Selasa, 21 Agustus 2018

Ayah

Awal bulan November ini, moment-moment yang diperingati secara masal mengisi juga broadcast-broadcast media social khususnya mengambil spirit dan hikmah dari moment tersebut. Hari pahlawan 10 Nove,ber diikuti hari ayah 12 November. 

Jika momen hari pahlawan, buat saya udah biasa melaluinya, sepertinya ketika SD-SMA memang wajib upacara di tgl tersebut. Namun, kalau hari ayah baru-baru ini aja dengarnya, belum memncari tau juga apa pencetusnya, kalo gak salah baru ada pada masa presiden SBY deh…kalo secara mendunia, sepertinya bulan Juni hari ayah dan desember hari ibu. Entah apa alasannya…

Postingan-postingan tentang ayah di medsos, mau gak mau membuka kembali kerunduan pada almarhum ayah yang telah kembali pada-Nya. Merindukan sosoknya dan kearifannya. Mendorong saya buat mencari buku-buku tentang ayah. Melangkahkan kaki ke perpustakaan sekolah, melihat-lihat. Dapatlah 3 buah buku yang bercerita tentang ayah, (yang sebenarnya udah pernah dibaca), Ayah bukanlah Pembohong (novel fiksi karangan Tere Liye), Ayah (biografi Buya HAMKA yang ditulis putra kelimanya Irfan Hamka), dan Ayah (Fiksi based on kisah kehidupan dekat pengarang Andrea Hirata). Ketiga buku saya tempatkan di 3 tempat berbeda Di dalam  tas, yang akan say abaca jika harus menunggu. Di dekat tempat tidur sebagai pengantar tidur atau sambil istirahat dan di dekat meja setrika, tempat biasanya saya duduk-duduk setelah beberes rumah.

Alhasil ketiga buku pun tamat saya baca, dan saya pilih salah satunya untuk diresumekan di sini. Say meilih buku Ayah karangan Andrea Hirata, lucu, sedih, bahagia, bikin penasaran dan ide cerita yang ada-ada saja. What a story lah…

Ketika pertama kali membaca buku ini, saya berpikir penulis akan menulis cerita tentang sosok ayah yang beberapa kali disinggung penulis dalam karya-karyanya, baik dalam tetralogy Laskar Pelangi,duologi Padang Bulan bahkan yang khusus dalam novel Sebelas Patriot. Ternyata berbeda. Tak sedikit pun penulis menyinggung sosok ayah yang biasa beliau ceritakan di kisah lainnya. 

Kepiawaian Andrea Hirata menuliskan novel yang diambil dari kisah nyata dengan bumbu-bumbu humornya, buku ini layak dibaca berbagai usia. Menghibur dan menginspirasi.

Buku ini terinspirasi dari sebuah nisan di Belitong yang pada pusaranya tertera kalimat puitis “Purnama kedua belas”. Dan salah satu tokoh inspiratifnya ditemui penulis di Bogor ketika penulis menjadi petugas pos.

Diawali dengan kisah seorang tokoh bernama Sabari, sesuai dengan namanya sabar menjalani kehidupannya. Suka duka hidupnya dijalani dengan sabar. Kelaraan dominan mewarnai hidupnya. Namun semua diaktualisasikan dalam puisi-puisi yang ditulis dan dibacakannya. Kecakapannya membuat puisi menurun dari ayahnya yang seorang guru Bahasa Indonesia. Memberinya nama Sabari agar sabar. Dan kesabarannya nyata dalam diri Sabari.

Dalam bagian lain dikisahkan seorang anak bernama Amiru yang sangat terobsesi oleh ayahnya, amat sangat Amiru kebahagiaan bagi ayahnya, yang dari bibir sang ayah tak ernah keluar keluh apalagi kesah menafkahi Amiru, ibunya yang sakit-sakitan dan kedua adiknya Amirza dan Amirta. Perjuangan Amiru membahagiakan ayahnya bak kisah dari negeri dongeng. Mulia sikap dan akhlaknya pada orang tua. Pikiran-pikiran anak-anaknya yang berusaha memecahkan problem orang dewasa memeras emosi. Sungguh anak yang soleh luar biasa. Dalam satu bahasan bagaiman perjuangan Amiru membebaskan harta satu-satunya sang ayah “radio” yang digadaikan untuk berobat ibunda. Upaya Amiru salah satunya adalah dengan berusaha memenangkan lomba balap sepeda, tak lelah Amiru berlatih dengan sepeda bututnya hingga masa yang ditentukan. Ternyata…. Jangankan mendapatkan hadiahnya, kesempatan lomba pun tak didapatnya.

Sebagian besar kisahnya adalah tentang Sabari dengan kedua sahabatnya Ukun dan Tamat. Sabari yang tidak pernah mengenal jatuh cinta layaknya Ukun dan Tamat, tiba-tiba cinta mati pada gadis cantik berlesung pipit nan garang yang menyotek lembar bahasa Indonesianya di saat ujian akhir. Gadis tersebut Marlena putri Markoni. Sabari begitu teguh cintanya pada Marlena, dan Marlena yang teguh pula meolak cinta Sabari. Apa pun yang disukai Marlena Sabari akan melakoninya, biarpun tak terbayangkan sebelumnya. Ada yang berkata Marlena senang ngeband, Sabari akan ikut-ikutan nge band walaupun hanya sebagai tukang gulung kabel. Marlena senang menulis sahabat pena, Sabari pun akan giat menulis, Marlena senang lari maka Sabari akan ikut lomba marathon hingga jadi kuda hitam. 

Sekuat apa pun cinta sejati Sabari pada Marlena, hanyalah bertepuk sebelah tangan. Di sisi lain, usaha tanpa batas pamrih Sabari menginspirasi Izmi yang nyaris hidup segan mati tak mau dengan sekolahnya. Izmi kemudian mengambil andil menyemangati Sabari tatkala Sabari hancur lebur. 

Allah lah Maha Penguasa Takdir. Rupanya dalam garis tangan Sabari dan Marlena ada jodohnya. Mereka diperkenankan menjadi suami isteri, namun sungguh tak lazim.

Bagaimanakah Sabari  hingga bisa menjadi suami Marlena?
Apa hubungannya Amiru dengan Sabari dan Marlena?
Kenapa ada tulisan Purnama kedua belas dalam salah satu  nisan di Belitong?

Tentunya menarik dan terjawab setelah membaca buku ini hingga tuntas…tas…tas…

Judul buku : Ayah
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit         : Bentang
Tahun terbit : 2015
Halaman         : 396 hal

 November 2017
- Erna Maryati -

0 komentar: