Minggu, 02 September 2018

Bumi Manusia Part 2


Buku pertama dari tetralogy pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer dengan latar abad ke-19 dengan Minke sebagai tokoh utama dengan latar tempat Wonokromo Jawa Timur.

Pada bagian pertama telah diresumekan bagaimana Minke mendapat olok-olok atas namanya, warna kulitnya dan bangsanya sebagai pribumi. Namun Minke begitu percaya diri dan mengidolakan ratu Wihelmina yang belia, kaya dan berkuasa. Hingga ia berjumpa dengan indo Annelies Mellema. Putri Nyai Ontosoroh. Kisah cinta mereka berkembang namun bukan dengan tanpa hambatan.

Ayah Minke, sekarang adalah bupati kota B, sangatlah berang mengetahui putranya tinggal di rumah seorang nyai. Merencanakan dan melakukan pemulangana Minke dengan penuh nuansa politik. Membuat Annelies dan Nyai was-was namun juga semakin menurunkan minat dan respek Minke terhadap budaya jawa yang diusung ayahandanya. Demi baktinya pada bunda, ia rela melakukan yang diminta ayahnya, menjadi protocol dalam pelantikan ayahnya menjadi bupati.

Dalam kesempatan itu pula ia berkenalan dengan keluarga de Croix. Terutama dengan Sarah dan Miriam yang membuka wacananya tentang suasana politik saat itu, dan bagaimana politik etis telah menuai banyak pro kontra di Hindia Belanda maupun di Amsterdam.

Sepulang dari kota B setelah pengukuhan ayahanda menjadi bupati, ujian terhadap Minke dan keluarga Nyai Ontosoroh bukanlah berkurang. Misteri si Gendut yang mengikuti gerak gerik Minke membawa mereka ke rumah tionghoa tetangga Nyai. Dan mendapati Tuan Mellema telah terbujur kaku dengan mulut berbusa. Berita pun segera menyebar. Polisi datang mengamankan. NYai Ontosoroh, Minke dan Annelies menjadi tokoh utama yang didatangkan pihak pengadilan putih guna mendapatkan dan menguatkan bukti pembunuhan terhadap tuan Mellema. Hubungan Minke dan Annelies seakan dikuliti di bawah pengadilan. Dijadikan olok-olok, dan memicu eksistensi MInke untuk beradu kata dalam berita. Surat kabar-surat kabar baik pribumi maupun Belanda mengabarkan berita tersebut dengan gayanya masing-masing. Sebagian besar menyudutkan posisi Minke dan keluarga Nyai, walau mereka hanya sebagai saksi. Minke dengan gaya tulisannya pula melawan dengan mengemukaka kebenaran dan menyatakan bahwa ranahnya sudah menajdi pelecehan terhadap bangsa pribumi. Tulisan-tulisan Minke membawa hasil, dengan mengalirnya simpati kepada keluarga Nyai. Walaupun tidak banyak merubah keputusan pengadilan putih.

Kematian tuan Mellema dan terungkapnya seorang tionghoa sebagai pembunuhnya serta mendapat hukuman dipengadilan tidak serta merta membuat Nyai dan keluarga tenang dan menjalani kehidupan dengan normal. Namun, justru gugatan terhadap kewarganegaraan Annelies dan hak asuhnya menjadi polemic tersendiri. Tuan Mellema masih memiliki istri yang sah di Amsterdam, dengan seorang putra, Mauritus Mellema. Dan Nyai Ontosoroh bukanlah isteri yang dinikahi secara sah di pengadilan Belanda. Sehingga Annelies harus dikembalikan ke Belanda bersama isteri dan anak sah dari Tuan Mellema. Nyai dan Minke bukanlah siapa-siapa dalam hukum putih yang berlaku saat itu. Keputusasaan nyaris menghinggapi Nyai dan Minke, ditambah pula Annelies yang sakit jiwanya. Namun, mereka belum kalah jika belum berusaha, Minke dengan tulisan-tulisanya yang mengkritik hukum Negara Belanda yang mendiskreditkan pribumi, Nyai yang berusaha menyewa advokat Belanda adalah upaya pantang menyerah.

Akankah Minke berhasil menyamakan kedudukan pribumi dengan Belanda. Pastinya sudah dapat ditebak. Apakah Annelies akan tetap bersama keluarganya di Wonokromo atau harus dengan orang tak dikenalnya di Amsterdam. Menjadi sehatkah Annelies atau semakin sakit. Itulah tantangannya.


Judul buku       : Bumi Manusia
Pengarang        : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit           : Lentera Nusantara
Tahun terbit     : 2002
Halaman          : 536 hal

     Juni 2018
-       Erna Maryati -

0 komentar: