Minggu, 14 Mei 2017

Jodoh "Fahd Pahdepie"



JODOH

Mengenang adalah kata kerja paling mendominasi dalam novel ini. Kisah dalam kisah yang menjadikan tema jodoh sebagai benang merah. Fragmen asmara Sena dan Keira ditulis melalui sudut pandang ke-aku-an Sena, lelaki yang disebut-disebut sebagai anak kecil yang menjadi dewasa di usianya. Ia pernah menganggap dirinya sebagai pria biasa tetapi mencintai dengan cara yang tak biasa. Lebih memilih menjaga cinta di tengah-tengah godaan yang berpeluang menistakannya. Ia dan Keira sadar pacaran adalah jalan yang tak sepatutnya tetapi bukankah kisah cinta tiada yang sempurna jalannya? Begitulah Fahd memaklumi mereka yang dimabuk cinta dan berupaya hati-hati dalam menjalani pacaran.

Sena mencintai Keira sejak pandangan pertama, saat awal masuk sekolah dasar. Cinta karena suka pada rambut hitam dan panjang Keira, senyumannya, caranya berjalan, dan suaranya yang merdu. Sena menyukai apa-apa yang ada dalam diri Keira meskipun sering mendapat balasan yang sebaliknya. Keira bersikap antipati dan menganggap Sena sebagai gangguan. Lebih tepatnya, ia tidak ingin takluk pada upaya-upaya Sena mencintainya. Sena tahu diri dan tetap merawatnya dalam sanubari hingga kemudian mereka kembali satu sekolah, pondok pesantren di Garut.

Kesempatan untuk berteman dengan Keira kembali muncul meskipun mereka dipisahkan oleh sistem pondok pesantren. Semua dipisahkan antara pria dan wanita. Mereka baru bisa berkumpul bersama saat upacara maupun acara besar. Kenyataanya, pondok memiliki satu pintu gerbang yang dianggap Sena sebagai peluang besar untuk memanipulasi kejadian agar ia bisa berpapasan dengan Keira. Sekadar menyapa demi mendengarkan suara Keira, atau kalau beruntung demi mendapat senyumannya. Tiap kali terjadi pertemuan yang singkat itu, sosok Keira berhasil membuat jantung Sena deg-degan. Sena pernah menghitung perubahan degub jantung normalnya setiap kali bertemu Keira. Hasilnya, peningkatan yang signifikan terhadap degub jantung menandakan demikian besar kadar jatuh cintanya kepada Keira.

Kisah cinta diam-diam di lingkungan pesantren mungkin orang sudah banyak yang tahu. Seperti surat-suratan dan diam-diam bertemu di luar saat pesantren libur. Mereka lakukan untuk mendapatkan kebahagiaan. Bagi saya, ini sebuah kritikan bagi dunia pendidikan Islam. Kenyataannya, para remaja sekarang sudah matang secara biologis tapi belum siap untuk mandiri dan bertanggung jawab. Mereka berani mencintai tapi bingung bagaimana menafkahi. Dalam novel ini, respon pembina pesantren sangat tegas. Memilih pendekatan hukuman yang keras sebagai konsekuensi pelanggaran. Bukankan anak muda yang belajar mencintai perlu mendapat tempat yang teduh demi meluruskan bagaimana cara terbaik untuk mencintai? Orang-orang dewasa yang menjelma jadi sahabat karib sangat mereka perlukan agar cinta yang suci tidak makin legam dan tercemar.

Atas nama cinta, sesuatu yang terlarang nampak indah. Itu wajar karena iblis dari zaman Nabi Adam sampai sekarang sudah sangat terampil membisikkan manusia untuk mengikuti nafsu yang berbalut cinta. Pakar psikologi menganggapnya itu manusiawi karena ketertarikan terhadap cinta dan kasih sayang merupakan kebutuhan manusia. Menjadi tidak wajar manakala kebutuhan tersebut dipuaskan dengan cara yang sejatinya memperturutkan emosi dan nafsu semata karena hidup perlu beragama, bukan?

Demikian pula yang terjadi dalam dilematisasi kisah Keira dan Sena. Mereka di satu sisi, bermain di antara api tetapi di sisi yang lain, bersikeras menjaga kehormatan satu sama lain. Atas nama cinta, Sena kemudian memilih untuk menjauh tak memberi kabar selama 4 tahun. Demi kebaikan mereka. Sebab, pertahanan iman saja tidak menjamin tercegahnya penistaan cinta dari berjuta kesempatan untuk bersentuhan, berpelukan dan berciuman. Sena dan Keira perlu fokus mengejar impian-impian mereka lewat karya.

Lantas, apakah mereka benar-benar akan menikah di kemudian hari? Ada satu titik kelemahan Keira yang membuat cinta mereka terkadang berbalut lara. Ada satu ketakutan Sena yang membuat cinta mereka dibayangi nestapa. Jika cinta ditulis penuh derita tiada akhir begini, kapan bahagianya? Tenang, kisah cinta manusia generasi tahun 90-an ini bisa buat kamu tersenyum-senyum. Bagaimana mereka bahagia boleh jadi mirip-mirip pengalaman kamu. Iya kamu, yang disebut generasi 90-an. Ah, sudahlah.

Rasa-rasanya, di dunia nyata, banyak juga dua insan yang berpacaran. Mereka saling mencintai tetapi belum mampu melangkah ke jenjang pernikahan dimana menikah adalah tahap awal menyebut pasangan yang sah sebagai belahan jiwa, jodoh. Pembaca setia tulisan Fahd Pahdepie bukanlah seluruh muslim-muslimah yang paham. Banyak juga pembaca yang masih terus belajar untuk dewasa menyikapi perkara cinta dua kekasih. Melalui Jodoh, penulis mencoba mengetuk ruang hati siapapun untuk kembali bertanya "Apakah jodoh?"

Baik Keira maupun Sena kembali mempertanyakan, apakah mereka berjodoh. Sena memiliki alasan kuat atas keyakinan bahwa Keira jodohnya. Sebab, ia ingin selalu membahagiakan Keira. Ia berjuang seperti lelaki dari negeri antah beranta yang terus berjalan untuk menemukan wanita yang setia menunggunya. Sebagaimana yang ditulis penulis bahwa "cinta selalu membutuhkan ketidaksempurnaan, untuk membuktikan kesempurnaanya", membuat kisah Keira dan Sena layak untuk dikenang. Bagaimanapun sosok yang sempurna belum tentu jodoh tetapi jodoh yang sempurna adalah kematian.

Judul: Jodoh
Penulis: Fahd Pahdepie
Penerbit: Bentang
Cetakan ketiga, Januari 2016
Jumlah halaman: 246

Novi Trilisiana

0 komentar: