Selasa, 17 Maret 2015

Gelombang Ekonomi Inovasi



Judul Buku      : Gelombang Ekonomi Inovasi
Penulis            : Prof. Zuhal
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Page Number : 278



Tahun 2030, pertumbuhan ekonomi Cina diprediksi oleh Goldman Sachs akan tumbuh pesat melebihi Amerika Serikat, yang berarti Cina akan menjadi negara dengan PDB tertinggi di dunia. Apa gerangan rahasianya? Sejak tahun 1995 Cina sangat agresif meningkatkan dana riset and developmentnya hingga 19% per tahun dan tahun 2011 dana RnD Cina menempati urutan terbesar kedua setelah AS. Bergerak menuju era ekonomi inovasi, Cina begitu concern meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM-nya. Jumlah master dibidang iptek dari 12.800 di tahun 1995 menjadi 63.514 di tahun 2004-2005. Jumlah doktor terus ditingkatkan sebanyak 5x lipatnya pada setiap dekade. Publikasi riset terus meningkat pesat menembus 354% pada tahun 2001. Sistem pendidikan di Cina memberikan tekanan yang kuat di bidang sains dan teknologi. Para spesialis di bidang ini secara bergantian terjun ke dunia pendidikan terutama di sekolah-sekolah menengah, bekerja bersama mereka dalam proyek-proyek sains. Pemerintah Cina menyebut langkah ini sebagai pengembangan inovasi terintegrasi. Seperti halnya Jepang, Korsel, AS, Swedia, dan negara maju lainnya, Cina berhasil mengintegrasikan perkembangan sains dan teknologinya ke dalam dunia industri. Artinya riset-riset yang dilakukan di Cina tidak sekedar menjadi invensi dan inovasi, namun telah berhasil dikomersialisasi ke dalam dunia bisnis.

Desember 2014 lalu, saya juga diberi kesempatan untuk belajar sistem inovasi dan entrepreneur di Lund University, Sweden. Swedia sebagaimana disinggung juga dalam buku ini, telah dinobatkan sebagai negara paling inovatif kedua di dunia oleh Global Innovation Index. Sama halnya dengan Cina, keberhasilan sistem inovasi di Swedia didukung oleh kuatnya sistem pendidikan, penelitian dan sinergisitas triple helix. Berbagai lembaga inkubator bisnis dan teknologi yang dikelola oleh para profesional dibidangnya didirikan untuk membangun ekonomi inovasi di Sweden dan menumbuhkan entrepreneur-entrepreneur baru. Bahkan ada satu kota (saya lupa nama kota-nya) yang dimana 1 dari 10 penduduk di kota tersebut adalah seorang entrepreneur, saking pesatnya pertumbuhan entrepreneur di Sweden. Jumlah penduduk Sweden yang hanya 9 juta jiwa (lebih sedikit dibandingkan penduduk Jakarta) menyebabkan Sweden lebih terfokus untuk membuka pangsa pasar internasional. Sistem pendidikan yang tidak mengenal hirarki menciptakan lulusan SDM yang terbuka, kreatif, dan inovatif dan ini sangat mendukung untuk pembentukan karakter seorang entrepreneur.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Menurut Prof. Zuhal, awareness tentang inovasi masih sangat minim di negeri ini, kendati istilah ini telah menjadi jargon yang berseliweran di ruang publik. Indonesia sebenarnya sudah punya masterplan pembangunan ekonomi inovasi seperti yang tertuang di dalam draf MP3EI. Namun sayang, konsep ini baru sampai di tataran pusat sedangkan stakeholder di daerah sebagai unit pelaksana teknis belum paham tentang hal ini (based on laporan Kadin). Fakta lainnya, menurut laporannya Global Consumer Report AC Nielsen, Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang paling konsumtif di dunia. Survey dari World Intellectual Property Organization juga menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia paling malas berinovasi.

Kabar gembiranya, kita masih mendapati apresiasi dunia internasional terhadap masa depan ekonomi Indonesia sangat positif. Bank Dunia dan Goldman Sachs meramalkan negeri ini akan menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia di abad ke-21. Ada yang memprediksi tahun 2030 Indonesia akan menempati urutan ke-10 dunia, ada juga yang memprediksi urutan ke-20 dunia. Artinya ditengah carut marut politik di negeri ini, Indonesia masih punya harapan untuk bangkit. Salah satu kendala percepatan pembangunan ekonomi kita adalah minimnya SDM master dan doktor di bidang teknik dan sains, dan pertanian. Tahun 2010, jumlah lulusan teknik hanya 11,5% dari total sarjana, sarjana sains 3,67%, dan pertanian 3,32%. Bandingkan dengan Cina, dimana sarjana tekniknya 39%, Korsel 27%, Taiwan 23% dan Jepang 19%. Sehingga untuk akselerasi pembangunan ekonomi Indonesia dibutuhkan setidaknya 7-10 ribu Ph.D di tiga bidang tersebut. Saat ini diperkirakan 10% Ph.D Indonesia bekerja di luar negeri.Alasan ini pula yang melatarbelakangi dibentuknya LPDP dan alasan mengapa lulusan LPDP LN wajib ‘ain kembali ke Indo karena SDM lulusannya merupakan aset untuk menjadi lokomotif kemajuan Indonesia.

Karena problem utama inovasi adalah awareness, maka hal utama yang perlu ditumbuhkan oleh Indonesia untuk membangun ekonomi inovasi adalah menumbuhkan mindset. Memapankan mindset inovasi ke dalam pola pembangunan dan sistem produksi memang tidaklah mudah. Diperlukan political will pemerintah pada tahap awalnya. Dan ini masih menjadi tantangan terbesar kita dimana penghambat daya saing terbesar justeru berasal dari pemerintah berupa inefisiensi birokrasi 15,4% dan korupsi 14,2% (world economic forum, 2012-2013). Menilik kondisi demikian, besar harapan saya sebenarnya perguruan tinggilah yang menjadi corong pembentukan mindset inovasi, seperti halnya yang pertama kali dilakukan oleh Sweden.

Sistem pendidikan di tingkat menengah dan Univ. harus mampu menciptakan iklim yang kondusif untuk merangsang ide-ide penelitian inovatif yang mengarah pada komersialisasi atau mendukung pengembangan industri. Seperti kata Schumpeter (1992) yang dikutip oleh Prof. Zuhal, bahwa entrepreneur merupakan hal penting dalam paradigma ekonomi berbasis inovasi. Perusahaan-perusahaan inovatif semestinya ditumbuhkembangkan dan kebijakan pemerintah perlu diarahkan untuk membangun ruang gerak dan tumbuhnya perusahaan semacam ini di lapangan bisnis, memastikan kompetisi yang fair dan memudahkan akses keuangan bagi mereka. Ini menunjukkan pentingnya sinergisitas antara pemerintah, akademisi, dan industri untuk menciptakan sistem ekonomi inovasi. Tak cukup hanya orang cerdas untuk membangun inovasi namun juga butuh kendaraan dan lingkungan yang memungkinkan orang-orang cerdas tersebut untuk masuk ke pasar dan merintis terwujudnya ekonomi berbasis inovasi.

Petumbuhan berbasis inovasi perlu dirancang secara sistematis, terencana, dan terorganisir untuk menumbuhkembangkan budaya kreatif, inovatif, dan entrepreneurial di berbagai sektor. Fokus pembenahan dan pengembangan haruslah meliputi aspek SDM (akademisi, pelaku bisnis, dan masyarakat), pendidikan, RnD, pengembangan regional, pemerintah, dan lembaga finansial. Kesemuanya ditata agar mampu mendukung industri berbasis iptek yang adaptif terhadap inovasi.Menurut Prof. Zuhal kondisi ini hanya dapat terwujud melalui implementasi kebijakan Sistem Inovasi Nasional (Sinas) dengan melibatkan aktor insitusi akademik, pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat atau dikenal juga dengan istilah ABCG (academic, business, community, and government). Sinas ini kemudian dibreakdown kembali ke dalam Sistem Inovasi Daerah (Sida) mengingat luasnya wilayah dan banyaknyapropinsi di Indonesia yang tentu setiap wilayahnya memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Yah pada akhirnya, mewujudkan sistem inovasi nasional menjadi PR kita bersama sebagai bangsa Indonesia.

Yogyakarta, 25 Januari 2015
THW - IM1

0 komentar: