Selasa, 28 Agustus 2018

Senandung Bisu


Benar bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu. Namun Rahim, seorang bungsu dari lima saudara di sebuah keluarga tidak merasakan surga itu. Bukankah seorang ibu harusnya menyapa dengan kelembutan dan memperlakukan dengan kasih sayang? Tapi tidak dengan Zulfin, ibunya. Ibunya tidak memberi makan. Bahkan nasi sisa pun dilarangnya. Di saat keempat saudaranya berangkat sekolah, Rahim justru harus ke ladang. Bocah kecil itu harus mencangkul ladangnya. Belum makan, dan tidak diantar makan.

Sepanjang hari Rahim mengayunkan cangkul dengan gemetaran hingga terik matahari memanggang kulitnya. Kumal wajahnya semakin terlihat memiriskan hati. Dlori ayahnya, tidak peduli. Makan siang di sawah dilewatinya tanpa sedikit pun memikirkan Rahim anak bungsunya. Justru Mbah Na’im yang dapat mengantarkan jatah makan siangnya untuk Rahim.

Keyakinan bisa berubah. Kemantapan hati bisa labil. Percaya pada omongan orang membuat sebuah keyakinan yang tadinya kuat bisa menjadi goyah. Pergunjingan yang berlangsung lama bisa membuat bangunan keluarga kokoh menjadi rapuh. Karakter warga Siwalan yang tadinya tenteram damai berubah jadi panas. Wuryani kerap membanggakan anaknya yang sukses-sukses.

Novel ini menyentil khas kehidupan bertetangga. Bahwa omongan tetangga selalu saja menyertai tindakan kita. Inilah kondisi yang serba salah. Baik dianggap salah, salah pun pasti tetaplah salah. Tidak melakukan dianggap keliru, tetapi bila melakukanya pun tetap dianggap keliru.  (Hal. 141).

Perbandingan itu memaksa Zulfin dan Dlori untuk juga membuktikan siapa yang paling sukses menghantarkan anak mereka. Memang, setelah itu kehidupan mereka semakin membaik. Panen melon memberikan penghasilan yang banyak. Demikian juga jeruk. Saat sawah ditanami padi pun, mereka meraup banyak untung. Namun kemudian membuat hati mereka bergeser. Kesombongan berbalut kedermawanan mulai melingkupi diri mereka. Saat Wuryani telah berbalik menjadi baik, justru Zulfin sebaliknya. Tertipu dengan kemenangannya.

Hati yang sakit sungguh luar biasa keji. Merasa bahagia atas kematian anak dari orang yang dibencinya. Wuryanti, tersenyum ketika Musa, anak Zulfin meninggal. Setelahnya, justru Zulfin yang merasa berbahagia dengan kematian Muniri, anak Wuryani. Duh, hidup memang sederhana. Tetapi menjadi rumit pada hati yang penuh kebencian dan kesombongan. Mereka mengira sedang melangkah dalam jalan kehidupan, padahal sesungguhnya mereka tengah menapaki jalan kematian. (Hal. 352)

Penulis novel ini secara apik mengeksplorasi tentang kepedihan hidup seorang anak bungsu yang biasanya penuh kemanjaan dan kasih sayang. Kehadiran seorang anak yang ‘tidak diharapkan’. Seorang anak yang rengekan meminta sekolah namun dijawab dengan jeratan tali di sekujur tubuh dan diikat pada sebatang pohon. Atau, karena kemarahan sepele, semalaman tidak dibolehkan masuk ke rumah.

Nilai-nilai keagamaan dihadirkan dengan halus. Bisa jadi semangat berbuat kebaikan itu membawa kita pada kebaikan, namun semangat itu bisa juga menyampaikan kepada kesengsaraan. Apa faedahnya berbangga-bangga kesuksesan anak? Ketika di masa tua tidak ada satu pun anak yang bisa menemui dan menemani orang tua. Banyak pelajaran yang kita dapat dari novel ini. Sangat perlu dibaca oleh orang tua dan juga anak muda.

Judul Novel                 : Senandung Bisu
Penulis                         : Aguk Irawan MN
Penerbit                       : Republika Penerbit
Cetakan                       : I, Februari 2018
Tebal Halaman                        : viii + 388 halaman
ISBN                            : 978-602-082-229-0

-           Supadilah -


2 komentar:

Isnaini Annisa mengatakan...

Terkadang atau seringnya, sebuah omongan bisa menjadi momok yang menyeramkan. ..

Unknown mengatakan...

Iya benar, kak, memang harus berhati-hati dalam berkata, "mulut mu harimau mu" memang sangat berefek