Minggu, 14 Mei 2017

Aku Bisa Nulis Cerpen



Aku Bisa Nulis Cerpen

Cerita pendek atau yang biasa disingkat sebagai Cerpen, bagi saya adalah bacaan yang ringan tetapi memberi kesan yang mendalam. Cerpen biasanya berisikan sepotong kecil kehidupan makhluk yang membawa makna tertentu sesuai keinginan pengarangnya. Kadang juga pengarang membebaskan pembaca menafsirkan makna yang dikemas dalam akhir cerita yang menggantung. Yah, suka-suka cerpenis (si pembuat cerpen) lah. Masing-masing cerpenis membawa warna yang sengaja dihembuskan pada karyanya.


Saya pernah membaca mengenai aliran-aliran seni yang mewarnai hasil karya satra, yang mana seni itu dibagi ke dalam tiga aliran, seni untuk seni, seni untuk ekspresi atau karya, dan seni untuk pendidikan. Aliran seni untuk seni mengutamakan nilai kebebasan sehingga tidak mempedulikan moral maupun nilai, kecuali nilai seni itu sendiri. Aliran seni untuk ekspresi berarti berkarya untuk kepuasan pribadi dan demi bertambahnya penghasilan. Penulis beraliran ini akan menyesuaikan tulisannya dengan nilai masyarakat dan selera pasar. Aliran seni untuk pendidikan memiliki daya juang dalam menghargai moral dan agama. Mereka yang beraliran ini memiliki standar bahwa tulisannya harus bermoral.

Cerpen-cerpen yang dibedah oleh Joni Ariadinata dalam serial dwilogi non fiksi Aku Bisa Nulis Cerpen, memiliki nafas seni untuk pendidikan. Buku lawas ini sangat cocok bagi penulis pemula yang ingin menjadikan cerpennya sebagai ladang pencerahan yang tidak merusak pagar-pagar kearifan. Dikemas seperti surat terbuka, Joni mengajak pembaca mengkritisi dan menemukan kekhasan suatu cerpen dari berbagai cerpenis. Ada 14 cerpen di tiap jilid bukudan dibedah berdasarkan tema-tema yang memudahkan pembaca untuk memulai menulis cerpen. Seperti, mengkreasikan teknik pembuka, bahasa, imajinasi, tema, latar, tokoh, gaya, irama, titik bidik, estetika, visi, maupun unsur lokal.

Membaca buku Joni berarti juga belajar langsung dari contoh cerpen. Tidak semua cerpen dianggap sukses untuk semua penggunaan teknik pembuka, bahasa, tema, sampai unsur lokal. Sebab, tak ada yang mampu menggarap kesempurnaan melainkan cerpen tersebut ada untuk mewakili sudut pandang yang unik. Semua tema boleh ditulis berulang-ulang tetapi gaya menulis dan pemikiran setiap orang akan menciptakan cerpen yang berbeda. Tentang kejujuran, kasih sayang, maupun harga diri dapat kita baca berulang-ulang oleh siapa saja yang berani menuliskannya. Yah, berani setidaknya menjadi modal awal untuk menulis dan siap dikritisi.

Kita bisa belajar dari cerpenNovia Erwida yang berjudul Rekening. Cerpen ini memiliki penggarapan tokoh yang bagus. Dengan cermat, ia membuat klasifikasi atas masing-masing tokohnya: ada yang disiplin dan terkesan galak tetapi baik, ada yang slengekan acuh tak acuh, ada yang bengal menggemaskan, ada yang bimbang (h. 128/j. 1). Berikut secuil kutipan cerpen Novia,
“Dengar...,” kakak pertamaku itu angkat bicara.
“Bulan lalu,” ia membuka lipatan rekening dan mulai membaca dengan suara lantang.
“Empat ratus tiga puluh tiga ribu sembilan ratus lima belas rupiah.” Matanya melotot, menatap kami satu per satu. Aku dan keempat saudaraku tertunduk.
“Aku nggak pernah, Ya...,” aku membela diri. Tidak ada tradisi panggilan kakak di keluarga kami. Namun, semua tidak mengurangi rasa hormatku padanya.

Cerpen yang ditulis dengan gaya yang ringan dan nyaris kocak ini menjadi inspirasi pembaca bagaimana menujukkan karakter tokoh lewat penggunaan dialog, pemaparan tingkah laku ketika merespon dialog, penunjukkan karakter lewat omongan karakter lain, serta percakapan batin langsung tokoh-tokohnya (h. 127/j. 1). Joni menyarankan kepada pembaca untuk mendalami teknik penggarapan karakter tokoh dengan membaca kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington milik Budi Darma.

Mari belajar melalui cerpen Qurrota Ayun yang berjudul Sepasang Mata Ruji. Ada sikap yang kritis diambil oleh penulis. Bahwa ia memilih untuk menanyakan kembali arti perdamaian dan menantang keangkuhan rezim yang serampangan menuduh muslim adalah teroris. Tokoh dalam ceritanya berhubungan erat dengan perang di Pidi, Aceh Darussalam yang merenggut kebahagiaannya. Adalah Ruji yang harus rela atas kematian orang tua dan suami pada saat hari pernikahannya. Ia juga harus menelan kepahitan atas kebutaannya akibat bom granat oleh pasukan berbaju loreng bersepatu lars. Ruji kemudian memilih untuk berdamai pada hidup, melanjutkan masa mudanya untuk memijat para perempuan jelata. Pada akhirnya,Ruji yang tabah ditimpa ketidakadilan sterotipe. Ia mati dalam bayang-bayang kecurigaan meskipun sebenarnya ia adalah korbandari aksi teroris.

CerpenSepasang Mata Ruji, bagus dalam menggambarkan latar dan tokoh. Pembaca juga diajak untuk merasakan dan bebas menerka seperti apa yang dirasakan tokoh.Menurut Joni, karya fiksi yang baik akan selalu memerdekakan pembacanya untuk berkelana menggali pengalaman masing-masing individu. Berikut kutipan di awal cerita:
Delapan gerbong kereta kelas ekonomi baru saja meninggalkan stasiun. Merayap malas di atas rel baja dengan bantalan kayu warisan zaman kolonial. Diiringi bunyi peluit melengking panjang. Kereta yang berderak renta makin lama makin pelan, lantas menghilang di telan jarak. Orang-orang yang tadi berebutan turun kini berjalan bergegas meninggalkan perlintasan kereta menuju pintu keluar. Gadis berkerudung putih duduk mematung dekat tiang sebelah timur. Sedari tadi ia tak henti menarik napas-napas panjang. Membiarkan ujung-ujung syaraf di hidungnya mendeteksi satu per satu bau yang bercampur baur di udara. Sekilas tadi ia mencium bau yang asing, bau yang tiba-tiba saja menggetarkan hatinya, memompa denyut jantungnya sedemikian cepatnya, .... (h. 99-100/j. 2)

Pada intinya, kedua buku ini menjadi alternatif bagi penikmat karya sastra terutama cerpen untuk siap beralih menjadi pengarang. Semua orang boleh belajar dari mana saja untuk menambah wawasan mengenai teknik menulis. Namun demikian, semua orang harus berlatih menulis jika mau menghasilkan karangan yang memiliki nilai kebaikan sekaligus menambah profit finansial. Demikianlah Joni menghembuskan semangat berkarya dan berestetika. Sulit menemukan kelemahan dwilogi yang ditulis oleh editor maupun pegiat sejarah sastra dan kebudayaan Indonesia. [NT]

Judul Buku : Aku Bisa Nulis Cerpen #1 dan #2
Penulis : Joni Ariadinata
Penerbit : Gema Insani Press, Jakarta
Cetakan : Buku #1 (cetakan ke-dua 2007) dan buku #2 (cetakan 1 2006)
Jumlah Halaman : #1 (206); #2 (251)

Novi Trilisiana

0 komentar: