Minggu, 05 April 2015

Jalan Cinta Para Pejuang



RESUME
Oleh: Dyah Ayu Widyastuti
Judul                     : Jalan Cinta Para Pejuang
Penulis                  : Salim A. Fillah
Penerbit                : Pro-U Media
Jml. Halaman       : 340



                Buku ini dibagi menjadi 3 langkah (bab), yaitu dari dulu beginilah cinta, dunia kita hari ini, dan jalan cinta para pejuang. Di tiap babnya dibagi lagi menjadi beberapa subbab. Sedangkan pada langkah (bab) ketiga dibagi menjadi 4 tapak, yaitu visi, gairah, nurani, dan disiplin yang kemudian masih dibagi lagi menjadi beberapa pokok bahasan.
                Jalan cinta para pejuang dimulai dengan penceritaan mengenai kisah-kisah cinta kosong seperti Layla Majnun dan Romeo Juliet, di mana kisah cinta keduanya menggambarkan cinta yang berlebihan kepada sesama manusia, dalam hal ini lawan jenis hingga berakhir pada kematian akibat cinta itu sendiri. Kaitannya dengan cinta buta yang berlebihan tersebut, penulis mengutip “A Triangular Theory of Love”, segitiga cinta oleh Robert J. Sternberg. Teori tersebut menyatakan bahwa cinta itu mengandung tiga komponen, yaitu keintiman (intimacy), gairah (passion), dan komitmen (commitment). Keintiman adalah elemen emosi yang di dalamnya terdapat kehangatan, keakraban, dan hasrat menjalin hubungan. Gairah adalah elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual. Sedangkan komitmen adalah elemen kognitif berupa keputusan dan tekad untuk secara tetap dan sinambung menjalankan suatu kehidupan bersama. Dari teori barat tersebut, kita dapat mengambil sisi positifnya, di mana dalam jalan cinta para pejuang, kita harus membangun jalan kesetiaan dan pengorbanan. Jalan komitmen, yaitu ikrar kerelaan berkorban; memberi bukan meminta; berinisiatif tanpa menunggu; memahami dan bukan menuntut.
                Di jalan cinta para pejuang, kita juga harus memahami zaman apakah yang sedang membingkai jalan cinta kita hari ini. Untuk mengetahui bingkai zaman tersebut, penulis mengupas mengenai 4 teori psikologi oleh Carl Gustav Jung, Viktor E. Frankl, Abraham Harold Maslow, dan Danah Zohar. Teori-teori tersebut yang mengantarkan pembaca untuk memahami bahwa di zaman apapun yang membingkai cinta kita saat ini, mungkin kita akan menghadapi pejuang lain yang meyakini sesuatu seperti besarnya keyakinan kita terhadap Allah. Mungkin saja akan terjadi benturan antara kita dengan mereka. Dan pertempurannya adalah pertempuran iman yang menuntut kita untuk dapat mempertahankan iman kita. Pertempuran tersebut bisa saja dimulai dari hal-hal yang didengungkan seperti liberalisme, feminisme, metroseksualitas, dan hal lain yang seringkali bersembunyi di balik tameng hak asasi manusia.
                Pada jalan cinta para pejuang, kita harus memiliki visi, gairah, nurani, dan disiplin yang baik. Visi adalah masa depan yang tak terbatas. Dengan visi, kita membangun sebuah gambaran ideal dalam perspektif jangka panjang. Seseorang yang yakin pada visinya akan tertuntun dan kesulitan-kesulitan akan melandai memberi jalan padanya. Sedangkan seseorang yang tidak yakin pada visinya akan sangat mudah menemukan alasan untuk berhenti. Setelah visi, kita harus bergairah. Namun, jangan sampai kita dirusuhkan gairah itu sendiri. Di jalan cinta para pejuang, kita dituntut untuk bertanggung jawab atas setiap gairah dan perasaan kita sendiri, termasuk mengubah cinta menjadi kata kerja. Sehingga perasaan hati menjadi makmum bagi kerja-kerja cinta yang dilakukan oleh amal shalih. Nurani adalah yang harus dimiliki selanjutnya setelah visi dan gairah. Tak ada yang lebih jujur dari nurani, saat ia menyadarkan kita tanpa kata-kata. Nuranilah yang akan menyelamatkan iman dan menyelamatkan umat. Terkadang, berkawan dengan nurani sama artinya dengan terasing dari keramaian manusia, namun seringkali kita harus bertanya pada nurani meski tersunyi dan sendiri. Yang terakhir setelah visi, gairah, dan nurani adalah disiplin. Disiplin pada ketetapan Allah. Kita harus cerdas mengelola kemudi diri hingga cinta bersujud di mihrab taat. Kita harus belajar agar cinta kita berhenti di titik ketaatan. Meloncati rasa suka dan tak suka. Karena, menaati Allah dalam hal yang tak kita suka adalah peluang gemilang bagi pahala. Seringkali ketidaksukaan hanya bagian kecil dari ketidaktahuan.
Semoga bermanfaat.

Yogyakarta, 5 April 2015

Dyah Ayu Widyastuti

0 komentar: