Rabu, 19 September 2018

Pulang


Novel yang dicetak pertama kali di bulan September 2015 ini tidak menarik perhatian saya  sama sekali, sampai sekuel ceritanya terbit tahun ini. Sepotong kalimat  penasaran muncul di dalam hati:  kalau ada cerita tentang ‘pergi’ kenapa cerita ‘pulang’ diterbitkan lebih dulu. Bukankah sebelum seseorang melakukan perjalanan pulang ia harus melakukan pergi lebih dulu? Maka dua hari kemudian novel ‘Pulang’ dan ‘Pergi’ menjadi teman pembunuh sepi saat itu.

Paragraph pertama, bab pertama,  pembukaan cerita yang langsung mencuri hati. This is about love at first paragraph.

Aku tidak takut.

Jika setiap manusia memiliki lima emosi,yaitu bahagia, sedih, takut, jijik dan kemarahan, aku hanya memiliki empat emosi. Aku tidak punya rasa takut. Kalian kira itu omong kosong? Gurauan? Tidak. Lihatlah wajahku, lihat bola mataku. Kalian tidak akan menemukan walau semili rasa takut.

Begitulah Tere Liye mengawali cerita tentang Bujang. Laki-laki yang lahir dan besar di kepulauan Sumatra. Mamak Midah, ibu yang melahirkan Bujang, adalah wanita solihah yang mulia. Wanita yang telah mengikat putra semata wayangnya dengan sebuah janji sepanjang hayat.

Mamak berbisik lembut, ‘Mamak akan mengizinkan kau pergi, Bujang. Meski itu sama saja dengan merobek separuh hati mamak. Pergilah anakku, temukan masa depanmu. Sungguh besok lusa kau akan pulang. Jika tidak ke pangkuan Mamak, kau akan pulang pada hakikat sejati yang ada dalam dirimu. Pulang…’

Kau boleh lupakan Mamak, kau boleh melupakan seluruh kampung ini. Melupakan seluruh didikan yang Mamak berikan. Melupakan agama yang Mamak ajarkan diam-diam jika bapak tidak ada di rumah. Berjanjilah Bujang, kau tidak akan makan daging babi atau daging anjing. Kau akan menjaga perutmu dari makanan  haram dan kotor. Kau juga tidak akan menyentuh tuak dan segala minuman haram.. berjanjilah..

Aku mengangguk.

Dan sepertinya saya langsung paham, apa makna ‘Pulang’ yang dimaksud oleh penulis.

Malam itu, di tengah hujan deras, di tengah rimba lebat lereng Bukit Barisan, hanya aku yang masih sehat. Hanya aku yang masih bisa berdiri tegak. Aku mencengkeram tombak pemberian Bapak. Aku berdiri dengan kaki kokoh, menatap ke depan dan bersitatap dengan monster mengerikan itu. Jika aku harus mati, aku akan melakukan perlawanan terbaik.

Malam itu usiaku memang baru lima belas, tapi fisikku tinggi besar seperti seorang pemuda. Usiaku memang masih anak-anak, tapi di darahku mengalir pekat keturunan seorang jagal paling masyhur di seluruh Pulau Sumatra. Sebut nama kakekku satu kali, maka satu kota akan bergegas mengunci jendela dan pintu, meringkuk di dalam kamar.

Malam itu, dadaku telah dibelah. Rasa takut telah dikeluarkan dari sana. Hari itu aku menyadari warisan leluhurku yang menakjubkan, aku tidak mengenal lagi definisi rasa takut.

Bujang, lahir dari benih seorang tukang jagal, namun mendapatkan pengasuhan seorang wanita berakhlaq mulia. Lahir dan dibesarkan di belantara rimba Sumatra. Perpaduan semuanya melahirkan seorang anak yang tegap, kuat, lincah sekaligus cerdas dan berhati lurus. Menjadikan ia seorang yang sangat layak untuk menjadi pemimpin hebat dan kuat.

Setelah dua puluh tahun berlalu, takdir itupun sampai pada Bujang. Ia menjadi pemimpin yang disegani sekaligus ditakuti. Hanya saja, ia menjadi pemimpin untuk sebuah organisasi preman, organisasi shadow economy.

Maka keseruan makin terasa ketika baca novel ini, sambil kita membayangkan film Matix karena banyak adegan berantem dan tembak-tembakannya. Atau sambil membayangkan film Karate Kid, karena banyak bercerita tentang proses Bujang belajar seni bela diri dan filosofi pertempuran. Entah kenapa dua judul film itu yang muncul di kepala saya, ketauan kan saya hidup sejak tahun kapan..

Tapi yang jelas, membaca novel ini, kita jadi ikutan belajar tentang shadow economy. Sesuatu yang tak akan dipelajari di sekolah. Namun sangat jelas terjadi di masyarakat. Agaknya bang Tere punya cara unik untuk berbagi ilmunya.

Akhir kata, suka banget sama novel ini, karena cocok banget buat direkomendasiin ke anak laki saya yang belum terlalu seneng baca novel. Sangat macho tapi tetap mampu mengasah sisi emosi kemanusiaan.

Mamak, Bujang pulang hari ini. Tidak hanya pulang bersimpuh di pusaramu, tapi juga pulang kepada panggilan Tuhan. Sungguh, sejauh apa pun kehidupan menyesatkan, segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang. Anakmu telah pulang

Judul buku  : Pulang
Penerbit      : Replubika
Penulis        : Tere Liye
Jmlah hal    : 400

-           - Trisa -

0 komentar: