Kamis, 06 September 2018

Kisah Para Preanger Planters


Pengantar

Awalnya pada abad ke-19, Tanah Priangan menjadi tempat primadona perkebunan kopi. Namun seiring dengan diberlakukannya Undang Undang Agraria pada saat berakhirnya Sistem Tanam Paksa (akhir abad ke-19), tanaman teh mulai muncul menjadi komiditas penting selain kina dan karet. Para pengusaha (yang berasal dari bangsa kolonial) perkebunan Teh telah berhasil meraih kesuksesan dalam mengembangkan lahan yang awalnya ladang menjadi perkebunan.

Namun kesuksesan tersebut tidak diraih dengan mudah. Setidaknya mereka harus menghadapi beberapa “pemberontakan” dari pribumi dan buruh perkebunan teh yang didatangkan langsung dari Makau dan Tiongkok. Sehingga dengan lebih jelas, para pengusaha tersebut telah mengubah tradisi masyarakat Priangan yang pada saat pemberlakuan sistem tanam paksa, aktivitas penopang perekonomian adalah dengan berladang. Masyarakat Priangan yang awalnya dikenal sebagai peladang, dengan pembukaan lahan perkebunan, mereka beralih jadi buruh perkebunan. Sejak saat itu, ekonomi masyarakat Priangan mengalami kemandegan.

“Emas Hijau” yang memicu Pemberontakan.

Tanaman teh masuk ke Pulau Jawa dibawa oleh Andrea Cleyer, seseorang yang berkebangsaan Jerman pada pertengahan abad ke-17. Pada mulanya tanaman ini bukan sebagai campuran minuman. Sebagaimana tanaman yang berasal dari luar, tanaman teh dijadikan tanaman hias di Batavia kala itu.

Tanaman teh mulai menjadi campuran minuman di tanah Priangan pada awal abad ke-19. Hal ini didasari atas banyaknya kematian yang terjadi pada penduduk bangsa kolonial yang tinggal di Hindia Belanda. Dari pengusutan yang dilakukan diketahui bahwa bangsa pribumi memiliki perut yang telah cukup kebal terhadap penyakit yang masuk bersama air minum dari sungai yang kotor, sementara orang-orang Tionghoa bisa bertahan karena minum air teh. Sejak saat itu mulai dikenal minuman teh sebagai obat.

Setelah cukup lama, pemerintah kolonial Belanda melalui perwakilannya yang ada di Asia Timur membawa beberapa jenis tanaman teh. Inilah cikal bakal Belanda menguasai perdagangan teh di Hindia Belanda. Tanpa mau bergantung dari produksi teh Asia Timur, termasuk Tiongkok, Belanda berusaha merintis penelitian tanaman tersebut. Proyek penelitian ini membuat teh ditanam di berbagai tempat di kawasan Priangan. Semula ditanam di Kebun Raya Bogor, teh kemudian banyak ditanam di daerah Garut dan Purwakarta.

Merasa tertarik dengan keberhasilan perdagangan teh dari Tiongkok, Jepang dan Taiwan di Eropa, maka Belanda mulai memberikan perhatian lebih serius terhadap tanaman ini. Mulailah para pakar penguji teh dari Belanda dikirim ke pabrik-pabrik teh di Tiongkok. Sepulangnya dari Tiongkok, mereka kemudian membawa 7 juta bibit dan belasan buruh perkebunan Tiongkok. Pada saat itu pengembangan tanaman teh tidak hanya di Priangan, namun juga sampai ke Batavia, Karawang, Banten, Cirebon, dan beberapa daerah lainnya baik di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Akan tetapi keberhasilan awal ini ternyata tidak berjalan mulus. Pemerintah kolonial Belanda mendapat perlawanan dari buruh-buruh Tionghoa. Merasa diperlakukan tidak adil, buruh-buruh Tionghoa tersebut melakukan pemberontakan di Wilayah Priangan Timur hingga ke Karawang dan Batavia. Tidak kurang Pengawas perkebunan teh Wanayasa (tempat project pertama penanaman teh di kawasan Priangan) dan Komandan artileri ikut terbunuh. Pemberontakan itu telah memakan banyak korban baik dari pihak kolonial maupun dari buruh tionghoa.

Akibat dari pemberontakan ini, kegagalan mulai menghinggapi pemerintah Belanda, komoditi teh Hindia Belanda yang diekspor ke Eropa kualitasnya jelek, hingga harganya pun menjadi lebih murah. Mutu teh Hindia Belanda kalah dari India. Untuk menghindarkan kerugian yang lebih besar lagi, pemerintah Belanda kemudian menyewakan lahan perkebunan kepada pihak swasta dengan sistem kontrak. Pada saat itu di Priangan sudah terdapat delapan perkebunan di antaranya Cikajang (Garut), Jatinangor (Sumedang), Ciumbuleuit, Rajamandala (Bandung), Sinagar, Cisangkan, dan Cicurug (Sukabumi). Banyak pengusaha Belanda yang kemudian menyewa lahan-lahan itu. Salah satunya adalah Guillaume Louis Jacques (Willem) van der Huncht yang menyewa perkebunan di kaki Gunung Gede.

Di tangan van der Huncht dan keponakannya, komoditas teh dibudidayakan besar-besaran. Dari pembudidayaan ini lahirlah dinasti pengusaha keluarga Huncht, Kerkhoven, Bosscha, Holle, Denminghoff Stelling, Motman, dan lainnya. Mereka inilah yang mendominasi peran sosial dan ekonomi pengusaha perkebunan di Priangan yang dijuluki Preanger Planters. Di tangan pengusaha inilah teh menjadi “Emas Hijau”

Kehadiran pengusaha perkebunan teh di sekitar masyarakat Priangan sedikit banyak telah menjadikan interaksi antara kaum pendatang kulit putih dengan masyarakat pribumi menjadi lebih cair, walaupun sisa-sisa dari sistem tanam paksa masih terasa hingga 30 tahun lamanya setelah Undang Undang Agraria diberlakukan. Akan tetapi interaksi tersebut hanya menjadi dalih agar usaha perkebunan mereka tetap bertahan. Bahkan dari interaksi ini muncul istilah “per-nyai-an” antara laki-laki kulit putih dengan perempuan pribumi. Persoalan rumit timbul ketika hasil hubungan ini lahir anak “indo” berhidung mancung, kulit putih dan bermata biru, namun tetap bernasib sama dengan pribumi. Tak memiliki masa depan yang jelas.

Segi sosial kala itu mendeskripsikan interaksi yang tak seimbang antara buruh perkebunan dengan pengusaha. Banyaknya perubahan fungsi lahan yang awalnya ladang menjadi perkebunan telah melahirkan kerumitan dalam budaya kehidupan masyarakat Priangan. Kesuksesan pengusaha dan pesatnya perkembangan Bandung kala itu dengan perkebunan teh-nya justru tidak diimbangi dengan perputaran ekonomi masyarakat Priangan. Perubahan fungsi lahan telah berdampak buruk pada mereka.

Judul Buku : Kisah Para Preanger Planters
Pengarang : Her Suganda
Penerbit         : Kompas Gramedia
Tahun terbit : 2014
Jumlah halaman : 180 halaman.

- Deri IM -

0 komentar: