Selasa, 21 Agustus 2018

Lost in Pesantren Balada Kehidupan di Pesantren


Dunia pesantren pesantren memang punya sejuta cerita. Ada suka dan duka. Banyak pula cerita menggelitik, menarik, dan unik. Disanalah perjalanan memetik nilsi, hikmah, dan falsafah kehidupan.

Buku ini ditulis oleh seorang santri yang kemudian jadi pengajar di Pesantren Pesantren Daar el-Qolam Gintung, Tangerang, Banten. Dengan dua peran itu, berimbanglah penulis mengisahkan cerita di pesantren.
Mendidik anak di pesantren adalah tuntutan hidupdi saat lingkungan tak kondusif bagi mental dan katakter anak-anak. Itu pula yang dilakukan ayah penulis terhadapnya. Di usia 13 tahun harus berpisah dengan keluarga. Menimba ilmu di pesantren untuk belajar agama menempa diri. Sama seperti kebanyakan santri, penulis mengawali belajar di pesantren dengan berat hati. Namun, ketika sudah berada di pesantren, semua kehidupan itu pun harus dijalani. ‘Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang. Hidupnya ialah berjuang. Jikalau perahunya telah ia kayuh ke tengah. Ia tak boleh bersurut pulang. Meskipun bagaimana besar gelombang, biarkan kemudi patah, Biarlah layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang (Buya Hamka)’.
Penulis sangat menjadikan teladan Kyai Ahmad Rifa'i Arief, sang pendiri pesantren di tahun 1968. Beliau adalah alumni Gontor. Di awal pendirian, banyak tolakan masyarakat. Mengajarkan bahasa Indonesia bagi masyarakat adalah tabu. Kyai mendapatkan cibiran 'Rek Mindahkeun Jakarta ka Gintung' kata orang. 'Mau mindahkan Jakarta ke Gintung'.

Begitu pula ketika di pesantren diajarkan bahasa Arab, muncul pula cibiran 'Rek Mindahkeun Mekah ka Gintung (Mau Mindahkan Mekah ke Gntung)'. Apalagi ketika Kyai mengajarkan bahasa Inggris, beliau dituduh mengajarkan bahasa irabg kafir! Namun Kyai tidak peduli. Beliau hanya ingin santri-santrinya berwawasan global dan berpikiran luas walaupun tinggal di pelosok kampung.

‘Tidak ada kesenangan tanpa kesulitan, kesabaran akan menolong setiap pekerjaan, orang yang bersungguh-sungguh pasti berhasil’. Kehidupan di pesantren mengajarkan tentang hidup sederhana dan perjuangan. Hidup dalam segala keterbatasan. Kebersamaan santri dengan beragam ironi menjadi kebiasaan. Satu gayung bersama, sabun, pasta gigi, hingga kadang sikat gigi untuk bergantian dua mulut. Begitulah adanya.
Public speaking atau muhadarah menjadi bagian uji nyali yang ditakuti. Berbicara di depan umum membutuhkan keberanian mengalahkan rasa grogi, takut dan rendah diri. Namun itu tetap dipertahankan. Tidak peduli dengan keluhan santri. Sebab santrilah yang harus mengikuti sistem atau peraturan, dan bukan sebaliknya.

Keikhlasan. Itulah kunci pesantren ini menjadi besar. Mengawali pendirian pesantren, Kyai mendapat hibah satu hektare tanah dari neneknya. Santri-santri pertamanya berjumlah dua puluh orang mengawali belajar di dapur tua berdekatan dengan kandang kerbau. Kemudian pesantren itu bermetamorfosis menjadi pesantren terbesar dengan total areanya lima puluh hektare dan santri berjumlah lima ribu orang. Metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode, dan jiwa seorang guru adalah segala-galanya.
Pendidikan di pesantren dengan segala rupaya mampu menjadi benteng dan tameng untuk menghadapi hidup dalam masyarakat. Semangat yang ditanamkan adalah berguna bagi masyarakat. Bukan sekedar angka-angka. 'Ijazahmu yang sebenarnya adalah penghargaan dari masyarakat atas jasa-jasamu. Berjasalah, jangan minta jasa' demikian petuah sang Kyai.

Kehilangan benda-benda merupakan hal yang lumrah. Sandal, pakaian, dan sarung bisa berpindah tempat ke mana saja. Yang harus dilakukan adalah mampu menghadapi kehilangan itu dengan lebih teliti dalam merawat barang pribadi. Kemampuan yang dibutuhkan dalam abad 21 adalah kemampuan berpikir kreatif dan inovatif serta menyelesaikan masalah. Dan kemampuan itu bisa didapatkan di pesantren.

Ada beberapa karakteristik pendidikan di pesantren. Pertama, kemampuan meregulasi diri. Santri di pesantren harus terbiasa dengan disiplin yang ketat. Mengatur uang jajan, merawat dan menjaga barang pribadi. Meregulasi diri lebih nyaman daripada didisiplinkan orang lain. Santri harus mahir mengatur waktu kapan bermain dan belajar. kedua, kemampuan mengendalikan perhatian dan perbuatan. Santri harus fokus pada diri dan sekitarnya. Kehilangan benda-benda salah satunya disebabkan keteledoran dalan menjaga miliknya dari ulah tangan-tangan jahil. Ketiga, kemampuan mengolah daya tahan (persistensi). Pesantren membangun kebiasaan (habit) kepada santri untuk siap hidup dalam tekanan dan waktu yang ketat. Keterbatasan dan keprihatinan. Tidak ada opsi menu makanan. Waktu makan, tidur, mandi, olahraga, dan bermain diatur. Keempat, kemauan menunda kenikmatan. Di saat usia sekolah sedang asyik bermain gadget, nonton TV, atau menikmati hari libur, santri tidak merasakan semua itu. Menunda kenikmatan sesaat untuk tujuan-tujuan jangka panjang untuk memilih mana yang prioritas-prioritas yang harus didahulukan.

Kelima, ketekunan menghadapi kejenuhan. Selama beberapa tahun santri dihadapkan pada siklus dan irama pesantren yang membosankan dari bangun tidur sampai tidur lagi. Santri harus pandai mengelola perasaan dan membuat variasi supaya kejenuhan dan rutinitas menjadi berwarna. Keenam, kemampuan menghadapi tekanan. Godaan teman yang menjengkelkan, senioritas yang menyebalkan, aturan dan disiplin, pelajaran dan kegiatan pesantren berjalan di atas tekanan manusia atau waktu. Ketika tekanan waktu dirasakan oleh mereka menyiksa, maka akan muncul kesadaran akan pentingnya waktu dan efektivitas penggunaannya. Ketujuh, kemampuan menjalankan rencana. Waktu berjalan dengan ketat. Maka santri harus mampu membuat perencanaan jangka pendek atau jangka panjang. Kegiatan mingguan, bulanan, atau tahunan. Santri yang terdidik dengan perencanaan yang matang memberikan garansi keberhasilan dalam pendidikan dan karir.
Kehidupan pesantren bukan hanya full day school namun lebih dari itu adalah full year school. Bersama sekurang-kurangnya enam tahun di pesantren membuat santri sangat hafal watak dan sifat teman. Inilah bagian implementasi dari konsep yang diusung UNESCO: Learning to Life Together.

Dan bersabarlah atas kepedihan yang mengisi hari-harimu, di dalamnya ada pintu menuju kesuksesan dan kejayaan. Belajar di pesantren ibarat meminum obat. Kadang terasa pahit namun berguna mengobati sakit dan menyehatkan badan. Filosofi pendidikan pesantren ‘Memelihara nilai-nilai lama yang masih baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik’ menjadi jaminan bahwa belajar di pesantren bukan berarti ketinggalan jaman, terkucil dari dunia luar, dan buta perkembangan zaman. Sebab banyak pula orang hebat yang lahir dari pesantren (terutama pesantren Dar el-Qolam ini) misalnya Ustadz Jefri al-Bukhori (Udje), TB Iman Ariyadi (Walikota Cilegon), atau Band Wali (Pesantren La Tansa, Rangkasbitung).

Secara jujur buku ini mengisahkan kenakalan-kenakalan yang terjadi di pesantren. Kabur dari pesantren, fenomena ghosob (mengambil tanpa izin), memalsukan tanda tangan, bolos belajar, berkelahi, dan lainnya. Juga tidak menutup fakta bahwa orang tua banyak menganggap pesantren sebagai penitipan anak. Yah, pesantren kerap dijadikan tempat yang cocok orangtua yang rumah tangganya tengah diterjang badai. Pesantren sering kali dijadikan tempat layak bagi orang tua yang sudah ‘angkat tangan’ mendidik anak. Orang tua berharap dengan dititipkan di pesantren perilaku anaknya bisa berubah. Boleh–boleh saja memang orang tua punya motivasi seperti itu. Namun alangkah baiknya jika hal tersebut diinformasikan kepada pihak pesantren agar tepat pula penanganannya.

Buku ini menjadi pemantik kenangan masa lalu santri, pelecut semangat santri yang tengah belajar di pesantren, dan referensi calon santri.

Judul                : Lost in Pesantren. Perjalanan Memetik Nilai, Hikmah, dan Falsafah Kehidupan
Penulis             : Saeful Bahri
Editor               : Muhammad Iqbal Santsa
Penerbit           : Republika Penerbit
Thn Terbit        : Agustus, 2017
Jmlh Hlm         : 195 halaman
ISBN                : 978-602-08-2281-5

- Supadilah -

0 komentar: