Jumat, 13 Maret 2015

Gelombang Ekonomi Inovasi (Part II)

Hijrahnya ilmuwan Indonesia ke negara lain atau banyaknya mahasiswa Indonesia yang sekolah di luar negeri dan tak kembali (berkarya di negara lain) merupakan indikasi dari buruknya sistem inovasi di negeri kita. Fasilitas lab yang tidak memadai, kecilnya insentif bagi para peneliti, atau kurangnya instrumen perlindungan hak cipta adalah sebagian kecil penyebabnya. Berkarya di perusahaan? Juga tak mudah. Faktanya perusahaan2 dalam negeri lebih cenderung mempekerjakan karyawan lulusan S1 atau level dibawahnya. Ini juga mengindikasikan buruknya budaya inovasi di dalam industri kita. Embrio riset di dalam negeri sebenarnya banyak, sayangnya sebagian hasil riset ini berakhir menjadi tumpukan kertas di lab atau di perpus alias gagal naik kelas menjadi produk massal. Lagi-lagi penyebabnya adalah buruknya sistem inovasi kita yang tak mampu membuka kran sirkulasi dan sinergi antara sektor akademik dengan pelaku industri. Industri juga akhirnya lebih memilih lisensi dari negara lain ketimbang mengcreate produk inovatif sendiri.



Pertanyaannya adalah apa hubungan antara banyaknya ilmuwan dan produk riset untuk menuntaskan persoalan2 mendasar seperti kemiskinan? Boleh jadi kita tak melihat ada kaitannya. Namun faktanya jika kita belajar dari negara maju, jurnal-jurnal ilmiah dan karya riset yang spektakuler tidak akan memiliki daya dobrak jika temuan-temuan ini (invention) tidak bertransformasi menjadi produk (inovasi) yang dapat dinikmati pasar (komersialisasi). Maka sistem ekonomi inovasi sebagai elemen yang hilang dari mesin pembangunan negeri ini pada dasarnya bertujuan untuk mendongkrak invensi menjadi produk inovasi yang dapat diproduksi massal oleh industri dan dinikmati kembali oleh masyarakat.



Dalam sektor agro misalnya, Indonesia merupakan produsen utama beberapa komoditas unggulan dunia seperti CPO, coklat, kopi, teh, ikan, udang, dan susu. Sayangnya raw material ini belum banyak diolah, ekspor terbesar kita masih dalam bentuk raw material atau produk setengah jadi. Ini mengindikasikan industri manufaktur kita masih lemah sehingga produk2 olahannyapun memiliki indeks daya saing rendah di pasar internasional. Padahal industri2 ini merupakan penyumbang PDB terbesar bagi negara kita. Jadi menurut hemat saya satu-satunya cara efektif untuk meningkatkan petani dalam arti luas adalah dengan menumbuhkan industri agro pengolahan dalam negeri. Pertama value added dalam proses pengolahan akan meningkatkan nilai produk itu sendiri, kedua, petani (dalam arti luas) akan meningkatkan produktivitasnya untuk memenuhi stok bahan baku industri yang kontinyu, ketiga lapangan kerja meningkat di tingkat industri, dan tentu saja kemiskinan dapat diatasi karena menurut BPS 63% rakyat miskin itu hidup di desa, yang mata pencahariannya petani kecil atau buruh tani. Namun sekali lagi harapan ini tidak dapat dicapai jika sistem inovasi kita belum berjalan dengan baik.



Faktor penentu keberhasilan sistem inovasi adalah pengembangan modal manusia dan aktor sosial budaya. Terdapat dua aktor utama yang berperan, yakni aktor primer yang terlibat langsung dalam aliran knowledge yakni peneliti/akademisi yang berada di univ, lembaga litbang, industri, dan NGO. Kedua aktor sekunder yakni pemerintah sebagai penghasil regulasi, pemberi insentif, dan penyedia infrastuktur untuk menumbuhkan sistem inovasi nasional. Untuk merealisasikan sistem ekonomi inovasi, kedua aktor ini harus bersinergi, mengerahkan potensinya masing-masing untuk bersama-sama menyediakn iklim yang kondusif bagi pembangunan ekonomi di Indonesia.



(Bersambung)


Judul Buku   : Gelombang Ekonomi Inovasi
Penulis          : Prof Zuhal
Penerbit       : Gramedia Pustaka Utama


Part 2           : The Missing Puzzle: Sistem Inovasi



Yogyakarta, 13-03-2015

-THW-









0 komentar: