersebut mengganggu keseimbangan fungsi otak. Daya konsentrasi anak yg terkena ADHD pun menjadi singkat & impuls menjadi tidak terkontrol dengan baik. (hlm. 115)
Jika anak sejak kecil menerima stimulus visual yg bergerak dengan kecepatan tinggi dari perangkat digital, akan muncul masalah pada kematangan lobus frontalis anak. (hlm. 116)

Semakin sering anak terpapar perangkat digital, semakin besar kemungkinan anak mengalami kesulitan dalam perkembangan emosi, daya konsentrasi, & daya pikirnya. Pada kasus orang dewasa, sirkuit saraf otak yg tumbuh sempurna akan mengalami gangguan karena mendapat stimulus dari perangkat digital. (hlm. 119)

Lalu, bagaimana dengan anak-anak generasi sekarang? Sejak kecil mereka belajar menggunakan video & bermain komputer. Di saat seharusnya mereka mengalami perkembangan emosi & kemampuan bersosialisasi, justru anak-anak tersebut tumbuh dengan diganggu oleh perangkat-perangkat itu. (hlm. 120)

Pada halaman 124-125, Shin menjelaskan ttg para pegawai perusahaan-perusahaan TI di Silicon Valley menyekolahkan anak-anak mereka di Waldorf yg tidak menyediakan komputer kecuali sudah kelas 3 SMP & itu pun secara perlahan.

Pada halaman 134-151, Shin memaparkan hal-hal apa saja yg dapat terjadi jika anak-anak lebih memilih perangkat digital ketimbang aktifitas fisik yg lebih produktif. Salah satunya adalah kesulitan menyerap pelajaran di sekolah & malas membaca. Dampaknya, daya nalar & kemampuan berpikir abstraknya menurun, termasuk rusaknya kecerdasan emosi si anak.

Khusus anak-anak yg kecanduan game, mereka akan selalu mencari hal-hal baru yg provokatif. Hal ini disebabkan adanya dopamin. Tidak ada stimulasi yg lebih kuat drpd game. Oleh karena itu, anak akan lebih fokus bermain game baru untuk mendapatkan skor yg lebih tinggi & item yg lebih banyak ketimbang bermain di luar rumah bersama teman-temannya. Tentu mendapatkan skor yg lebih tinggi & item yg lebih banyak bukanlah kebahagiaan. Itu hanyalah kegelisahan yg muncul karena ingin mencapai target yg lebih tinggi lagi. (hlm. 151)

Ada 3 kelompok anak-anak yg rentan terhadap pengaruh perangkat digital :

1⃣ Anak-anak yg memiliki emosi negatif atau sedang memasuki masa puber;
2⃣ Anak-anak yg lebih senang menyendiri;
3⃣ Anak-anak yg mudah terdistraksi & impulsif.
(hlm. 156-164)

Ada 3 penyebab kecanduan perangkat digital pada anak :

1⃣ Orangtua yang lebih dulu kecanduan perangkat digital.
Aneh sekali jika orangtua tidak bisa mengurus anak-anak karena dirinya sendiri memiliki ketergantungan pada perangkat canggih. Shin berpendapat, jika anda tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh perangkat digital, walau sudah mengetahui dampak buruknya, itu sama saja dengan anda mengabaikan anak sendiri. (hlm. 166)

Anak yg tidak mendapatkan cukup pengasuhan akibat orangtua mengalami ketergantungan perangkat digital tumbuh dengan emosi negatif & tidak bisa mengendalikan kesedihan, kegelisahan, maupun amarah dengan baik. (hlm. 168)

2⃣ Perangkat digital menggantikan guru dalam memberikan pelajaran. (hlm. 169-174)

3⃣ Masyarakat yg kompetitif & stres pada anak. (hlm. 175-184)

Pada 2 bagian akhir (hlm. 193-251), tulisan Yee-Jin Shin dikhususkan bagi para orangtua yg terlanjur memberikan perangkat digital kepada anak-anak mereka.

Yee-Jin Shin adalah Psikiater Kesehatan Jiwa Anak & Remaja, mendapat gelar Doktor dari FK Univ Yonsei pada 1989. Saat ini menjadi anggota Dewan Nasional Korea yg berfokus pada masalah-masalah sosial khususnya anak.

0 komentar: