Minggu, 05 April 2015

Yoyoh Yusroh – Mutiara yang telah tiada



Kategori          : NonFiksi (Biografi)
Judul               : Yoyoh Yusroh – Mutiara yang telah tiada
Penulis             : Tim GIP
Penerbit           : Gema Insani
Tebal buku      : 208 halaman



           Sebelumnya saya pernah meresume buku ust. Salim A. Fillah yang berjudul, “agar bidadari cemburu padamu”, dan kali ini saya mencoba meresume biografi sosok muslimah yang mungkin saja sebagai salah satu wanita yang dicemburui bidadari. Saya tidak sedang meresume biografi Khadijah, Aisyah, Maryam, ataupun Fatimah. Karena kita mungkin jauh sekali ketaatannya dibanding beliau-beliau yang di didik langsung oleh nabi. Tapi saya sedang membaca dan meresume sosok salah seorang muslimah Indonesia yang berusaha mencontoh pada ummul mukminin. Dan beliau adalah Hj.Yoyoh Yusroh atau biasa dikenal dengan panggilan Ummi, wanita sederhana dengan segudang amanah. Tidak hanya amanah sebagai istri dan ibu, namun juga sebagai da’i diruang publik.
            Hj.Yoyoh Yusroh memiliki 13 orang anak, ya masyaAllah keseluruhannya adalah hafiz dan hafizah. Selain memiliki prestasi Qur’ani, anak-anak beliau juga tak ketinggalan dengan prestasi akademiknya. Keberhasilan beliau sebagai seorang ibu memang tak lepas dari didikan orang tua beliau semasa kecil. Ummi yang masa kecilnya sudah hidup dan tinggal dengan lingkungan islami, menanamkan prinsip bahwa keluarganya kelak pun harus dibesarkan secara islami. Karakter ummi dibentuk oleh lingkungannya, ayahandanya yang tegas dan ibundanya yang lembut mewariskan kedua sifat tersebut padanya. Sehingga tak heran sejak remaja, ummi sudah aktif dalam berbagai aktifitas dakwah. Bahkan hingga akhirnya ummi menikah, aktifitasnya tidak pernah dikurangi meskipun kewajiban dan tanggung jawabnya semakin banyak. Hal tersebut pun tidak membuat ummi lalai, justru sebaliknya, semangatnya semakin besar.
            Ummi adalah sosok orang yang selalu bersikap adil pada siapapun. Kepada supir ataupun pembantu, bahkan ummi memperlakukan mereka seperti kerabat. Bagi ummi, setiap tingkah laku haruslah bernilai ibadah. Jangankan kepada manusia, kepada tumbuhan atau bunga-bunga dipekarangan beliau pun selalu diperlakukan dengan santun, diberi ucapan yang baik serta salam. Lingkungan tempat tinggal beliau begitu kental dengan nuansa islami. Pasalnya, setelah ummi berkeluarga dan memiliki anak-anak, selepas magrib rumah beliau terbuka untuk anak-anak tetangga juga untuk belajar mengaji. Sehingga tak satupun juga anak-anaknya yang lalai dari belajar islam. Pernah suatu ketika, beliau memiliki tetangga seorang non-muslim. Beliaupun memperlakukan mereka dengan baik, sama seperti tetangga lainnya. Hingga akhirnya si tetangga yang non-muslim merasa tidak sanggup menahan kebaikan ummi, dan mereka memutuskan untuk pindah.
            Selain sebagai ibu dan istri, ummi juga mengemban amanah dakwah yang begitu banyak. Diantaranya adalah kesibukan beliau sebagai anggota DPR. Tidak hanyak dalam bidang politik, tapi beliau juga aktif dalam kegiatan kemanusiaan. Bahkan pun ketika perang di Gaza, beliau bersikeras untuk turut serta sebagai relawan berkunjuk ke daerah konflik tersebut. Ummi bahkan berani mengambil resiko kematian ketika diam-diam memberikan bantuan materiil yang ditipak kepada beliau dari tanah air untuk para muslim di Gaza. Dengan aktifitas yang begitu banyak, sering bepergian keluar kota atau bahkan menghadiri acara-acara internasional di luar negeri, namun ibadah-ibadah beliau tak pernah kendur. Kalau kadang banyak diantara kita yang ODOJ nya sering terlambat, namun beliau dengan waktu paling sedikit yang beliau punya, minimal 2-3 juz khatam per hari, sungguh luar biasa.
            Aktif dalam kegiatan kemanusiaan juga membuat ummi memiliki gagasan mendirikan yayasan serta pesantren untuk memperluas jaringan dakwah. Yayasan Harapan Ibu, adalah nama yayasan yang beliau dirikan di awal tahun 90-an. Hingga sekarang yayasan tersebut berdiri, bergerak dalam bidang sosial, pendidikan dan dakwah. Namun konsentrasinya berpusat pada wanita dan anak. Begitupun didirikannya pesantren Ummu Habiba, ummi berkeinginan agar pesantren tersebut bisa mencetak para hafiz ataupun generasi qur’ani yang menjadi penerus-penerus dakwah masa depan.
            Begitu kuatnya keislaman beliau, menjelang akhir khayatnya seolah-olah beliau telah mempersiapkan diri untuk dijemput kembali pada-Nya. Beliau sering berbicara tentang kematian pada sang suami, kemudian bernasehat kepada anak-anak beliau, kepada sekertaris serta kepada para akhwat yang berkomunikasi dengannya. Beliu meninggal ketika kembali ke Jakarta dari Jogja setelah menghadiri wisuda putra sulungnya Umar Al-Faruq. Kematian memang menjadi sebuah misteri tentang kedatangannya. Namun bagi yang ditinggalkan, segala pesan dan kebaikan yang telah ummi berikan menjadi sesuatu yang abadi untuk diteruskan perjuangannya.

0 komentar: