Minggu, 05 April 2015

Segenggam Iman Anak Kita

Judul : Segenggam Iman Anak Kita
Karya : Mohammad Fauzil Adhim
Tebal : 288 Halaman
Penerbit : Pro-U Media

Bagian Pertama: Menjadi Orang Tua untuk Anak Kita

Dua Anak Lebih, Baik!

Segenggam Iman Anak Kita

Bukan banyaknya anak yang menyebabkan kita tidak punya kesempatan pengurus diri sendiri, bukan juga aktifnya mereka menjadikan kita meraa kelelahan dan tegang terus-menerus. Kesiapan mental kitalah yang lebih banyak berpengaruh terhadap bagaimana kita merasakan tiap-tiap peristiwa sebagai kesengsaraan dan penderitaan ataukah sebagai tantangan dan ladang amal shalih.

Mereka yang menyiapkan dirinya untuk mengasuh banyak anak, lebih ringan hati tatkala Allah Ta’ala mengamanahkan satu atau dua anak. Sebaliknya, mereka yang berusaha keras agar tak banyak urusan yang harus mereka selesaikan dalam mengasuh anak dengan berusaha keras tidak mempunyai banyak anak, akan lebih cepat merasakan beratnya persoalan hanya karena anak meminta perhatian lebih.

Disisi lain, lemahnya cita-cita dan kurangnya tekad untuk berbanyak anak menyebabkan kita mudah berkeluh kesah. Kita cepat sekali merasakan kerepotan yang tak taratasi. Suka atau tidak, ini akan mempengaruhi cara kita mengasuh anak. Mereka yang dibesarkan dengan keluh kesah cenderung tidak tidak memiliki daya juang tinggi. Mereka cepat merasa sulit bahkan sebelum berletih-letih dalam berusaha. Padahal, bersama kesulitan pasti ada kemudahan yang Allah berikan untuk kita.
Sebaliknya, mereka yang dibesarkan dengan penuh penerimaan dan kasih sayang, akan memiliki penerimaan diri yang baik sehingga mereka tumbuh sebagai manusia yang penuh percaya diri. Mereka mudah menghargai orang lain bukan karena orang lain memiliki keterbatasan luar biasa. Mereka menghargai karena lapangnya dada dan bersihnya hati sehingga mudah merasakan kebaikan orang lain.
            Pelajaran apa yang kita petik? Sebelum urusan bagaimana cara mengasuh anak, ada yang harus kita benahi dalam niat kita. Jika banyak anak menjadi cita-cita, maka kehadiran mereka akan kita sambut dengan penuh kerelan dan rasa syukur. Ini merupakan hadian yang berharga bagi anak. Jika anak-anak dibesarkan dengan penuh kesyukuran serta kehangatan, mereka akan lebih mudah untuk belajar menebar kebaikan dan kesantunan.

Untungnya Melahirkan Itu Sakit

Bukan kebetulan melahirkan itu sakit. Andai kata Allah Ta’ala menghendaki, tak ada yang sulit untuk menghapus rasa sakit itu. Mudah pula bagi Allah Ta’ala untuk mencabut susah payah yang dirasakan oleh ibu-ibu hamil sejak awal mengandung hingga siap melahirkan. Cukuplah bagi Allah Ta’ala bertitah “Kun!” maka jadilah yang Ia kehendaki.
            Kalaupun kemudian harus ada rsa sakit, bahkan kesakitan yang luar biasa, pasti ada manfaat besar dibaliknya. Ada hikmah dibalik rasa sakit saat melahirkan baik bagi ibu maupun bayi yang dilahirkan. Tentu saja seorang ibu merawat kehamilannya dengan baik, menjaga kesehatannya, dan melakukan hal-hal yang memang semestinya dilakukan untuk menjaga bayi yang ada dalam kandungan. Ini bukan untuk menghilangkan rasa sakit saat melahirkan, tetapi sebagai penghormatan terhadap amanah Allah Ta’ala berupa kehamilan.
            Andai kata rasa sakit saat melahirkan membawa keburukan besar bagi bayi yang dilahirkan beserta ibunya, tentu Allah Ta’ala mencabut rasa sakit itu. Andai kata rasa sakit saat bersalin membawa keburukan besar yang ,e,bahayakan ibu dan anak, secara fisik maupun mental, niscaya kita sudah nyaris punah. Tak ada lagi yang mau melahirkan disebabkan rasa sakit. Tak ada lagi yang bisa melahirkan secara normal disebabkan trauma persalinan yang tak berkesudahan. Sedangkan anak-anak yang dilahirkan sudah mengalami banyak masalah.
Tetapi tidak..! berjuta-juta ibu tetap tersenyum bahagia justru beberapa detik setelah melewati rasa sakit itu. Begitu bayi lahir dengan selamat, segala rasa sakit itu seakan telah terbayar lunas. Wajajh mereka berseri-seri, bahkan di saat yang menunggui persalinan masih penat. Justru besarnya rasa sakit itulah yang membuat persalinan lebih bermakna. Ada perjuangan, ada pengorbanan. Salah satu hikmahnya, ikatan emosi antara ibu dan anak terbentuk lebih kuat dari dari pertama, bahkan semenjak bayi belum lahir karena kepayahan yang bertambah-tambah saat mengandung.
            Catatan Dr. Denis Walsh dari Nottingham University menarik untuk kita perhatikan, bahwa rasa sakit saat melahirkan sangat bermanfaat bagi ibu maupun bayi yang dilahirkan. Walsh menulis, “Rasa sakit dalam persalinan merupakan sesuatu yang mempunyai tujuan, penuh manfaat, memiliki sangat banyak keuntungan, misal mempersiapkan ibu untuk mengemban tanggung jawab mengasuh bayi yang baru lahir. Lebih lanjut Walsh menunjukkan bahwa rasa sakit saat melahirkan bersifat sesaat, sangat menyehatkan, dan mempercepat terbentuknya iakatan emosi yang baik antara ibu dan anak. Walsh menekankan bahwa melahirkan secara alami merupakan pilihan terbaik. Usahakan dengan sungguh-sungguh agar setiap persalinan berlngsung alamiah.

Agar Anak Tak Krisis Identitas

Tugas utama orang tua adalah mengantarkan anak menjadi manusia yang mengerti tujuan hidupnya, untuk apa ia diciptakan. Kita bekerja keras agar bisa memberi pendidikan yang terbaik; bukan dengan memasukkan mereka ke sekolah-sekolah unggulan yang kita inginkan, tetapi memasukkan landasan hidup yang penting ke dalam jiwa mereka sehingga kemanapun mereka pergi, ridha Allah juga yang mereka cari.
            Orientasi hidup perlu kita tumbuhkan semenjak dini sehingga anak dapat belajar menimbang dan menilai. Orientasi hidup yang mengakar semenjak dini inilah yang kita harapkan menjadi daya penggerak (driving force) bbagi kehidupannya kelak. Jika orientasinya semenjak awal sudah bagus, insya Allah masa remaja tidak perlu merek lalui dengan kriis identitas dan keguncangan jiwa. Sebab, mereka telah menemukannya sebelum identitas diri itu terasa sangat penting bagi mereka di masa remaja. Masa remaja tanpa krisis identitas inilah yang kita kenal sebagai identity foreclosure.
Ini berarti, tidak benar takhayul yang mengatakan remaja secara mutlak merupakan masa pencarian identitas diri. Teori ini hanya berlaku apabila kita tidak mempersiapkan arah dan tujuan hidup anak-anak kita sehingga mereka tidak menyadarinya semenjak kecil. Mereka terkejut ketika memasuki masa remaja karena tidak punya bekal mental untuk menghadapi dan memaknai. Mereka hanya siap dengan hafalan di kepala dan penguasaan materi pelajaran sekolah yang menakjubkan. Mereka banyak tahu, tetapi miskin ilmu, miskin tujuan hidup.
Ironisnya sekarang, guru tidak memberi ilmu dan orang tua lebih suka menjadi tentor untuk menggenjot prestasi akademik anak di sekolah daripada menjadi mentor kehidupan yang membekali anak-anak dengan kasih sayang. Orang tua juga sering lupa menanamkan kesadaran kepada anak-anak bahwa setiap langkah mereka dapat mengubah dunia, bukan hanya dirinya sendiri, jika langkah tersebut berpijak di atas iman yang kuat, jiwa yang kokoh, tujuan yang besar, dan ilmu yang matang. Bukankah anak-anak itu mempunyai tugas sebagai khalifatullah fil ardh.
Sungguh, tugas orang tua dan guru bukanlah mempersiapkan anak-anak memiliki prestasi akademik yang menakjubkan. Tugas mereka adalah membimbing anak-anak agar mencintai ilmu, sehingga dengan kecintaan yang besar itu mereka akan bersemangat dalam belajar. Inilah yang insya Allah akan membuat mereka cerdas dan memiliki prestasi akademik tinggi. Mereka cerdas bukan karena dicecar dengan latihan soal terus-menerus, tetapi karena tingginya keterlibatan emosi saat belajar. Sesungguhnya emosi yang positif saat belajar akan membuat myelinasi, proses pelekatan informasi ke dalam otak akan lebih baik.
Kecintaan terhadap ilmu mendorong mereka berprestasi, tetapi prestasi akademik bukan menjadi tujuannya. Mereka mungkin akan menjadi bintang kelas, tetapi seandainya prestasinya bukan yang terbaik di kelas, mentalnya akan tetap kuat. Tidak runtuh. Beda sekali antara menanamkan ilmu dengan melatihnya agar terampil mengerjakan soal ujian. Yang pertama menuntut kemampuan melakukan assessment (penilaian, penjajakan) yang baik untuk mengetahui tingkat penguasaan tiap siswa, sedangkan ujian hanya menjadi alat bantunya saja.

Oriantasi Hidup

Apa saja yang perlu kita berikan agar anak-anak memiliki orientasi hidup yang baik?

Pertama, sebelum membangun orientasi hidup, yang paling awal kita berikan adalah kasih sayang. Kita hidupkan perasaannya dengan memberikan waktu kita untuk bercanda bersama mereka. Ini tampaknya sepele, tetapi di tengah kesibukan yang semakin menyita perhatian, waktu bersama anak semakin menuntut perencanaan. Kita sengaja meluangkan waktu bersama anak dan bermain bersamanya, bukan mengarahkan permainannya. Sebab tugas kita adalah mengarahkan orientasi hidupnya. Kalau ada permainan yang kita larang, itu berkait erat dengan baik buruknya secara mental bagi anak.

Kedua, berikan rangsangan kepada anak untuk berpikir. Beriakan kepada mereka tantangan dengan melihat kehidupan ini secara nyata sambil pada saat yang sama-sama membangun cita-cita mereka untuk berbuat. Kita rangsang mereka untuk berfikir tentang bagaimana memberi manfaat kepada alam semesta ini, menyelesaikan persoalan yang ada di dalam, dan kembali kepada Allah dalam keadaan ridha dan diridhai. Bukan menanamkan angan-angan tentang masa depan betapa mereka akan dimuliakan jika memiliki ilmu dan ketrampilan. Sesungguhnya, daya penggerak yang bersifat moralistik idealistik memiliki kekuatan lebih besar dalam membakar semangat anak dibanding sekedar mimpi tentang uang.

Ketiga, agar anak-anak itu memiliki cita-cita yang visioner, kita perlu merangsang mereka untuk menjadi manusia-manusia idealis. Mereka bercita-cita besar karena memeiliki idealisme yang kuat di atas landasan iman yang kokoh dan akidah yang lurus. Cita-cita besar inilah yang turut menjaga orientasi hidupnya. Agar idealisme itu tidak membuatnya menarik diri dari kehidupan, kita perlu mengajak mereka mendiskusikan realitas. Tak sekedar fakta yang bertumpuk di masyarakat. Apa bedanya? Realitas adalah serangkaian fakta yang didalamnya terdapat prinsip-prinsip tentang mengapa fakta itu ada. Kita ajak anak-anak melihat bahwa hukum Allah atas kehidupan ini tidak berubah sedikitpun. Ini berarti kita perlu merangsang anak-anak agar menjadi manusia idealis yang cerdas.

Puji Akhiroh, IM2

0 komentar: