Minggu, 14 Mei 2017

SEWINDU; Cinta Itu Tentang Waktu

SEWINDU; Cinta Itu Tentang Waktu

TASARO GK, akronim nama penulis dari Taufik Saptoto Rohadi, adalah salah satu penulis favorit saya. Mengenal tulisannya dari rekomendasi seorang teman yang konon bukunya bagus. Jatuh cinta dengan alur cerita di novel Galaksi Kinanthi-nya, kemudian makin cinta dengan tetralogi  novel sejarah nabawiyah (Muhammad: Sang Penggenggam Hujan) yang ditulis Tasaro, meski akhirnya masih mandeg baca di buku keduanya. Buku SEWINDU ini, adalah buku keempat Tasaro yang saya baca. Genrenya Faksi/Inspirasi. Agak bingung awalnya, tapi setelah beberapa halaman awal terbaca, buku ini mirip-mirip autobiografi.
Meski tidak bisa dibilang begitu juga, karena ini hanya kisah perjalanan hidup (delapan tahun) sewindunya sang penulis. Sewindu, terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menceritakan tentang perjalanan awal rumah tangganya yang tidak terlalu berjalan mulus, kedua Tasaro mengisahkan lika-liku pengalamannya menjadi seorang anak bungsu yang puluhan tahun dibesarkan oleh Ibunya seorang. Sejak kecil ia sudah diajarkan Ibunya mencintai dunia membaca dan menulis. Tumbuh di dunia kampus dengan banyak sahabat yang sama-sama terjebak di jurusan jurnalistik, menjadi wartawan, editor buku, hingga memutuskan untuk menjadi penulis dan mendirikan PAUD di daerah perbukitan tempat ia tinggal.

Tasaro banyak bicara tentang rumah tangga. Terus terang, buku ini jadi buku-wajib-baca untuk para lelaki yang belum menikah. Bahwa membangun rumah tangga dari nol memang harus punya partner (istri) berjiwa pejuang. Pasca menikah, Tasaro dan istri meniatkan untuk memiliki rumah tinggal sendiri. Meski awalnya masih menumpang rumah mertua. Memiliki rumah sendiri, meski kecil, bentuknya jelek, tapi jika milik sendiri tak akan menjadi masalah. Menemukan rumah di atas bukit, dengan cicilan jutaan rupiah bertahun-tahun yang tak sedikit akhirnya menjadi pilihannya. Sulitnya kondisi ekonomi awal pernikahan juga membuat Tasaro bersyukur memiliki istri yang sabar menerima keadaannya, pun pandai mengelola keuangan. Tasaro juga banyak menyisipkan cerita-cerita kecil yang konyol dan lucu bersama sang istri di tengah himpitan ekonomi rumah tangganya. Seperti; hampir seminggu lamanya, menu  makanan mereka tempe, sambal dan sawi melulu. Meski menu itu berulang setiap hari, toh Tasaro dan istri sangat menikmatinya dengan sela canda dan penuh kesyukuran.

Di semua episode pengalaman yang diceritakan, ada satu bagian yang menarik. “Ustad, Saya pengen ngaji!”. Pasti setiap manusia, di satu titik tertentu akan dibenturkan dengan sebuah kesadaran bahwa ia butuh kembali dekat dengan Tuhannya. Sangat dekat. Ingin kembali merasakan cahaya kasih-Nya. Begitulah iman, kadang naik kadang turun. Sejak awal Tasaro jujur bertutur bahwa keislamannya selama ini hanyalah formalitas ibadah tanpa ada “isinya”. Hingga dalam perenungannya, iamenyimpulkan: bagaimana memimpin rumah tangga dengan pondasi agama yang baik, jika keislamannya segini-gini aja. Bahkan di usia 22 tahun pun ia belum bisa mengeja huruf hijaiyah. Tapi disini kita akan menemukan kesungguhannya untuk belajar menjadi imam yang baik bagi istrinya. Menjalankan keislamannya secara kaffah dengan proses yang tidak mudah.

Dari semua bagian episode sewindunya penulis, cerita tentang kepergian Sang Ibunda dan Ibu mertuanya sukses bikin mata basah berkaca-kaca. Saya punya prinsip yang sama dengan Tasaro dalam kisah kasihnya bersama sang Ibu. Bahwa, ia sudah mempersiapkan hatinya, jiwanya jauh-jauh hari jika Tuhan menakdirkan Ibunya ‘pulang’. Siap dan tak perlu ada banyak air mata dan kesedihan. Ikhlas saja seperti Sang Nabi mencontohkan. Meski pada akhirnya, tembok kesiapan yang dibangun Tasaro bertahun-tahun tentang hal ini, runtuh juga, pecah tangisnya saat ia persis melihat jenazah Ibundanya mulai ditimbun perlahan-lahan dengan tanah.

    Ide yang mendesak-desak benak saya cuma satu, “ Saya tidak akan pernah bertemu dengan Ummi lagi, selamanya.” Tidak berguna lagi filsafat kesadaran, kesiapan mental, kepasrahan, dan macam-macam lainnya. Sesaat itu, saya biarkan diri saya menjadi manusia normal. Seorang anak yang kehilangan Ibunya. Biarkan saja. (hlm. 179)

Pada akhirnya, siapapun  pasti merasa belum siap ditinggal Bapak Ibunya kelak. Meski itu adalah pasti. Tulisan Tasaro di buku ini lebih banyak mengajak saya merenung. Diksinya kaya sekali. Bahasanya jujur dan mengalir. Ia juga membagi cerita hal-hal yang melatar-belakangi penulisan novelnya yang berjudul Muhammad : Sang Penggenggam Hujan dan novel fantasi Nibiru-nya yang menurutnya adalah salah satu bukti kecintaannya pada negeri ini.

“Setiap kelahiran anak manusia membutuhkan perjuangan luar biasa seorang perempuan yang menjadi ibunya. Cukuplah dengan itu dia mesti dihormati dan dicintai.” (hlm. 214)

Tasaro menemani istrinya yang nekat berjuang melahirkan secara normal, setelah dua tahun sebelumnya pernah melahirkan caesar (dan mendapatkan penolakan dari dokter dan bidan untuk melahirkan normal.) Diksi Tasaro di momen kelahiran putri keduanya ini romantis sekali. Bikin mata basah lagi.

Buku yang sarat makna. Pas jadi buku saku lelaki dewasa yang belum menikah, pun yang sudah menikah. Kalau kata Tasaro, “Menjadi suami, menjadi laki-laki.”

Judul Buku : SEWINDU; Cinta Itu Tentang Waktu
Penulis : Tasaro GK
Penerbit : Metagraf
Jumlah Halaman : 382 halaman

Nafisah AR


0 komentar: