Minggu, 14 Mei 2017

Metafora Padma

Hasil gambar untuk buku metafora padma

“Kamu harus tahu Harumi sayang, pada zaman ketika kekerasan begitu mudah dilakukan, hal terburuk yang bisa dimiliki seseorang adalah identitas.”

Membaca buku fiksi ini seperti memacu adrenalin. Pasalya ketika kamu kira ini buku romantic, ternyata tidak. Ketika kamu kira ini adalah novel ternyata sebuah kumcer. Membaca buku ini mengingatkan saya pada salah seorang teman IM Mas Arsul. Yang berada di daerah kawasan rawan bentrokan, atau perang antar suku.

Hampir semua cerpen ini  tidak lepas dari pertikaian antar suku, kampung, yang memicu terjadinya perang terkadang hanyalah hal sepele yang berujung pada penggal kepala. Membayangkan kepala itu berceceran di tanah dengan darah yang masih mengucur saja sudah membuat saya pusing. Kalau lihat langsung mungkin saya bisa pingsan.

Kumcer yang ditulis oleh Bernard Batu Bara ini,  sangat mengangkat peristiwa seputar peperangan di daerahnya, setelah saya lihat biodatanya ternyata Bernard memang lahir di daerah Pontianak, Kalimantan. Bernard berhasil membuat saya membaca kumcer ini sampai habis, bahasanya empuk, mudah dicerna dengan ciri khas banyak sekali diksi yang saya baca di dalamnya. Saya akan sedikit menceritakan 2 cerpen yang ada di dalam ini. Yaitu KANIBAL dan  RUMAH

KANIBAL
Dari kisah ini saya berkesimpulan bahwa Terkadang kata-kata yang kita ucapkan kepada seseorang yang tengah gundah dan dalam keadaan down, akan menjadi maghnet yang sangat luar biasa. Tapi sayang magnet kali ini salah sasaran. Itulah yang saya baca pada kisah yang satu ini.

Sebut saja namanya “Ia” ia adalah seorang penulis yang sangat terkenal, ia telah menerbitkan cerpen-cerpen yang sangat unik. Diantara cerpen-cerpennya adalah “Jari tengahku” “Jari manisku” “Jari kelingkingku” dan “Ibu jariku” pada saat launching buku, ia bertemu dengan penulis kesukaannya.

“Kau hebat, sekarang sudah terkenal. Dan menjadi penulis,  Tapi ada apa dengan tangan dan kakimu?” Ya, ada apa dengan jari tangan dan kakinya. Jari tangan dan jari kaki ia sudah tidak ada. Itu karena ia telah memotong mereka satu persatu. Ia telah mengkapak jarinya, mengigit-gigiti jari tangannya dengan giginya yang telah di asah menjadi taring, sampai semua jari tangannya jatuh, menggelundung di lantai kamarnya dengan noda darah di mana-mana. Klutuk, klutuk, klutuk bunyi jarinya berjatuhan seperti buah yang terlepas dari tangkainya. Dan kalian tahu kenapa ia sampai berbuat seperti ini?  karena di saat ia sedang down karena tulisannya tidak pernah dimuat. Penulis kesukaannya berkata.

“Dengar, kuberitahu satu hal. Sebenarnya penulis adalah kanibal, mereka memakan dirinya sendiri demi membuat tulisan.” Ia terpengaruh dengan ucapannya, karena dalam keadaan down. Ia tidak dapat mencerna perkataan yang diucapkan penulis kesukaannya itu. Sejak saat itu ia mulai mencoba-coba memasukkan jari-jarinya ke mulut, mengigit-gigit perlahan hingga mengigit dengan kuat.

RUMAH
Anak Lelaki itu berdiri di hadapanku, delapan belas tahun yang lalu ia masih gembira berlari-lari ria sekarang wajahnya jadi lebih serius. Sebut saja Anak Lelaki dan Papah, dilain sisi Anak Lelaki sangat tidak setuju dengan keputusan sang Papah untuk membeli rumah desanya kembali.

Aku sedih karena karena tidak ada keluarga yang tinggal cukup lama di dalam diriku, karena aku tidak menyimpan apapun selain kenangan  buruk dan sejarah amat lara, semua teman-temanku sama mereka menyaksikan, kami merasakan dan menyaksikan saat kerusuhan antarsuku delapan belas tahun lalu. Sehingga setiap temanku termasuk diriku selalu diberi nama  “INI RUMAH MELAYU” “INI RUMAH JAWA” hanya agar tempat tinggal mereka tidak dibakar oleh orang-orang yang sangat marah. Lantas apakah aku tidak layak lagi untuk ditinggali? Apakah saya sedih?

Anak Lelaki itu seperti sedang berbicara dengan Papahnya. Tak lama seorang lelaki tua sepertinya kukenal datang menghampiri Anak Lelaki itu. Ah itu Papah. Sekarang wajahnya sudah lebih tua. Beberapa saat mereka beradu pendapat sampai.
“Papa tidak mau jauh-jauh dari mamah dan adikmu.”
Akhirnya Anak Lelaki itu menuruti perkataan papahnya.

Betapa pun banyak peristiwa tidak menyenangkan di rumah. Ia tetap tempat tinggal dan pulang, kamu tidak meninggalkan rumahmu hanya ia menyimpan kenangan buruk. Kamu akan tetap bersamanya, berdamai dengan kenangan buruk itu, dan memperbaikinya sampai jadi tempat yang lebih nyaman untuk ditinggali. Karena itu adalah rumah tempat tinggal dan kamu pulang. Huhuhu. Jadi rindu nenek saya di kampung.

Judul               : Metafora Padma
Peresume         : Nur Arfah
Penulis            : Bernard Batu Bara
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Tebal               : 157
Cetakan           : Pertama


0 komentar: