Selasa, 17 Maret 2015

30 Paspor di Kelas Sang Profesor



Judul       : 30 Paspor di Kelas Sang Profesor
Karya      : Jombang Santani Khairen
Tebal       : 328 Halaman
Penerbit  : Noura Books ( PT. Mizan Publika)




5 Terrafarma
Tak usah kau risaukan, Ayah, aku berkelana bukan untuk dunia semata.
Jangan Kau kusutkan keningmu, Ibu, langkah kakiku adalah hangatnya peluk dan doamu.
Mungkin ini adalah akhir, dari pencarianku, terhadap diriku sendiri.
Di tanah ini, aku terdampar dan mematrikan janji di dalam hati, kepada Sang Mahapasti.
Mungkin pula ini adalah awal dari semangat yang menggumpal.
Di tepian teluk ini, napasku beradu sendu dengan inpian dan udara masa depan.
Dari kebasnya rasa cinta dan benci, aku mengerti.
Dari sebuah impian suci yang abadi, aku mengerti.
Dari percikan suara alamyang berteriak sunyi, aku mengerti.
Dari guratan firasat yang tak bertepi, aku mengerti.
Perjalananku adalah perjalanan jauh ke dalam hati untuk hari esok yang lebih berarti.

Melepas Kodi dan Mengajarkan Rajawali Terbang
Pada abad ke-7, seorang pelaut tangguh mengangkat layar kapalnyamenyebrangi lautan. Tujuannya adalah tanah subur di timur nun jauh dari daratan tempat tinggalnya, menjelajahi dunia dari keingintahuannya yang tinggi proposalnya dibawa ke mana-mana. Setelah ditolak raja Portugis dan Inggris, pria ini akhirnya berhasil mendapatkan kepercayaan ratu Spanyol. Pada kemudian hari setelah menjelajahi samudra berbulan-bulan, ia mendarat di sebuah tempat. “India!” Ia berseru kepada semua awak kapalnya. “kita telah mendarat di India.”
Anda mungkin sudah bisa tahu siapa yang saya maksud. Ya, ia adalah Chistopher Colombus. Alih-alih mendarat di India seperti yang diharapkan Ratu Isabel yang membiayai misi perjalanannya (untuk memperkuat poosisi Spanyol dalam perdagangan rempah-rempah yang dibutuhkan Eropa dan terputus akibat perang salib), colombus justru mendarat di sebuah benua yang kelak dinamai amerika. Ini tentu di luar harapannya. Ia sendiri tak pernah sampai ke tanah India, melainkan kesasar di benua lain. Lalu ia kembali ke Spanyol, menghadap ratu dan dicemooh para penjelajah dunia lainnya yang mengambil rute berbeda menuju pantai barat Afrika terus ke selatan hingga sampai di Tanjung Harapan. Mereka jelas berada pada posisi yang lebih dekat dengan India yang sebenarnya. Namun, alih-alih dihukum karena tersasar, Colombus justru diberi penghargaan raja Ferdinand dan ratu Isabel. Bahkan hingga hari inikita mengenal namanya sebagai  penemu Benua Amerika. Ketika dicemooh itulah Colombus berfilsafat, “kalau tak pernah mau kesasar, kalian tak akan menemukan jalan baru.”

Berikan Anak-anak tantangan Mereka Akan Menjadi Pemimpin
Saya kira Colombus seratus persen benar. Kita semua tahu tidaklah penting apa yang kita capai hari ini, atau saat ini. Yang lebih penting sesungguhnya adalah apa yang kita bisa pelajari dari sebuah perjalanan itu sendiri dan apa yang bisa kita lakukan di depan. Apalagi perjalanan itu adalah sebuah proses, bukan perhentian akhir. Orang-orang besar itu adalah the climbers, bukan the campers, apalagi the quitters. Berkat satu perjalanan yang “gagal” itu otak manusia justru menjadi terbuka, dan sebuah keyakinan baru muncul.

Self Driving
Mengajak mahasiswa menggunakan paspor mereka masing-masing adalah ibarat melepas jahitan yang ada di sayap mereka, melatih terbang kembali menjelajahi alam semesta ini. Mejadi Rajawali. Juga menjadi great driver, yang pandai mengendarai kendaraan pemberian Tuhan yang Maha sempurna: yourself, not your UI, your ITB, or your Harvard. Ya, memindahkan ilmu bukan dari buku ke kertas, melainkan ke seluruh tubuh dan karakter manusia agar kelak menjadi kualitas yang lebih hebat dari guru-gurunya sendiri.
Refleksi Tindakan
Berawal dari refleksi saya pun memilih untuk merevolusi cara berpikir “ketimbang sekedar memindahkan isi buku kepada otak mahasiswa saya. Setiap awal semester, dipertemuan kuliah pemasaran internasional langsung menugaskn para mahasiswa untuk mengurus paspor. Profokasi terhadap mahasiswa dilakukan dengan fakta bahwa Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita diluar negeri yang pendidikannya tak setinggi para mahasiswa ternyata lebih mampu menangani tantangan dan ketidakpastian di luar negeri ketimbang para calon sarjana yang hanya duduk manis di bangku kuliah. Era jagoan bicara telah berakhir, kini jagoan itu hanya akan dihormati kalau mereka punya karya, punya langkah. Dan TKW itu adalah manusia yang terhormat karena mereka punya langkah dan membawa berkah. Bagaimana dengan calon sarjana?

The Land of Ice and Fire (Ragil Caitra Larasati)
Mataku terbuka, melihat sekeliling. Tak ada Mama, tak ada kecupan, tak ada doa. Biasanya, Bapak yang mengintip dari balik pintu akan menyusul Mama sambil tersenyum. Mereka akan membacakan rentetan doa dan memelukku setelah itu. Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-21. Tapi, pagi ini semua itu tak ada. Aku sendiri, sepi, dingin dan jauh. Aku memang bukan anak perempuan yang sempurna bukan anak yang selalu mematuhi perintah maupun kemauan orangtua. Meski begitu, mereka tak pernah lelah menjagaku dan mencintaiku. Mereka juga selalu percaya padaku. Buktinya, hari ini aku duduk di sini menatap ke arah jendela yang didtutupi salju tipis. Puluhan ribu kilometer jauhnya dari mereka.
Kualihkan pandangan ke bagian lain dari ruangan kecil ini. Di sudut meja handphone mulai berisik, sepertinya ucapan selamat ulang tahun yang datang beruntun. Di sebelahnya laptopku masih menyala. Aku lupa semalam tidak mematikannya setelah berinteraksi dengan beberapa teman kerabat di Jakarta. Di sebelahnya tergeletak mangkuk kosong yang aku gunakan untuk sereal semalam.
Badanku masih dilapisi selimut tebal. Bau yang sudah ku kenal memenuhi ruangan kecil ini. Sulfur yang menyeruak dari gepthermal. Sedari tadi aku menahan sesuatu yang memberontak dan minta keluar dari mataku namun aku berusaha tidak menangis seperti anak kecil.
Aku sendirian. Kemudian berbisik perlahan, “Selamat ulang tahun.” Gunung-gunung salju musim dingin kemuadian mulai tampak jelas seiring matahari yang mulai menghangat. Mereka menyapa, “Selamat datang di Islandia.”
Aku berpetualang bukan untuk kabur dari kehidupanku. Mencari jati diri, itulah kenapa aku di sisni hari ini. Menjadi nyaman untuk merasakan pertemanan dengan diriku sendiri di tempat yang asing. Bersama-sama mencari kehangatan di tengah dinginnya Kota Hafnarfjordur, Kota Pelabuhan yang memiliki banyak mitos mengenai kurcaci-kurcaci kecil di tengah hamparan formasi bebatuan lava beku.
Perjalananku dari Jakarta menuju Islandia bukan perjalanan yang mulus. Aku mengambil mata kuliah pemasaran Internasional untuk melancarkan perjalanan ini.  Namun, pertemuan pertama dengan sang dosen yang tak lain adalah Pak Rhenald Kasali sudah membuatku cukup ciut. Aku termasuk yang sering telat datang di kuliah pagi. Dan selama ini, keterlambatanku tidak pernah jadi masalah bagi dosen-dosen lain. Namun, pertemuan di kelas pertama dengan Pak Rhenald Kasali benar-benar membuatku tidak berani lagi untuk terlambat.
“Teman-temanmu tidak ada yang terlambat. Padahal ada yang rumahnya jauh. Kamu harus menghargai mereka.” Kata Pak Rhenald.
Aku tertohok. Saat itu, kelas pemasaran internasional sedang membahas tugas pergi ke luar negeri yang diberikan oleh Pak Rhenald. “Islandia, Pak,” jawabku ketika ditanya hendak ke mana. “Kenapa ke Islandia?” Pikir teman-temanku. Ada juga yang mengira negara ini terletak di bawah Australia.
Aku merasa perjalanan ini sama seperti kehidupan. Prosesnya bisa saja menyebalkan, menyakitkan, atau membuat mati rasa. Tapi, ketika kamu sudah sampai di tujuan, semua beban rasanya sirna. Kita pergi jauh untuk menyadari dimana rumah kita yang sebenarnya. Jika kamu tidak punya rumah, perasaanmu terhadap orang tentulh yang merupakan rumah hatimu. Aku merasakan kedua perasaan rindu itu. Rindu terhadap tempat yang sudah kutinggali selama belasan tahun lebih, dan rindu terhadap orang-orang yang telah menyentuh kehidupan. Aku sadar, umurku sudah 21 tahun. Aku harus mmenjadi dewasa. Sebentar lagi aku akan lulus dan mencari pekerjaan, lalu menjadi orang-orang dewasa dan umumnya yang bisa membiayai diri sendiri. Di tengah coretan tintaku di buku catatan yang selalu aku isi setiap harinya dalam perjalanan ini, aku terdiam. Aku takut terlalu termakan oleh rencanaku terhadap masa depan hingga tidak bisa menikmati masa sekarang. Aku ingin menikmati masa sekarang, tetapi juga dengan rencana masa depan yang baik, tentunya. Aku tersenyum simpul sambil terus menulis. Menulis hingga tanganku kaku oleh dinginnya malam. Dari semua kata-kata yang aku ekspresikan saat ini, tidak ada yang mampu mewakili macam-macam perasaan dalam perjalananku untuk pertama kalinya ini. Benar juga kata seorang temanku “Tulislah sesuatu yang bahkan kau sendiri akan tergetar apabila membacanya.” Kali ini aku merasakannya.

Pembuktian (Diana Ridha)
Lagi-lagi ada kejadian yang bikin susah. Sudah seminggu lebih mengurusi keberngkatan ini, dan setiap hari ada aja yang menghambat. Kadang suka heran, kenapa, ya susah banget mau menjalankan tugas? Yah kalau orang bilang mendapatkan sesuatu tanpa kesulitan dan drama, tuh engga ada gregetnya.
Kalau ingat kata-kata Pak Rhenald, aku harus tetap semangat. Beliau bilang jangan pernah memulai sesuatu dari hambatan yang harus dihadapi. Because if you start it that way, you will get nowhere. Sama sekali tak terbayang olehku bagaimana kalau nanti aku tersesat sambil membawa koper yang sangat besar ini. Terlebih lagi postur badanku yang memang kecil, benar-benar seperti bocah hilang. Disini, aku sadar, bahwa apapun yang terjadi nanti selama perjalananku, aku harus bisa berpikir dan mengambil keputusan dengan cepat. Enggak ada yang bisa menolongku makanya harus bisa semuanya sendiri, harus mampu, harus berani, pokoknya harus bisa. Mata kuliah ini akan menjadi bukti untuk mereka yang meremehkanku. Ini membuatku semakin ingin pergi ke tempat yang jauh dan aneh, hanya demi membuktikan kepada mereka bahwa aku sudah besar, I am grow up and I definitely can do this by my self.
Overall, pengalamanku selama di Tokyo berhasil mengajarkanku untuk berani hidup mandiri,sungguh. Benar-benar latihan hidup yang sangat berharga. Di sana, aku bertanggungjawab atas diri sendiri. Aku memang bebas mau melakukan apapun dan pergi kemanapun tanpa ada orang yang melarang. Tapi, tentu kebebasan ini juga harus dibarengi dengan tanggung jawab. Karena kalauterjadi apa-apa selama aku disana, tidak ada orang yang bisa menolong. Aku harus bisa menolong diri sendiri dan memecahkan sendiri semua masalah yang aku hadapi. Jika dipikir lebih lanjut, tidak jauh berbeda dengan apa yang akan aku hadapi di masa depan nanti, once I become independent, saat aku sudah tidak bergantung lagi kepada orangtua. Juga, aku berhasil membuktikan kepada keluargaku yang tadinya menertawakanku. Bangga rasanya. Sekarang mereka tidak boleh menganggapku anak kecil lagi. For me, this was a very rare and extraordinary life lesson something that I couldn’t get anywhere else in life.

Puji Akhiroh IM2

0 komentar: