Minggu, 14 Mei 2017

Rembulan Tenggelam di Wajahmu


Rembulan Tenggelam di Wajahmu
 
Bayangkan saat ini ada satu malaikat bersayap datang pada kita kemudian memberi lima kesempatan untuk bertanya tentang teka-teki yang selama ini kita tak pernah tau jawabannya. Kira-kira pertanyaan seperti apa yang akan kita tanyakan? Terlalu berandai-andai memang :D. Ray (tokoh utama dalam novel ini) mendapatkan kesempatan itu. Begitu banyak pertanyaan berkecamuk dibenaknya. Lima pertanyaan yang akhirnya dia mengerti makna hidup dan kehidupannya. 

Saya suka dengan rentetan alur yang dibikin, semua tokohnya saling terkait satu sama lain. Seperti Plee yang merekrut Ray untuk bekerjasama mencuri berlian 1000 karat, hanya karena tak sengaja melihat Ray begitu lincah memanjat tiang listrik demi naik ke genteng untuk menatap rembulan seperti kebiasaannya sedari kecil. Kemudian Plee rela menyerahkan hidupnya demi menyelamatkan Ray sesaat setelah pencurian itu, Ray terlihat oleh penjaga dan tertembak di paha. Plee menyelamatkannya dan menyembunyikannya di ruang rahasia kemudian menembak pahanya sendiri lalu menyerahkan diri ke polisi yang sudah mengepung rumahnya. Plee adalah orang yang membakar rumahnya, bahkan seisi kampung itu puluhan tahun lalu. Pleetau ketika dia mengeluarkan peluru dipaha Ray, tak sengaja menemukan potongan koran bekas itu di saku Ray. Dia ingin menebus semua dosanya karena telah menjadikan Ray yatim piatu semenjak kecil. Hingga akhirnya dia dihukum gantung akibat pencurian berlian itu.

Ada juga kisah yang saya begitu excited membacanya, mirip dengan kisah di film bollywood yaitu ketika Ray bertemu cinta pertamanya. Pertemuan pertamanya digerbong kereta itu sama sekali tak berarti, wanita itu dingin bahkan tak memandangnya sama sekali, walau Ray berbaik hati mempersilahkan pelayan memberikan pesanan makanan padanya terlebih dahulu walau Ray berpuluh menit lalu telah memesannya. Hari-hari berikutnya ketidaksengajaan itu begitu dimanfaatkan Ray, diikutinya wanita itu setiap paginya, kebiasaannya mengunjungi rumah sakit untuk mengunjungi bangsal anak-anak. Ray yang ingin dapat perhatian menaruh tangannya di pecahan kaca yang masih melekat dibingkainya. Wanita itu berbaik hati menolongnya namun lagi-lagi tanpa sepatah kata. Ray kecewa namun tetap menaruh harapan. Esoknya diulangi lagi hal serupa, menaruh tangannya dipecahan kaca sementara babat luka kemaren masih basah oleh obat luka. ada untungnya bagi Ray wanita itu mulai buka suara. 

Ray yang sejak kecil tinggal di panti asuhan, tidak tau seperti apa rupa orangtuanya. Kerap menyumpah pemilik panti yang terkenal arogan, menelan semua sumbangan demi ambisinya untuk pergi ke tanah suci. Ringan tangan kesemua anak panti tanpa pandang bulu. Ray yang bosan dengan tingkah penjaga panti memutuskan kabur setelah menemukan potongan koran lusuh di laci penjaga panti bertuliskan namanya disertai berita kebakaran itu. Disinilah semua kisah pahit sedikit manis Ray bermula, dari potongan koran lusuh yang tak sengaja ditemukan karena niatnya hanya untuk mengambil uang sumbangan dari donatur.

Kejutan-kejutan lainnya juga muncul di kisah ini, seperti Rinai yang dimunculkan sekilas di pembuka novel. Adalah penghuni panti yang sama, namun di era berbeda. Kenapa ia bisa menjadi penghuni panti, jawabannya ada di akhir bab buku ini. Malam itu saat mengendara mobil Ray sengaja ngerem mendadak karena ia benci jika harus melewati panti tempat dimana ia dibesarkan dulu. Lalu memutar stir mobil melaju ke arah berlawanan. Kencang menderum tanpa menyadari ada mobil dibelakangnya yang membanting stir demi menghindari menabraknya. Keras menghantam pohon, menyebabkan pengemudi dan orang disampingnya tak tertolong. Mereka adalah sepasang suami istri, yang istrinya tengah mengandung tujuh bulan. Itulah dia, Rinai. 

Novel ini begitu menguras emosi, rentetan kehidupan Ray sedari kecil disaksikannya kembali utuh bersama orang dengan wajah menyenangkan itu. Setelah tiga bulan dirinya terbaring dirumah sakit, berkawan selang dan infus. Koma. Semuanya di ulas kembali demi menjawab pertanyaan Ray yang selama ini selalu ada di benaknya. Kenapa ia harus tinggal dipanti itu? Apakah hidup ini adil? Kenapa takdir menyakitkan itu harus terjadi lagi? Setelah semuanya dimiliki, kenapa hampa yang semakin terasa? Kenapa ia harus merasai sakit berkepanjangan?. Seperti lorong waktu, Ray kembali menyaksikan potongan-potongan kisah yang tak sempat dimaknainya dulu, bersama dengan orang dengan wajah menyenangkan itu. Semuanya, hingga semua pertanyaannya terjawab sudah menyisakan sesal yang tak terperikan. Namun orang dengan wajah menyenangkan itu berkata akan memberikan kesempatan bagi Ray untuk memperbaiki segalanya. Lima hari.
Apapun bentuk kehilangan itu, ketahuilah, cara terbaik untuk memahaminya adalah selalu dari sisi yang pergi bukan dari sisi yang ditinggalkan. Kalau kau memaksa diri memahaminya dari sisimu, maka kau akan mengutuk Tuhan. Bertanya apakah belum cukup semua penderitaan yang kau alami. Kau tidak akan pernah menentukan jawabannya, karena kau dari sisi yang ditinggalkan. (Hal 315) 

Rasa sakit akan kehilangan, derita yang bertubi-tubi, kerap bikin manusia lupa akan hakikat hidup itu sendiri. Bukankah hidup sejatinya adalah untuk di uji?? Merasa diri paling menderita dan hidup tidak begitu adil baginya hingga sampai ke tahap menyalahkan takdir Tuhan atasnya. Banyak pesan moral di kemukakan di novel ini, ah selalu menyenangkan pada akhirnya karena bumbu-bumbu berupa pesan itu menyatu dalam rangkaian cerita yang dibuat seolah-olah itu nyata adanya. 

Meski ada penggambaran dalam kisah yang saya rasa terlalu berlebihan, namun tak merusak apiknya cerita yang terangkum nyaris sempurna hingga akhir. Jalan ceritanya sulit tertebak dan tidak bisa dibayangkan hingga terus penasaran kelanjutan kisah berikutnya. Jika telah memulai membaca, yakinlah akan ada keinginan untuk mengakhirinya.

Judul                : Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Penulis             : TereLiye
Penerbit           : Repulika
Tahun terbit       : 2009
Tebal buku      : 426 halaman


Paramudika, IM1

0 komentar: