Minggu, 02 September 2018

Penyair Merah Putih


Awalnya saya tidak tertarik dengan novel ini sebab covernya dan karena saya mengira ini adalah novel sejarah. Tapi melihat review beberapa pembaca dan kekaguman terhadap penulisnya, akhirnya saya membeli buku ini. Nyatanya saya mampu menyelesaikan membaca dalam waktu beberapa jam saja, dan ini kali ketiga saya membacanya, dan kali ketiga pula saya tidak mampu menahan air mata saat membaca bagian tersedih dari novel ini.

Empat sekawan; Arin, Iyan, Kamil, dan Ramli. Menghabiskan hari-hari mengupas Indonesia bersama Abak Zainuddin. Mereka memanggil Abak Zainuddin dengan sebutan Abak Indonesia. Beliau sudah seperti orang tua sendiri bagi mereka.
Besar di kota kecil namun hidup dengan semangat yang besar dan cinta yang menggelora pada tanah air. Setelah tamat tsanawiyah,  empat sekawan ini semakin jarang bertemu.  Apalagi Arin, ia melanjutkan sekolah ke luar kota.

Salah satu yang saya suka dari novel ini adalah penulis selalu menyelipkan beberapa kata atau bait syair puisi yang di dalamnya terdapat nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan. Selain itu, cara penyajian setiap kisah yang terjadi  juga menarik meski ada beberapa yang terlalu didramatisir. Tapi, ya namanya juga novel 😁 kadang gak menarik kalau gak dramatis.

Konflik pertama muncul ketika Kamil mengirim surat kepada Arin. Ia mengutarakan perasaannya. Namun Arin tidak mau persahabatan mereka rusak akibat rasa yang belum boleh ada diantara mereka. Lalu konflik berikutnya, meninggalnya Abak Indonesia,  gempa bumi 30 Spetember yang mengguncang Sumatera Barat dan merenggut ibu Kamil, hingga perpisahan Arin dengan keluarganya sebab Ayah Arin mendapat modal untuk usaha di pulau Jawa.

Arin harus tinggal di rumah Mak Utiah -mamak jauhnya. Mak Utiah lah yang melunasi seluruh tunggakan uang sekolah Arin. Awalnya Arin sangat bersyukur Mak Utiah mau berbaik hati. Namun, dari sinilah duka itu dimulai. Mak Utiah melarangnya ke sekolah, dilarang keluar rumah, memberi kabar kepada keluarga dan teman, handphone disita, juga dilarang menulis -yang sudah menjadi kegemarannya sejak lama. Arin bahkan diperlakukan seperti pembantu. Boy -anak lelaki Mak Utiah hanya diam saja melihat ayahnya berlaku sangat tidak adil pada Arin.

Puncaknya, suatu hari Mak Utiah mendapati Arin sedang menulis. Ia merobek-robek semua kertas di meja belajar Arin. Arin protes, namun protesnya itu berujung penyiksaan Mak Utiah terhadapnya.  Ia diseret keluar kamar oleh Mak Utiah, beberapa kali kepalanya dibenturkan ke dinding. Kepalan tinju juga mendarat hebat di kedua matanya. Tubuh Arin lunglai jatuh ke lantai. Darah bercucuran melukis lantai, tapi Mak Utiah tidak peduli. Arin lelah melawan, ia letih menjerit.  Pasrah. Beberapa saat kemudian Boy datang dengan beberapa tetangga. Arin dilarikan ke rumah sakit dan Mak Utiah langsung dibawa ke kantor polisi.

Di rumah sakit, dokter menyarankan  operasi sebab kangker Arin -yang ia derita sebelumnya- semakin menyebar, diperparah dengan benturan di kepala Arin, ditambah lagi Arin kini buta. Keluarganya sudah memusyawarahkan operasi, dan mengusahakan donor mata untuk Arin.
Apakah operasi arin berjalan lancar, hingga kankernya dapat diangkat dan apakah Arin bisa melihat lagi lalu melanjutkan karya-karyanya?
Baca deh, seru 😁

Kelebihan novel ini adalah jalan cerita yang menarik, diksi yang tepat, puitis dan ending nya tidak mudah ditebak. Juga terdapat banyak sekali nilai-nilai positif yang dapat diambil dari kisah-kisah para tokohnya. Namun novel ini juga memiliki kekurangan yakni opening yang agak membosankan. Penulis memulai dengan syair tentang Indonesia dan problemanya sepanjang satu bab. Selain itu, penulis juga tidak menyebutkan bahwa sebelumnya -sebelum penyiksaan yang dilakukan Mak Utiah terhadapnya, Arin sudah menderita kanker.
Selebihnya novel ini keren

Sekian, terima kasih

Judul           : Penyair Merah Putih
Penulis        : Mardhiyan Novita MZ
Penerbit      : Kuntum
Th terbit      : 2011
Halaman     : 142 + vii

-           - Khadijatul AZ - 

0 komentar: