Minggu, 05 April 2015

Il Principe (Sang Pangeran) - Terjemahan



Judul buku           : Il Principe (Sang Pangeran) - Terjemahan
Penulis                 : Niccolo Marchiavelli
Penerjemah          : Dwi Ekasari Aryani
Penerbit               : Narasi
Cetakan               : 2014
Peresume.            : Deri IM1




Michael Hart (penulis buku 100 orang yang paling berpengaruh dalam sejarah) mengatakan bahwa ini adalah buku pedoman para diktator. Bahkan kabarnya Napoleon saja sampai menyimpan buku ini di bawah bantal tidurnya. Sedangkan Benito Mussolini (diktator Italia di Perang Dunia II) menjadikan buku ini sebagai kajian referensi dalam karya tulis doktoralnya. Sama halnya dengan Lenin, Hitler, dan Stalin serta para diktator lainnya. Tidak heran karena sebenarnya buku ini perpaduan antara kejujuran dan kegilaan dalam merebut kekuasaan. Bagaimana trik licik dan tipu muslihat diungkap di buku ini berdasar pada pengalaman para penguasa eropa di zaman tersebut. Tidak melulu kegilaan yang diungkap di sini, namun Marchavelli juga mengungkap bagaimana agar seorang pangeran (penguasa) dicintai rakyatnya. Hanya saja dia mencoba menyajikan konsepsi tersebut yang digabung dengan kegilaan tadi. Pada akhirnya dia menyarankan agar seorang pangeran harus tahu pada kondisi seperti apa dia menggunakan cara-cara yang gila dan pada kondisi lain dia harus menggunakan cara-cara jujur yang penuh damai. Buku ini memang benar-benar secara real menggabungkan kejujuran dan kegilaan.

-Niccolo Marchavelli-
Marchavelli sebenarnya adalah orang biasa yang lahir di Florence pada tahun 1469. Buku ini ditulis pada tahun 1513 sebagai hadiah bagi keluarga Medici, diktator di wilayah Florence, Italia. Di buku ini tanpa malu Marchiavelli mengungkap bagaimana moral para penguasa dengan apa adanya. Dia sebenarnya sadar bahwa dengan cara yang licik dan penuh tipu muslihat adalah cara yang tidak bermoral. Akan tetapi dengan cara itulah ternyata para penguasa memperoleh kekuatan. Memperoleh kekuatan untuk merebut kekuasaan. Karena keterusterangannya dalam buku ini, Marchiavelli dijadikan sebuah sinonim negatif untuk kelicikan dan kepalsuan. Orang yang terlihat ambisius untuk mencapai sesuatu dengan menggunakan segala cara akan disebut Marchiavelis.

-Mereka yang menjadi pangeran karena tipu muslihat-
Pada bagian ini Marchiavelli mengungkap beberapa kisah para pangeran merebut tahta menggunakan cara-cara yang gila dan tidak biasa. Khas cikal bakal diktator. Ia mengisahkan bahwa pada zaman itu, Agathocles adalah seorang Raja Syracuse dari Sicilian meraih singgahsana penguasa, padahal awalnya dia berasalah dari kalangan masyarakat terhina dan paling rendah. Orangtua Agathocles hanya berprofesi sebagai pembuat tembikar, namun karena kelicikan dan kepintarannya dia berhasil menjadi raja di Syracuse. Perjalanannya dimulai ketika dia masuk di dunia militer. Hingga memperoleh karir tertinggi di militer dia kemudian menjadi Administrator di Syracuse. Dalam perjalanannya dia bekerja sama dengan kaum Carthaginian untuk menjalankan siasat liciknya. Sebagai seorang Administrator dia punya kewenangan dalam merumuskan kebijakan. Oleh sebab dalih itu, dia mengundang seuluruh agenda senat ke suatu tempat. Para senator mengira bahwa diundangnya mereka adalah untuk membicarakan masalah penting, akan tetapi ternyata Agathocles malah membunuh mereka dan juga beberapa orang kaya yang hadir pada saat itu. Dengan cara ini Agathocles berhasil meraih kekuasaan tanpa menimbulkan pemberontakan sipil. Caranya dalam mempertahankan kekuasaanpun sangat brilian. Beberapa kali usaha untuk merebut wilayah kekuasaannya berakhir sia-sia meski Agathocles sudah kalah. Dia berhasil memaksa pihak lawan harus menandatangani perjanjian walaupun mereka berada di pihak yang menang. Sehingga mau tak mau lawannya harus tetap menyerahkan wilaya Syracuse tetap kepadanya. Membunuh kawan seperjuangan, tidak memiliki iman, tidak memiliki belas kasihan adalah kelaziman bagi seorang Agathocles. Walaupun cara itu tidak bermoral, tapi itu tetap memberikan kekuatan baginya.

Sama halnya dengan Oliverotto de Fermo yang ada pada masa pemerintahan Alexander IV, dia awalnya ditinggalkan orang tuanya. Maka pengasuhan kemudian dilakukan oleh pamannya, Giovanni Fogliani. Beranjak remaja dia dikirim ke pelatihan militer di bawah pengawasan Paulo Vitelli. Dia tumbuh menjadi prajurit yang cerdas dengan fisik yang kuat. Namun sepeninggal Vitelli, Oliverotto merasa bahwa memiliki posisi yang lebih rendah daripada orang lain adalah hal yang hina, dia kemudian membunuh beberapa pemimpin pasukan. Tak lama kemudian ia mengunjungi kediaman pamannya setelah menjadi pimpinan pasukan militer. Melihat Oliverotto telah tumbuh menjadi sosok yang kuat, Fogliani kemudian memberikan rumah dan sedikit wilayahnya kepada keponakannya itu. Tapi cerita air susu dibalas air tuba berawal di sini. Pada sebuah jamuan makan malam berkedok pembahasan serius yang tertutup, Oliverotto membantai Fogliani beserta kerabat kerajaan lainnya. Dia juga membunuh para pejabat yang hadir saat itu. Maka makin lapanglah dia membentuk kekuasaannya sendiri.

Dalam buku ini Marchiavelli memberikan jawaban pada pertanyaan mengapa beberapa orang di diktatorian dapat hidup aman mempertahankan kekuasaan dari ancaman eksternal maupun internal. Dia mengungkapkan bahwa kekejaman yang dilakukan para diktator dieksploitasi dengan sangat baik dan sangat buruk secara bersamaan. Dieksploitasi dengan sangat baik karena mereka hanya melakukannya sekali dengan satu metode. Dieksploitasi dengan sangat buruk karena dengan dalih melindungi semua pihak, maka kekejaman terpaksa harus dilakukan.

-Mengelola yang dimiliki-
Marchavelli juga mengungkapkan bahwa dalam menjalankan peperangan harus selalu menggunakan pasukan sendiri. Hal ini bercermin pada raja-raja zaman sebelumnya yang ternyata walaupun memperoleh kemenangan dalam sebuah peperangan, ternyata “pasukan bayaran” yang diperbantukan dari kerajaan tetangga malah menjadi sebab kejatuhan kekuasaannya. Marchiavelli mengungkapkan beberapa raja yang sukses merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan pasukannya sendiri. Pada bagian lain, dia juga menyatakan bahwa pasukan adalah hal penting dalam menjalankan kekuasaan dibanding sanak kerabat ataupun keluarga si penguasa.

Di bagian lain ia menekankan pada sebuah pernyataan bahwa orang-orang yang ingin menjadi pangeran dan dapat melakukan semua hal dengan baik, harus belajar dari semua hal yang tidak dilakukan dengan baik. Oleh karena itu, seorang pangeran yang ingin mempertahankan kedudukannya harus belajar bagaimana hal-hal tidak baik itu berjalan dan menggunakan pengetahuan ini agar tidak melakukan hal yang tidak berjalan dengan baik. Istilahnya penguasa harus belajar dari hal-hal yang unwell-prepared dan menggunakan pengetahuannya pada hal ini untuk mewujudkan kekuasaan yang well-prepared. Ia juga membahas mengenai liberalisme dan kekejaman. Liberalisme sendiri dalam pemaparannya adalah menerapkan kebijakan yang sangat mungkin menghadirkan penghinaan pada seorang penguasa. Seorang penguasa, dalam pandangannya, harus memulai kekejaman dan lebiralisme pada apa yang ingin ia lakukan dan ingin dia punya. Maka dari itu di akhir bagian ini Marchiavelli menyatakan bahwa lebih baik jadi penguasa kikir yang dihina tapi tidak dibenci, ketimbang jadi penguasa tamak yang dihina dan dibenci. Kebijakan yang liberal dan kejam harus didasarkan pada proses penguatan kekuasaan dan entitas yang ada di domain kekuasaan itu. Oleh karena itu seorang penguasa tidak boleh keberatan jika dibilang kejam. Karena dari kekejaman itu akan muncul keteraturan dan memunculkan kesetiaan tanpa syarat dari rakyat. Kekejaman ini juga akan menimimasi timbulnya pemberontakan. Penguasa bisa menggunakan klaim bahwa kekejaman hanya berlaku untuk sedikit orang yang mencoba mengusik keteraturan sistem yang ada. Ditambah tentu melindungi banyak orang yang ada di domain kekuasaan tersebut.

-Penguasa perlu ditakuti atau dicintai?-
Pada bagian ini cukup memberikan sebuah insight yang unik. Dia mengungkapkan bahwa pada kondisi yang sulit sang penguasa harus lebih ditakuti rakyatnya daripada dicintai mereka. Hal ini didasarkan pada sifat tamak, egois, licik, dan munafik seorang manusia. Manusia cenderung untuk tidak tahu terima kasih. Maka dari itu perlu wibawa ketakutan yang dikembangkan seorang penguasa ketimbang wibawa cinta. Hal ini akan memberikan keuntungan pada penguasa untuk dapat mempermudah kebijakan berjalan. Seorang penguasa juga harus bisa ditakuti dengan cara apabila pada kondisi dia tidak dicintai maka dia tidak boleh dibenci. Hal ini Marchiavelli pertegas dengan sebuah case hukuman mati. Seorang penguasa berhak melakukan hukuman mati dengan pembenaran yang cukup. Tapi jangan ambil apa yang menjadi milik si terhukum mati, karena pada dasarnya sifat manusia lebih menerima kematian seseorang dibanding kehilangan warisan dari orang tersebut. Hal ini tentu akan menghindarkan penguasa dari pemberontakan rakyatnya.

-Bagaimana para penguasa mempercayai seseorang-
Penguasa harus memiliki orang yang dipercaya. Hal ini bertujuan untuk memudahkan arahan-arahan dan kebijakan yang dia lakukan. Karena tanpa adanya orang yang bisa dipercaya, maka rencana penguasa rentan untuk ditentang dan kekuasaannya berpotensi untuk dijatuhkan. Marchiavelli menyatakan bahwa ada kalanya penguasa harus berperilaku menjadi rubah dan harimau. Hal ini dilakukan agar dia tidak dengan mudah dikhianati orang yang dipercayainya. Seekor harimau sangat lihai dalam menerkam mangsanya, tapi sangat buruk dalam keamanan terhadap dirinya. Sebaliknya, seekor rubah sangat lihai dalam menjaga dirinya walaupun dia sangat sulit dalam memperoleh buruannya. Filosofi ini perlu dimiliki oleh para penguasa dalam mengelola kepercayaan orang kepercayaannya.

-Bagaimana sanjungan harus dihindari dan bagaimana mendapatkan nasihat-
Bagi seorang penguasa, sanjungan ini amat berbahaya. Jika kadarnya terlalu banyak bisa melenakan. Terlebih jika sanjungan ini malah membuat sang penguasa tidak bisa kembali ke kesadaran yang biasanya. Dalam mengelola sanjungan, penguasa harus lihai menarik maksud dari sanjungan yang disampaikan. Ia harus bisa secara menyeluruh membaca berbagai hal di sekitar sanjungan tersebut. Kebenaran adalah sebuah kemutlakan yang lebih baik dari pada sebuah sanjungan. Akan tetapi, jika seorang penguasa lebih banyak menerima kebenaran dari rakyatnya (ungkapan jujur dari rakyatnya), maka dia berpotensi kehilangan rasa hormat. Ingat pada kondisi tertentu, penguasa harus ditakuti. Maka hal yang paling bijak adalah mengambil pilihan yang lain. Dalam hal ini Marchiavelli menyatakan bahwa penguasa harus memiliki penasihat. Penasihat inilah yang nantinya khusus memberikan kebenaran kepadanya. Penguasa harus meminta sendiri nasihatnya. Dalam hal ini penguasa yang harus berinisiatif karena menyangkut wibawa dan kedudukannya. Jadi, pada kondisi apapun seorang penguasa harus bisa mengetahui kapan dia harus meminta nasihat dari orang kepercayaannya dan kapan dia harus bertindak sendiri.

-Penutup-
Seperti yang diungkap penerbit di bagian pengantar, bahwa dengan adanya buku ini kita jadi tahu bagaimana logika berpikir seorang diktator. Dengan demikian kita menjadi lebih waspada dan juga paham bagaimana mencegah negeri ini jatuh ke tangan kaum diktatorian Marchiavelis.

0 komentar: