Rabu, 15 Februari 2017

China Undercover Part 1

Banyak pengamat ekonomi dunia memprediksi bahwa di tahun 2030 Cina bakal mengungguli negara Adidaya dalam hal ekonomi. Namun dibalik kemegahan Cina, rupanya banyak kisah kelam yang sengaja dilarang untuk dipublikasikan. Buku ini merupakan salah satu yang mengungkapkan ketidakadilan yang dialami petani di Cina yang jumlahnya mencapai 900 juta jiwa. Petani yang sejatinya menjadi penyangga utama kehidupan negara berpenduduk tertitinggi di dunia ini dibebani dengan berbagai penerapan pajak yang tinggi, ditindak sewenang-wenang bahkan ekstrim.

Buku ini hanya terbit 2 bulan dan hanya dalam waktu satu bulan pertama telah terjual 150.000 eksemplar. Aparat kemudian menarik peredarannya jikapun masih ada beredar saat ini adalah versi bajakan. Sayapun mendapatkan buku ini dalam versi e-book. Buku membahas triple agri (san-nong) di Cina yakni masalah pertanian, masalah wilayah pedesaan, dan masalah petani. Chen dan Wu menyebutkan bahwa ketiga hal ini merupakan masalah serius di Cina. Hampir semua lapisan pejabat dari mulai aparat tingkat desa sampai pusat terlibat sehingga wajar jika kehadiran buku ini membuat gerah pejabat-pejabat korup dan dengan cepat ditarik peredarannya.

Nasib kedua penulis buku ini pun tak kalah memprihatinkan. Seorang pejabat korup melaporkan keduanya atas pencemaran nama baik. Keduanya kalah dalam persidangan karena si pejabat disokong oleh partai yang berkuasa. Di hari yang sama atas kekahalannya, segerombolan geng melempari apartemen Chen dan Wu dengan batu bata dan mengusir paksa mereka dari Hefei. Keduanya pun diminta mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai jurnalis. Polisi tak dapat berbuat apa-apa. Chen dan Wu bersama putra mereka kini hidup di desa miskin di Jiangxi, entah mereka sedang melakukan penelitian lagi atau bersembunyi dari gangster yang sering disewa pejabat partai untuk mendiamkan atau bahkan membunuh musuh-musuhnya. 

Kisah pertama dalam buku ini adalah tentang Sang Martir. Adalah Ding Zuoming, seorang petani muda tamatan SMA di desa Luying yang cerdas. Desa Luying merupakan daerah yang sangat miskin di provinsi Anhui, tempat kelahiran yang sama dengan kedua penulis buku ini. Ding gemar membaca, mendengar berita, mengumpulkan informasi, dan pemberani. Dengan kecerdasannya sebenarnya ia bisa saja melanjutkan kuliah, namun orang tuanya hanyalah petani miskin.

Pendapatan per kapita petani di Luying sangat kecil, sekitar 400 yuan (50 dolar) per bulan. Sementara beban pajak lebih dari 103,7 yuan per kepala. Setelah 12 bulan bekerja banting tulang di sawah, satu-satunya yang dapat diharapkan oleh penduduk desa yang tidak dibawa oleh aparat untuk membayar pajak adalah jatah gabah mereka. Barang berharga lain sudah pasti akan diambil oleh aparat pajak.

Ding kala itu berbuat sesuatu yang tak berani dilakukan petani lain. Ding yang gemar membaca dan mendengar berita di radio berhasil mengumpulkan bukti dan informasi bahwa pajak yang dibebankan oleh pejabat desa melebihi batas yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Pajak pertanian dari pusat tak boleh melebihi 5% namun petani di Luying dan desa sekitarnya dipungut 5x lipat lebih besar. Ding juga menemukan bukti adanya penyalahgunaan dana cadangan kas desa oleh pejabat desa. Ia bersama 6 petani lainnya akhirnya melaporkan temuannya kepada pejabat kecataman dan meminta dilakukan audit kas desa. Petugas kecamatan saat itu akan memprosesnya dalam dua hari. Namun hari berlalu dan audit tak kunjung dilakukan. Ding tak putus asa, ia pun melaporkan temuannya ke pejabat kabupaten. Pejabat kabupaten pun berjanji untuk segera melakukan audit, namun lagi-lagi tidak ada realisasi.

Salah satu pejabat desa yang merasa terusik oleh Ding membuat tipu muslihat untuk menjebloskan Ding ke penjara. Ding dituduh telah memulai pertengkaran hingga adu fisik yang menyebabkan di pejabat desa masuk rumah sakit. Petugas kecamatan yang juga merasa gerah atas aduan Ding merasa mendapat angin segar untuk “membungkan” Ding. Saat diinterogasi Ding menolak untuk membayar uang denda karena ia yakin tidak bersalah. Para petugas kecamatan yang gerah “melunakkan” Ding sampai Ding nyaris tewas, limpanya pecah dan Ding meninggal di meja operasi.

Tewasnya Ding menyulut kemarahan rekannya sesam petani dari desa Luying dan desa tetangga. Lebih dari seribu petani melakukan demo dan bentrok dengan polisi setempat. Para pejabat kecamatan dan kabupaten sebenarnya melarang kejadian tersebut diekspos karena borok mereka tentu akan ketahuan juga. Namun seorang reporter dari kantor berita Xinhua cabang Anhui yang bertanggungjawab atas liputan pertanian berhasil mempublikasikan kejadian tersebut hingga sampai ke Komite Pusat Partai dan Dewan Negara.

Komite Pusat meminta klarifikasi kepada pejabat kabupaten. Wenhu Dai, pejabat baru yang pernah ditemui Ding mencoba menutupi kejadian tersebut dengan melaporkan bahwa meninggalnya Ding murni karena perselisihan pribadi bukan karena pajak. Laporan ini semakin memicu kemarahan petani. Komite pusat tak percaya begitu saja laporan pejabat kabupaten sebab versinya beda dengan yang disampaikan oleh kantor berita Xinhua. Merekapun membentuk tim invesitigasi khusus tanpa melibatkan petugas kecamatan dan kabupaten dan mewawancarai petani-petani di Luying dan desa sekitar.

Tim invesitigasi bercerita mereka sangat sedih melihat kehidupan petani. Bertahun setelah pembebasan Cina mereka berfikir petani Cina di pedesaan itu hidup sejahtera, nyatanya kehidupan mereka begitu miskin, beban pajak mereka begitu berat, dan mereka diperlakukan dengan begitu buruknya oleh para kader (partai komunis). Padahal di awalnya partai komunis begitu menggembar gemborkan nasib petani sebagai profesi mayoritas di Cina. Kenyataan nasib petani di lapangan lebih buruk dari apa yang dilaporkan Ding Zuoming. Semua petani tinggal di gubuk, sedang para bos (pejabat desa) tinggal di rumah bagus beratap genteng. Bahkan kadang kala petani-petani ini harus menjual darahnya (pernah baca bahwa donor darah ada yang dibayar) untuk bertahan hidup, sementara utang pajak terus saja menggunung. Tim investigasi akhirnya menyimpulkan bahwa Ding Zuoming menjadi duri bagi para pejabat desa, kecamatan, dan kabupaten yang korup sehingga ia pun tewas disiksa saat diinterogasi.

Satu bulan setelah kematian Ding, pengadilan memutuskan bersalah terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Ding. Si pemukul Ding dihukum mati dan lainnya dipenjara serta dicabut hak politiknya. Dewan Negara kemudian menggagas instruksi darurat mengenai peringanan beban petani, termasuk pajak hanya dibebankan pada komoditas tertentu. Bagaimana dengan nasib keluarga Ding, negara menjanjikan ganti rugi (santunan) bagi keluarga Ding, namun hingga buku ini diluncurkan santunan itu tidak kunjung diberikan. Meskipun keluarga Ding dibebaskan dari pajak namun keluarganya terpuruk dalam kemiskinan. Ding sebagai tulang punggung utama keluarga meninggalkan ayah dan ibu yang sudah renta, istri yang lengannya patah akibat terlalu sering bekerja mengangkut pupuk, dan tiga anak yang mendapat pembebasan biaya sekolah namun dua diantaranya terpaksa berhenti sekolah untuk membantu keuangan keluarga.

Judul Buku         : Rahasia di Balik Kemajuan Cina
Penulis                 : Chen Guidi dan Wu Chuntao
Penerbit              : UFUK Press

Bandung, 20 November 2016

-THW-




0 komentar: